Ciuman Kedua

19 1 0
                                    

Shit!

Bima mengumpat dalam hati ketika jalan yang ditempuhnya mengalami macet parah, katanya sih di depan sana ada yang kecelakan. Tapi plis, saat ini Bima benar-benar sangat terburu-buru. Tidak bisakah kecelakaannya ditunda besok saja?

Bima menepikankan motor sport ninja hitamnya dipinggir trotoar, menaruhkan helmnya dispion sebelah kiri, lantas setelah itu mulai berlari kesetanan. Tak dia pedulikan tentang motornya yang kemungkinan dicuri, itu bisa dibeli lagi. Tapi saat ini adalah waktu yang Bima kejar, yang tidak bisa dibeli dengan uang sekarungpun.

Bima berlari disepanjang trotoar, menghiraukan orang-orang yang menatapnya aneh. Kecepatan lari Bima bahkan bisa disamakan dengan pencopet kelas kakap yang dikejar warga. Tuhan semoga dia baik-baik saja, itu do'a Bima dalam sepanjang larinya.

Entah sudah berapa lama dan jauh dia berlari, keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya, bahkan dinginnya malampun tak dapat menghapusnya.

Rumah bercat putih itu sudah terlihat, Bima semakin mempercepat larinya.

Brak!

Bima membuka kasar pintunya berlari lagi menuju tangga kelantai atas. Napas Bima pendek-pendek saat dia sudah sampai didepan pintu kamar bercat cream. Bima menutup matanya menenangkan detak jantungnya yang hampir pecah. Kembali Bima membuka matanya menatap handel pintu itu, lantas membuka pintu kamar yang tidak pernah dikunci pemiliknnya.

Kriek!

Jantung Bima seakan lompat dari tempatnya, saat mendapati tubuh itu meringkuk bagaikan janin dalam gulungan selimut. Bergetar pelan dalam tangis yang gagal diredam tebalnya selimut. Perlahan Bima melangkah memasuki jauh kedalam kamar itu, kamar yang sering dia masuki. Tapi apa harus keadaannya seperti saat dua minggu lalu, kamar termaram, pecahan barang berserakan, mungkin lebih parah. Hati Bima serasa tersayat silet saat tangisan itu tertangkap jelas ditelinganya.

Bima naik keatas tempat tidur dengan hati-hati. Tidur miring menghadap tubuh yang membelakanginya, lengannya terangkat mendekap tubuh itu dari belakang. Dapat dirasanya tubuh itu menegang dalam pelukannya sebelum bergetar lebih kuat dan tangis yang lebih keras. "Kak Bima" suara itu melirih dalam dekapannya.

"Maaf Vika maaf" Bima menggumamkan kalimat itu bagaikan mantra ajaib.

Tangis Vika semakin pecah mendengarnya. "Jangan seperti mereka kak... Jangan pernah pergi... Jangan jadi jahat kaya mereka..hhiks"

Bima mengetatkan pelukannya, menggumamkan kembali mantra itu seakan itu memang benar ajaib "Maaf Vika maaf"

Vika membalikkan badannya menghadap Bima yang menatapnya dengan rasa bersalah. "Kak Bim... Kakak nggak salah... Ini salah mereka.. Mereka yang jahat, bukan kakak" Vika bergumam pelan dalam tangis yang berusaha ia tahan.
Berusaha menahan tangis yang sudah terlanjur pecah itu menyakitkan. Terasa sesak namun mencoba ditahan, rasanya seperti rasa pahit yang melukai. Vika memejamkan matanya merasa sesak, kenyataan ini terlalu menyakitkan untuk menjadi nyata. Seakan mimpi tak lagi seindah bayangan.

"Mereka cerai kak, mereka egois. Mereka JAHAAATT!!" Vika berteriak kesakitan, meronta dalam dekapan Bima melampiaskan rasa marah dan kecewanya. Bima diam saja menerima pukulan bertubi-tubi dari Vika pada tubuhnnya. Merasakan setiap emosi dari pukulan Vika yang lama kelamaan memelan dan berhenti dengan sendirinya.

Saat tangis itu pecah hanya ada satu obat untuk menenangkannya, pelukan hangat dari orang yang berarti.

"Hati aku sakit Kak, aku coba bertahan berharap kasih sayang yang aku impikan itu jadi nyata. Tapi Kenapa rasa sakit itu yang jadi nyata. Ini gak adil, gak adil" Vika terus merancau tidak jelas dalam isaknya. Mencoba menerangkan pada Bima bagaimana gambaran rasa sakitnya.

Four KissesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang