Throwback[3]

330 27 5
                                    

Senja tidak pernah semenyebalkan kali ini

Diiringi gerimis yang turun perlahan dari langit,

Ditemani gemericik air yang berisik

Aku dihantui oleh kenangan tentangmu, lagi

Rantaian mutiara membawa pilu

Semakin erat dan tak ingin berlalu

Semakin deras mengalir ke muara sanubari

Namamu terbasahi lagi

Kutiup telapak tanganku yang membiru

Meninggalkan rasa hangat yang sesaat merasukiku

Sesaat, sama seperti halnya kehadiranmu yang terasa nyata meski semu

Kini aku membenci hujan setiap waktu

Mungkin, karena hujan mengingatkanku padamu

Atau karena hujan selalu membuat kenangan kita terlarut?

Peradabanku berhenti sejenak

Bayangmu masih jelas terangkum dalam benak

Seukir senyum mungil bibir merah masak

Seukir senyum tipis dengan beribu juta corak

Masih terasa genggamanmu kala itu

Saat gelap memaksamu untuk larut dalam dekapku

Suara halus dengan intonasi tinggi nyaris selalu menghiasai pendengaranku sesaat sebelum kamu terlelap dalam tidur

Kamu, baik-baik sajakah kini tanpaku?

Ah, benar-benar terpatri dalam relung kalbu

Merindu sepucuk rima pemanis yang kandas dimakan semu

Sial, ini sangat kelabu

Sebenarnya, kamu akan kembali dalam pelukku

Ataukah berakhir dengan bahu baru?

Tersentak aku ke dalam alam sadar

Sesuatu menamparku keras hingga aku terpana

Sampai kapan akan kubiarkan diri ini terbelenggu asa?

Sedang sang pemberi asa mungkin telah hilang dan berganti kisah

Feihung Al. Ferizi || Tamara Sarlita

— di balik layar ponsel, tengah malam, 4 April 2017

ClandestineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang