Hitungan Kedua

8 1 0
                                        

Flashback on.....

Ketika aku melihat Si-Sendu, iya bertanya apa Si-Luka sudah sembuh?

Ketika aku menegur Si-Tangis, iya bertanya apa Si-Luka masih membekas?

Lalu aku bertanya pada Si-Luka...
Apakah kau bisa sembuh?
Apakah kau masih berbekas?

Si-Luka menjawab...
Jika aku membawa takdir untuk selalu dibenci oleh Si-Sembuh dan Si-Rasa, karena sakit yang akan selalu ada oleh karena ku, apa menurutmu aku akan bisa sembuh?
Jika aku membawa takdir untuk selalu menjadi sahabat Si-Bekas, aku akan selalu dibenci oleh Si-ingatan, apa menurutmu aku akan bisa tidak berbekas?

Itu lah takdir dari ku, ya. Aku. Si-Luka. Yang, menyedihkan.

Lalu Si-Luka balik bertanya,
siapa kah kau? Kau bahkan membawa takdir lebih kotor dariku.

Aku...
Si-Hina.

Aeka selesai membacakan puisinya didepan kelas sembari tersenyum sumringah, tapi respon yang iya dapatkan dari seluruh pendengar puisi tersebut tidak sesuai harapannya, harapannya orang yang mendengar puisi tersebut akan menangis, minimal matanya akan berair sedikit bukan? Tapi satu tarikan ingus yang menandakan seseorang menangis pun tidak iya dengar, padahal iya yakin sudah memasang telinga mungilnya dengan baik, meneliti setiap suara yang ada disekitarnya, iya bahkan yakin iya bisa mendengar gosip dari rombongan semut yang sedang berusaha menaiki sebuah dinding, okey dia hanya berlebihan, dia bukan keturunan vampire, warwolf, apalagi dewa dewi, jadi mana mungkin dia mempunyai pendengaran setajam makhluk-makhluk​ tersebut.

Tapi kembali lagi pada reaksi seluruh pendengar puisi nya tersebut, mereka hanya memandangnya dengan pandangan menilai, dan tidak percaya, bagi Aeka itu terlihat sedikit bodoh, tapi secara tidak sadar saat iya menilai orang bodoh, orang itulah yang lebih dulu menilai nya bodoh.

Aeka mulai bingung sekarang, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena berpikir, dia yang bodoh, atau mereka yang bodoh. Aeka terus berpikir sampai seseorang laki-laki membuka suaranya.

"Apa kau kesurupan" dan karena kalimat itu, rentetan kalimat lainnya bak semut menyeberang pun hadir.

"Kau tidak cocok dengan puisi itu Aeka"
"Apa hari ini kau sedang sakit"
"Apa akhirnya kau bisa sedih juga"
"Astaga Ae, akhirnya kau bisa sedih juga"
"Hei aku menang taruhan" dan masih banyak rentetan kalimat yang membuat Aeka yakin orang orang ini tidak menganggapnya manusia normal, iya baru ingat membalas perkataan teman teman sekelasnya itu, sampai sebuah pikiran kembali menghentikan nya, apakah iya pernah normal?

'Ahhh Ae ini bukanlah​ saat yang tepat memikirkan hal seperti itu'

"Kalian pikir aku apa?, manusia berhati titanium, kalau kalian melihat wujud ku masih seperti manusia, berarti aku masih bisa sedih"

"Ouuw maafkan aku little girl, tapi kau tidak menyerupai manusia, kau lebih cocok disebut hobit" ucap laki-laki​ yang memang tidak pernah memakai kalimat yang lebih halus dan manusiawi menurut Aeka.

"Aku bukan little girl-mu, dan aku juga tidak sependek hobit, kau saja yang tinggi nya berlebihan" balas Aeka yang jengkel pada laki-laki​ itu.

Tapi bukannya meminta maaf seluruh kelas tersebut malah menertawai nya.

Aeka menghentakkan kakinya dan menoleh ke Mrs.Gina untuk meminta bantuan. "Mrs.Gina lihat mereka mengejekku miss" ucap Aeka mengadu.

"Anak-anak, harap maklum saja hari ini pada Ae, mungkin dia sudah mulai lelah pada penantiannya pada Andrew selama hampir 3 tahun ini" ucap Mrs.Gina sambil mengulum senyum manis nya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lives A HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang