Ditemaramnya suasana kamar, lelaki ini berjalan mengendap-endap. Ditangannya terdapat sebuah benda bercahaya yang tidak asing. Dia melirik kearah ranjang dimana seseorang tengah bergelung nyaman dibalik gulungan selimut tebal.
"psst.. sstt.. Vika... Vika" dia berbisik lirih, berharap dapat membangunkan gadis itu yang tampak masih nyaman dalam tidurnya.
Suara tempat tidur berderit saat dia dengan perlahan duduk dipinggir ranjang, dia kemudian meletakkan benda yang dibawanya keatas meja kecil di samping tempat tidur. "hei princess kecil... bangun" masih tak mau menyerah, diguncangnya tubuh Vika yang terbungkus selimut. Dan itu tidak sia-sia, perlahan tubuh Vika menggeliat bangun.
Sambil mengucek matanya, gadis yang baru saja diganggu mimpinya mencoba mengenali sosok siluet didepannya. "Kak Bima.." lirih Vika
Lelaki itu -Bima, tersenyum saat Vika mengenalinya dengan mudah." yes princess.. it's me, Bima" ujar Bima membenarkan tebakan Vika.
Vika mengerjapkan matanya sekali, dua kali, kemudian setelah penglihatannya lebih tajam, Vika langsung menubruk Bima dengan pelukan sarat kerinduan. Menenggelamkan wajahnya didada hangat Bima yang balas memeluknya.
Mereka lama berpelukan, sampai kemudian suara isak itu keluar dari bibir gadis yang didekap Bima "aku.. hiks... rindu kakak..." Vika berujar diringi isak tangis tertahannya, air matanya langsung membasahi kaos depan yang dipakai Bima. "ak-u.. fikir ka-kak... hiks lupa" ujar Vika tersendat tangisnya yang makin menjadi.
Bima mengeratkan pelukannya, menghirup aroma manis dari tubuh Vika yang dirindukannya. "aku minta maaf" ucapnya kemudian. Makin mengeratkan pelukannya.
Vika lama menangis dipelukan Bima, dan Bima dengan sabar selalu mengelus punggung yang bergetar itu sambil sesekali mencium puncak kepalanya. Menit demi menit kemudian tangis itu berhenti menyisakan senggukan dan jejak air mata dipipi Vika.
Bima mengurai pelukan mereka. Ditatapnya lekat wajah Vika yang tidak terlalu jelas karna lampu yang belum dinyalakan.
"well, karna ini belum lewat tengah malam dan masih belum terlalu terlambat. Happy sweet seventeen amour" ucap Bima lembut, kemudian mengambil benda yang tadi ditaruhnya diatas meja. Sebuah kue tart coklat dengan lilin berangka tujuh belas menyala diatasnya, kemudian dia menghadapkan kue menggiurkan itu kehadapan Vika. Karna cahaya dari lilin, Bima kini bisa melihat jelas mata Vika yang bengkak, tanda bahwa sebelum ini Vika menangis hebat dan terbawa tidur. "make a wish"
Vika masih menganga takjub melihat kue dihadapannya saat Bima menyuruhnya, binar mata bahagia terlihat jelas dibalik bengkaknya mata Vika. Mata itu kemudian mulai meneteskan cairannya lagi, kali ini bukan karna sedih tapi karna perasaan haru saat ada seseorang yang mengingat hari ulang tahunmu. Vika menutup matanya memanjatkan keinginan sederhananya dalam hati.
Fiuh... lilin itu padam saat hembusan nafas Vika mengenainya. "terimakasih kak Bima"
"Bukan masalah, kamukan adik kakak yang paling cantik" ucap Bima mencubit pelan pipi Vika, Bima kemudian menaruh kue itu dipangkuan adiknya, dia berdiri dari duduknya. "mungkin aku harus menghidupkan lampunya" gumam Bima berjalan dengan hapal kearah dimana saklar lampu berada, disamping pintu kamar.
Klik! Kamar yang tadinya gelap kini dibanjiri cahaya benderang, dan terlihatlah dengan jelas keadaan kamar Vika yang seperti sehabis perang dunia ketiga. Kaca rias yang retak dan hampir pecah, banyak pecahan beling dan vas bunga disudut kamar. Peralatan make-up bertebran dengan acak disekitar meja rias, gorden kamar yang sudah tidak pada tempatnya, tergeletak mengenaskan bersama peralatan make-up dan benda lainnya yang berada dilantai.
Kamar ini seperti baru saja terkena amukan badai besar, dan badai itu sendiri tengah duduk diatas ranjang, siapa lagi kalau bukan Vika Melianna.
Bima menaikkan salah satu alisnya meminta penjelsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Four Kisses
Genç KurguCinta yang aku punya nggak salah, Cuma ya tempatnya aja yang nggak tepat. -Vika