When The Love Goes Wrong (Prolog!)

70 6 0
                                    

Pikiranku melayang ke sosok pria yang baru saja kukenal sekitar 2 pekan lalu. Membayangkannya membuatku terasa sulit untuk bernafas, bahkan walau sesaat saja. Terlihat jelas wajahnya yang kokoh dibalik jendela kereta yang hendak bersauh menuju kota beribu kenangan, ya... kota cantik nan istimewa, Yogyakarta. Segelintir pertanyaan kemudian muncul beramai-ramai dalam pikiranku, bertanya apa yang akan selanjutnya terjadi ketika jarak memisahkan kami berdua.

Yang terpikirkan olehku bahwa, aku akan merasakan rindu yang teramat sangat. Bahkan ada kalanya aku mendengar kabar burung yang mengatakan bahwa kerinduan akan membawamu pada kematian secara perlahan. Rindu itu bersifat kronis, we called it the silent killer.. begitulah kira-kira pikirku tentang rindu.

Permainan cinta atau drama macam apa yang sedang kulakoni saat ini, hah. Entah ini surgaku atau bahkan neraka yang aku rasa.

Segera aku singkirkan segala pertanyaan-pertanyaan konyol itu, dan kualihkan pandanganku ke arah rerumputan hijau yang tidak nyata dengan dihiasi kaki-kaki nan lincah memainkan bola berwarna putih ungu. Kucari-cari sosok yang sudah hampir sewindu menemani tangis dan tawaku, seketika gol tercetak di gawang lawan, oh ternyata sosok itu baru saja mencetak satu gol dan berteriak girang, seraya tatapannya mencari diriku yang tengah memperhatikan kemenangannya,  disusul dengan senyuman lembut mautnya yang membuatku semakin tersipu.

Dia adalah Marcell, dia begitu manis, dengan alis tebal, rambut hitam dan kulit bersihnya yang menawan. Belum lagi suara lembutnya yang membuat luluh setiap kali perempuan mendengarnya, begitupun dengan tatapannya yang hangat membuat nyaman siapapun yang menatapnya. Marcell sungguh rupawan dengan kecerdasan yang dimilikinya, membuatku beruntung menjadi satu-satunya sosok yang menemaninya. Tapi meskipun begitu aku yang bodoh dan plin-plan ini benar-benar telah menodai perasaan Marcell yang selama ini hanya ia berikan untukku. Sudahlah, benakku sedang tidak ingin membahas kerisauan hati ini. Begitulah malam minggu di salah satu arena futsal di Sleman yang aman ini.

Tidak lama kemudian gol silih berganti terjadi dalam beberapa menit saja. Sementara diriku masih bukan yang aku rasa diriku seutuhnya, sejak dua pekan lalu. Berkali-kali kulihat telepon genggamku hanya untuk menantikan pesan balasan dari sosok pria yang pernah kuceritakan pada sahabatku, Carissa.

Carissa my best friend forever by accident, yup. Kisah lucu dibalik persahabatan kami berdua bermula saat Carissa dan aku menyukai sosok pria yang sama. Aku tidak pernah menyangka bahwa Carissa menyukai Dony semasa aku duduk di bangku SMP, well... cinta monyet yang sangat ingin kulupakan dan kubenci sepanjang masa. Menurut pengakuan Carissa, dia sangat membenciku sesaat setelah tahu, bahwa aku dan Dony ada hubungan khusus yang lebih dari sekedar teman.

Begitu kami merayakan acara farewell party di beberapa tahun silam, aku mengenal sosok Dony yang ramah dan pendiam menjadi sosok paling bad boy di dunia, dengan berani-beraninya berlaku tidak sopan pada seorang putri yang baru saja akan beranjak masuk bangku SMA. Merayu di depan publik mungkin akan aku apresiasi betapa so... sweet nya dia, tapi tidak untuk menciumku. Ya.. hal itu membuatku sangat marah, bahkan hingga sekarang.

Kejadian memalukan itu sangat membuatku terpukul, aku hanya ingin menyiapkan diriku hanya untuk suami sahku nanti. Semenjak itu aku bersumpah untuk tidak mengingat sosok Dony dalam hidupku. Ketika masuk di bangku SMA, aku yang sering terlambat karena dipaksa bunda menghabiskan sarapan, menyebabkan aku terjebak dalam kemacetan jalanan di kota Bandung, sehingga dengan terpaksa jatah tempat duduk di kelas baruku sudah terisi penuh. Sungguh itu hal yang paling mengesalkan dan memang sifatku yang sensitif ke segala arah. Dari arah pojok kanan belakang seseorang memanggilku dan dengan segala kerendahan hatinya memberikan kursi kosong di sebelahnya untukku yang pagi itu amat malang, dia Carissa yang membenciku. Yaa.. kurasa itulah awal aku dan Carissa menjadi teman selamanya, ya setidaknya sampai saat ini dan kuharap akan terus berlanjut sampai kapanpun.

"Cling .... cling ...". Suara telepon genggamku berdering nyaring. Kulihat pesan masuk dari sosok lelaki bernama Hexa. Pemuda tampan, populer, dan bad boy menurut pengakuannya yang kini sudah berubah 180 derajat. Aku menelan ludah sesaat, melihat sesekali kearah arena futsal dan curi-curi melihat apa balasan dari Hexa. 

"Kabar baiknya... aku sudah mendingan dari sakit badanku akibat basket sore ini. Kabar buruknya, rindu ini semakin dalam dan sangat mencekam ketika aku membayangkan kau disana sedang sibuk dengan sosok pria lain." Balasan pesan yang biasa dilakukan pria manapun, tapi... setidaknya untukku hal itu membuat hatiku kegirangan. Aku segara merangkai kata menjadi satu kalimat, singkat. Aku berharap dia tidak membalas pesanku lagi karena aku tidak ingin menghancurkan malamku dengan Marcell. Hanya sampai pukul sepuluh saja, selepas itu pasti aku dengan senang hati menemani Hexa sepanjang malam hingga berganti pagi hanya untuk mengobati rasa rindu yang kian hari kian menggebu.

Sesaat kemudian tiba saatnya break time untuk permainan yang sudah berlangsung selama 15 menit itu. Kuselipkan telepon genggamku dibalik saku jeans belakangku yang sudah kuubah ke mode silent, dan segera kuambilkan botol minuman beserta handuk kecil untuk Marcell.

"Apa rasanya melelahkan .. ?" Pertanyaan bodoh yang jelas terlihat hanya sekedar untuk basa-basi saja dan tak lazim dilontarkan pada pria penuh keringat yang memang sedang kelelahan. Marcell kemudian tersenyum dan meraih botol minuman dariku, membukanya dan meneguknya dengan penuh dahaga. Sementara handuk kecilnya ia simpan di pundak kanannya.

"Enggak, kan ada kamu yang terus menemaniku. Btw, thanks ya sudah berkenan nemenin aku keringatan kaya gini nih." Jawab Marcell sambil sedikit menggodaku dengan mengedipkan sebela matanya. Kata-katanya sedikit mengingatkan aku pada sosok Hexa yang kerap kali memujiku dan menggodaku dengan candaan yang membuat kita enggan berpisah layaknya kita tak kenal waktu, bahwa kita memiliki kesibukan yang berbeda satu sama lainnya, bahkan dipisahkan oleh ruang yang berbeda pula. Tangan Marcell mengibas-ngibas kaus futsalnya yang tampak penuh dengan keringat. Tak lama kemudian Eldy memanggilnya dari arena lapangan futsal, mengajaknya untuk melanjutkan permainan mengasyikan yang sempat terhenti dua menit sesaat.

"Ayolah.. Cell! Lama sekali, sudahlah bidadarimu juga tidak akan pergi tanpa kamu. yaa... sampai acara ini selesai. Iya kan, Lucy ?". Seru Eldy yang dengan gemasnya memainkan jaring-jaring penutup arena futsal. Aku hanya tersenyum sambil memberikan anggukan pada Eldy yang masih dengan tatapan merayu laiknya seorang cowok. Marcell kemudian meneguk sekali lagi botol minumnya dan mengembalikan handuk dipundaknya padaku tanpa ia gunakan sama sekali.

"Wait ya! ini tidak akan lama lagi, kok. Kamu sudah lapar, kan ? Usai ini kita makan di kedai sate kesukaanmu, Oke ?" Pertanyaan dan seruan yang ia lontarkan padaku mengisyaratkan bahwa ia menahanku untuk bosan menyaksikan keasyikannya memainkan bola sebesar buah kelapa, dan aku pahami itu. "Oke!". Jawabku singkat, menimbang aku kehabisan kata untuk berbicara padanya yang segera berlalu dalam permainan baru.

Tanpa terasa sudah ada puluhan balasan pesan dalam telepon genggamku. Meskipun aku berharap untuk balasan pesanku dari Hexa, dibalas nanti saja. Aku sudah tidak sabar ingin segera membukanya, bahkan kalau bisa, aku ingin segera berada dirumah dan membuka laptop kesayanganku kemudian segera menekan tombol video call pada Hexa. Menatapnya semalaman bahkan sanggup kulakukan hanya untuk mengobati rasa rindu ini.
Kesilapan cinta yang sedang kubuat ini mungkin akan membawaku pada neraka yang menyeramkan sehingga aku akan menyesalinya nanti meskipun yang kurasa sekarang adalah surga cinta. 

"Aku merasa cinta sedang merayu

memaksaku untuk rindu

menyiksaku dalam kelabu

sejak malam itu"

Misadventures of Pursuit! [SEKUEL]Where stories live. Discover now