Cinta yang tak terbalaskan ini sungguh menyakitkan hatiku. Dia hanya menganggapku sebagai sahabat terbaik. Kini mataku sulit untuk dipejamkan. Menatapnya pun begitu menyakitkan. Apa kurangnya aku? Apa salahnya aku?
Lihat kereta kosong itu, aku ingat kau sering mengajakku menaikinya. Kau mendorong kursi-kursi lapuk kemudian menata mereka menjadi tempat jamuan yang mengesankan. Boneka itu kau bariskan disebelah sehelai daun pisang yang berisi butir-butir jagung rebus. Kau tersenyum padaku. Aku heran, darimana kau mengetahui tatanan ini?
Lilin merah, hasil curian di klenteng sebelah rumah, kau nyalakan. Kau mengangkat gelas "Cherr...!" teriakmu. Aku terkejut lagi. Dengan beribu keheranan kuangkat pula gelas yang berasal dari potongan bambu itu. "Ciiir," kataku kaku. Aku teguk air tebu hitam yang agak kental itu. Manis...terasa ada sepah-sepah tebu tertinggal tapi tidak mengurangi kenikmatannya.
"Itu untukmu," katamu menunju ke arah boneka. "Selamat ulang tahun." Kau turun dari kursi dan berjalan ke arahku. Cup...bibir pucatmu mendarat di pipi kanan. Aku tertunduk malu, wajah anak kecil lugu ternoda semu merah muda. Merusak pikiran suci yang selama ini selalu terjaga selama ini.
Duhai, boneka itu sekarng sudah kumal dimakan usia. Bulu putih yang halus kini bergumpal-gumpal kecoklatan. Tatapannya yang dulu bahagia kini sendu dan merana. Sama seperti hatiku yang kau lukai.