Kata-kata itu tak seindah puisi cinta karya penulis terkenal. Tapi kata kata itu membuatku menjadi sosok yang berharga di matamu.
Maudy memasuki pintu rumahnya setelah ia di antar oleh naufal. Tadinya naufal ingin mampir sebentar namun dengan kejamnya maudy mengusir dan menolak mentah mentah permintaan naufal itu.
"Assalamualaikum,maudy pulang" ujar maudy ketika memasuki rumahnya, awal langkahnya disuguhkan oleh keadaan ruangan yang kosong dan sunyi. Maudy menghembuskan nafasnya dengan gusar,kemudian menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.
"Sebentar lagi mungkin bakal jadi rumah hantu" ucap maudy datar. Ia melangkah ke arah pintu bercat putih di sudut ruangan dengan papan kecil yang bertuliskan maudya. Dengan cepat nadin meraih kunci di kantung roknya lalu membuka pintu kamar itu dalam waktu kurang dari semenit. Direbahkan tubuhnya pada kasur king size dengan mata yang terpejam. "Radika?"
Sedetik,dua detik,tiga detik berlalu maudya masih diam terpaku pada nama itu,namun tiba tiba ia bangkit dan membalakan matanya, dipegang keningnnya erat erat memastikan apakah dia sadar oleh perkataannya. Maudy tampak memijat pangkal kepalanya dengan lembut,napasnya kembali tidak teratur,jantungnya berdegub seakan berpesta,sesak di dadanya masih bisa ia rasakan sesekali ia menggeleng kan kepalanya berharap bahwa apa yang ia rasakan tidak sungguh sungguh.
"Pasti gue gila" Teriak maudy sedikit kencang. Kakinya di hentakan kuat-kuat,perasaan apa ini? Perasaan yang terlalu berlebihan. Dewi batinnya bersorak bahwa maudy sedang jatuh cinta sedangkan mulutnya memprotes bahwa hatinya hanya untuk seorang vito sekalipun pria ganteng seperti christian ronaldo menembaknya,maudy hanya akan selalu terpaku untuk seorang alvito.
20 oktober 2016—Mungkin perasaan ini sudah sepenuhnya miliknya,tapi aku kurang menyadari. Pertengahan oktober yang mengesankan. Ketika aku bertemu dengannya untuk pertama kalinya. Jabaan tangan,tawa,dan sebutan nama. Aku mencintainya mulai hari itu dan seterusnya. —maudya nadienata
Singapura,2019
Dokter irena tersenyum setelah membaca buku diary milik maudy. Matanya manatap lekat maudy yang sedang terbaring tenang di ranjang rumah sakit. Perasaannya bimbang sambil mengelus diary ditangan kanannya. Dokter irena menghela napas perlahan,matanya terpejam,merasakan atsmosfer ruangan yang begitu tenang.
Radika?
Apakah dengan begitu seorang maudy akan sadar dari komanya?
Matanya terbuka,kembali menatap maudy dengan perasaan yang menyayat hati, maudy seperti mayat hidup,kulitnya yang pucat,rambut yang tak terurus,serta selang dan alat bantu di seluruh tubuhnya.
Suara panggilan telepon menggema di ruang perawatan maudy,dengan sangat cepat dokter irena meraih hp milik maudy dan melirik si penelpon,tertulis "Rifki tan""Halo"
Halo maudy,ini gue tan. Gimana kabar lo?
"Em—baik"
Lagi apa lo sekarang?
"Masih nyelesaian skripsi"
Waduh,yang bentar lagi jadi bu hakim oh ya Lo bisa hadir kan di reuni kita?
"...kapan?"
Mungkin desember. Nanti gua kabarin lagi deh
"Ok"
Lagi sibuk ?
"Engga kok"
Lo gak on sosmed?
"Engga udah dulu ya gue harus cabut nih"
Oh oke deh,nanti gue hubungin lagi ya di
Dengan tergesa dokter irena menggeser tombol merah tanda mengakhiri panggilan. Tekatnya sudah bulat ingin pergi ke indonesia untuk menemui seseorang yang maudy butuhkan.
Perlahan dokter irena mendekat ke arah nadian senyumnya kembali merekah untuk menatap maudy. "Tolong sekali saja bangun dari tidurmu yang panjang" ucapnya di dekat telinga maudy secara lembut.
---
Pukul 1 siang,dokter irena telah tiba di bandara,menunggu jadwal penerbangannya pada pukul setengah dua. Tangan kirinya masih menggenggam buku diary milik maudy, sedangkan tangan kananya sibuk mengotak ngatik hp untuk menghubungi seseorang.
"Jason,tolong jaga maudy. Sampai saya kembali" ucapnya untuk orang yang berada di seberang telepon. Napasnya kembali gusar setelah mengakhiri telepon. Tangannya kembali membuka buku diary maudy yang belum ia baca sepenuhnya.
3 kata. Itu yang kau ucapkan, dengan meruntuhkan semua pertahananku. Aku jatuh pada tempat yang teraman dan terlalu tentram bahkan tak jarang sangat sulit untuk kugapai dan merasa seolah kau hanya mimpi bagiku.
Flashback Jakarta 2016
"Mudya Nadienata dari kelas XII IPA 2 tolong ke ruang piket sekarang" Ucap Ucap seorang siswi di depan pintu. Pukul 10 pagi,waktunya isitirahat,maudy yang bersiap mengisi perutnya yang masih kosong harus di suguhkan dengan ucapan yang menohok hatinya. Bangsut ujarnya dalam hati. Melihat wajah khawatir maudy yang kusam,gia menahan tawanya dalam diam yang mengerikan. Maudy menatap kesal ke arah siswi yang berteriak di depan kelasnya, kukunya siap menancap di wajah mangsanya. Dengan keras nadin memukul meja di depannya
"Gua capek,bilangin guru piket. Gue ga mau laporan. Karena gue gamau jadi ketua kelas,gue mengundurkan diri mulai detik ini" ujar nadin kesal. Semua sorot mata tertuju padanya dengan tatapan dia pasti bercanda. Karena geram di tatap seperti itu maudy melangkahkan kakinya untuk pergi ke ruang piket yang letaknya cukup jauh dari kelasnya.
Setelah menaiki tangga nadin mendapat halangan, sosok tubuh tinggi dan gagah berhenti tepat di hadapannya. Maudy mendongak dengan napas ngos ngosan,tiba tiba manatanya melebar menatap cowok dihadapannya Radika
"Gua yang manggil lo kesini" ucap cowok itu dengan senyum kecil. Maudy melongo,ia diam,menatap cowok itu dengan jantung yang berdetak dengan sangat kencang.
"Maudy? Gua bakal jaga lo— mau jadi pacar gua?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NOTED
Teen FictionIni kisah tentang seorang Maudya Nadienata selama masa SMAnya sebelum ia terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Siswi yang biasa di panggil nadin itu memiliki banyak kenangan indah di SMAnya