Part 4 - Kehadiran Dylan

371 75 8
                                    

Hubunganku dengan Milly, seperti yang pernah kukatakan, bukan hanya sekedar hubungan antara seorang manusia dan binatang peliharaan, namun antara seorang ibu dan putri kecilnya. Aku memperlakukannya seperti selayaknya seorang manusia.

Aku mengajaknya berbicara, aku memberikan makanan terbaik untuknya. Bahkan seringkali apa yang Milly makan lebih baik dariku. Jika aku membeli sepotong ayam KFC, Milly mendapatkan dagingnya, aku tulangnya. Jika aku membeli sushi, Milly memakan salmonnya, aku nasinya. Aku pun sering membawakan steak dan makanan enak untuk Milly yang kudapatkan dari tempatku bekerja.

Kami memang disediakan makan siang dan makan malam dengan menu yang begitu luar biasa dan menggugah selera. Begitulah. Aku pun yakin jika Milly adalah seorang anak manusia, aku pun pasti begitu. Memberikannya yang terbaik seperti layaknya seorang ibu. You know you are a mom when your kid eats better than you.

Hal ini juga berlaku saat Milly beranjak puber. Masih teringat olehku bagaimana aku memakaikan pampers yang kubuat sendiri untuk Milly agar ia tidak kawin sembarangan. Pampers untuk kucing memang ada tapi susah dicari dan harganya juga sangat tinggi.

Bukannya perhitungan. Namun kondisi keuanganku sedang sulit saat itu. Aku masih harus membayar beberapa kekurangan akibat rencana pernikahan yang dibatalkan. Beruntung aku medapatkan tempat tinggal dan jatah makan secara cuma-cuma sehingga aku bisa melakukan penghematan. Akhirnya aku membuat pampers sendiri dari pembalut wanita yang direkatkan dengan kertas dan lakban. Milly berontak, tentu saja. Begitu pula saat aku mengurungnya dan ia meraung-raung meminta agar boleh keluar dari dalam kamar dan menemui si jantan yang menunggu di balik pintu.

Waktu itu aku terlalu khawatir. Milly adalah kucing pertamaku. Aku ingin ia tumbuh lincah dan bahagia. Tapi kawin lalu beranak? Membayangkannya saja hatiku rasanya tak enak.

Aku berniat untuk melakukan steril pada Milly namun dokter hewan di dekat tempat tinggalku sulit dicari. Hingga akhirnya kudapatkan juga sebuah nama yang dengan baiknya beliau mau datang ke rumah.
Setelah Milly diperiksa, dokter mengatakan bahwa Milly kemungkinan besar sudah hamil. Dokter itu pun menolak untuk melakukan steril pada Milly. Aku galau. Aku gelisah.

Setelah dokter itu pulang, kupeluk Milly erat-erat dalam dekapan sambil berlinang air mata. Inilah yang kutakutkan. Aku takut Milly hamil lantas harus melahirkan. Sebagai seorang ibu, aku tak sanggup membayangkan Milly yang berbadan kecil harus merasakan sakitnya bersalin. Aku juga tidak bisa membayangkan harus tinggal dalam sebuah kamar bersama beberapa ekor kucing. Akan seperti apa jadinya? Bagaimana jika anak Milly ada lima? Belum lagi jika penghuni yang lain merasa terganggu.

Sambil bercucuran air mata, aku berkata, “Milly, anaknya jangan banyak-banyak, ya. Mami belum bisa menyewa rumah untuk kita berdua, jadi kita harus tinggal di kamar ini. Nanti kamarnya jadi sempit sekali.”

Seolah mengerti dengan apa yang aku ucapkan, Milly menempelkan kepalanya ke badanku sambil mengeong pelan.

*****

Selama kehamilan, asupan makanan Milly pun lebih kuperhatikan. Setiap hari ia kuberi seiris salmon. Katanya salmon kaya akan omega 3 yang baik untuk kecerdasan otak. Aku ingin anak Milly kelak cerdas seperti ibunya.

Setelah usia kandungan Milly menginjak minggu kedelapan, aku pun mulai bersiap. Aku menyiapkan sebuah kardus yang dialasi kain tebal. Kardus itu aku letakkan di bawah meja di samping tempat tidur. Aku berdoa agar Milly melahirkan saat aku sedang tidak bekerja. Aku ingin menemaninya. Tuhan mengabulkan doaku.

Malam itu, Milly tampak lebih pendiam daripada biasanya. Ia meringkuk di dalam kardus sambil menatapku dan sesekali mengeong pelan seolah ia ingin berkata bahwa ia kesakitan. Aku bisa melihat perut Milly berkontraksi. Tidak ada yang dapat aku lakukan. Aku hanya bisa mengelus Milly sambil berbaring di atas ranjang.

Letak kardus Milly sangat sempurna. Aku bisa membelai tubuh mungilnya sambil berbaring. Beberapa kali aku sempat hampir tertidur. Milly belum melahirkan juga. Kucing putih itu tampak kesakitan. Ia meringkuk sambil mengeong pelan.

Aku dilanda kebingungan. Putriku akan melahirkan, ia sedang kesakitan, dan tak ada yang bisa aku lakukan. Tapi aku bersyukur Milly bersalin saat malam, bukan siang. Jika iya, aku tak akan bisa berhenti menyesali jika Milly harus menghadapi saat-saat berat ini sendiri.

Lama menunggu, waktu terus berlalu, akhirnya aku lelah dan memejamkan mata. Aku terbangun pukul empat dini hari dalam kondisi terkejut. Aku rupanya tidak sadar jika aku tertidur. Cepat kutengok kardus Milly dan di sanalah dia, meringkuk dalam dekapan hangat ibunya. Anak Milly, bayi kucing lucu itu adalah cucuku. Ia lahir dini hari tanggal 07 Mei 2014.

Ajaib sekali, Milly hanya punya satu ekor bayi! Padahal biasanya kucing beranak banyak. Mungkin Milly mengerti bahwa kami tinggal di kamar yang terbatas, atau mungkin ini adalah kebaikan Tuhan yang maha mengabulkan segala permohonan.

Keesokan paginya, aku sibuk mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa aku kini sudah menjadi seorang oma. Aku pun mengabari Ria yang disambut Ria dengan sukacita. Seorang teman di dormitory yang sangat sok tahu mengatakan bahwa anak Milly berjenis kelamin jantan. Karena aku tak tahu, aku pun percaya saja. Bayi mungil dengan corak bulu abu-abu itu kuberi nama Milano Dylan. Sempurna bukan? Milea dan Dylan.

Seperti yang kuharapkan, Dylan tumbuh menjadi bocah yang cerdas. Pernah aku tidak melihatnya. Dengan khawatir aku memanggil-manggil namanya. Dylan muncul dari bawah kolong tempat tidur sambil mengeong seolah ia ingin berkata, “Mami, aku di sini.”

Kucing kecil itu cerdas sekali. Ia juga sangat baik. Kebaikan hatinya kuyakini menurun dari sang ayah. Hingga usia satu bulan, Dylan tetap berada di dalam kamar. Dokter pun datang setelah Dylan kupikir cukup usia untuk diperiksa. Di luar dugaan, Dylan ternyata bukan berkelamin jantan. Ia betina meski wajahnya tidak sefeminin ibunya. Terus bagaimana? Namanya sudah terlanjur nama untuk kucing jantan. Ya sudah, kurubah saja namanya menjadi Milano Dylanwati.

Hari-hariku kini tak lagi sepi. Ada Milly dan Dylan yang menemani. Mereka adalah matahariku, curahan semangat bagi hatiku yang sebenarnya masih rapuh. Mungkin tak banyak yang bisa mengerti, tapi untukku, Milly dan Dylan adalah sumber kekuatan. Mereka yang membuatku merasa dibutuhkan. Pelukan kaki kecil mereka yang membuatku merasa disayang, dirindukan, dicintai, dihargai. Lebih dari itu, Milly dan Dylan adalah kebahagiaan, hadiah yang dikirimkan langsung oleh Tuhan.

*****

Hari-Hari Bersama MillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang