Part 4

706 28 0
                                    

Rooftop.

Tempat itu sekarang menjadi favoritku setelah kejadian 4 bulan lalu. Sejak saat itu, hilang sudah status bersahabat ku dengan derian. Sesekali aku bertemunya tapi aku hanya bisa merunduk terlalu takut untuk melihatnya. Selama dua bulan itu juga aku tak mempunyai teman curhat selalu sendiri. Dan kadang aku bisa tertidur disini sampai jam pulang sekolah entahlah aku tak tahu kenapa saat aku sudah tertidur disini aku tak mendapat tegoran di pihak sekolah. Seseorang pasti sudah menolongku tapi aku tak tahu siapa dia. Yang pasti aku akan berterima kasih kepadanya saat mengetahui keberadaannya.

Baru saja aku ingin terlelap di atas kursi ini, satu-satunya kursi disini. Aku mendengar suaru pintu yang menghubungkan rooftop dengan tangga yang menuju ke bawah. Aku mengabaikan suara pintu itu, berpikir bahwa itu hanya petugas kebersihan yang sering kesini terkadang juga menemaniku. Tapi aku langsung terlonjak kaget saat merasakan elusan di pipiku dan suara yang sangat aku kenal selama hampir satu tahun itu.

"hai rin" ucapnya dengan selembut mungkin.

Aku membuka mataku dan melihat kearahnya yang lebih tinggi dariku. Melihat matanya sedalam mungkin. Terpaku pada keindahan matanya yang sudah lama tak ku pandangi. Merindukan sesorang yang sedang ku tatap ini. Rasanya aku ingin memeluknya sekarang juga, tapi aku tak bisa aku tak ingin membuatnya lebih marah lagi. Yang ku lakukan hanya terdiam terus dan memikirkan kenapa dia berada di depanku sekarang.

"kok ngelamun sih, kamu gak mau gitu peluk aku. Aku aja udah kangen banget sama kamu" ucapnya dengan lembut dan terselip nada yang menyesal. Aku sedikit terheran kenapa dia mengubaha panggilan yang biasanya lo-gue menjadi aku-kamu.

Dan aku memutuskan untuk menyapanya, hanya itu yang terpikir oleh ku.

"ha-hai der" ucapku terbata. Dan ku lihat dia menghela nafas frustasi, lalu perlahan ia sedikit berjongkok untuk menyamakan posisinya denganku. Lalu ia mulai berkata.

"maafin aku rin... maafin aku" ucapnya lirih dengan kepala menunduk.

"kenapa kamu kesini bukannya kamu marah sama aku?" tanyaku sendu.

"maaf rin. Maaf" ucapnya lagi.

"kenapa kamu harus minta maaf ke aku. Bukan kamu yang salah tapi aku. Aku tau aku bukan siapa-siapa kamu, aku tau aku selalu bikin orang susah, aku tau---" sebelum aku menyelesaikan perkataanku derian sudah memotong terlebih dahulu dan memegang kedua tanganku.

"please rin jangan ngomong gitu. Disini aku yang salah, aku salah udah ngebentak kamu, aku udah salah tentang kejadian itu. Maafin aku rin." Ada jeda sejenak sebelum melanjutkan ucapannya dengan suara yang terdengar serak seperti akan menangis "aku udah tahu semuanya rin." Lalu menatapku dengan tatapan entahlah aku tak tahu.

"tahu semuanya?" tanyaku dengan nada menyindir "kamu gak tahu apa-apa tentang aku. Kau gak tau."

"enggak aku tahu, kamu udah tersiksa selama ini. Kamu udah terlalu bersedih dengan semua yang kamu alami. Kamu kuat untuk menjalani hidup dengan kebencian yang mengelilingimu. Aku tahu rin dan kamu adalah........kembaran marisa" ucapnya dengan lantang dan berubah memelan saat mengatkan itu. Sedangkan aku tercekat mendengarnya bagaimana bisa dia tahu itu.

"gimana kamu tahu?" tanya ku dengan sura serak. Sekejap aku ingin menangis dan air mataku sudah terkumpul di pelupuk mataku.

"aku tak sengaja mendengar percakapan marisa dan temannya dua bulan lalu" ucapnya pelan. Dan aku sudah mengeluarkan tangisanku dengan hebat.

"la—lalu kenapa kau baru datang kepadaku saat ini kenapa tidak saat itu juga der. Aku sangat tersiksa karena kejadian itu" ucapku dengan tersengal-sengal.

"aku terlalu pengecut unutk menghampirimu dan mengatakan ini."

"rin bisakah kita memulainya lagi kita lupakan kejadian itu dan aku sangat kehilangan dirimu saat itu, aku menyesal telah menghinamu setelah mengucapkan itu rasanya hatiku seperti di remas melihat mu seperti itu. Aku sangat merindukanmu rina. Dan saat itu aku menyadari bahwa aku memiliki perasaan lebih padamu hanya saja aku mengelaknya sedari dulu" dan ia berhenti untuk mengambil nafas seakan ia akan mengatakan sesuatu yang susah untuk di katakan.

"aku tahu mungkin ini sudah terlambat untuk mengatakannya dan aku terlalu pengecut untuk ini. Dan mungkin aku tidak pantas juga untuk ini" lirihnya menyesal. Dan saat aku akan membuka suara dia berucap lagi dan membuatku mengurungkan niat untuk berbicara lagi.

"bisakah kita menjalin sebuah hubungan lebih dari sahabat."

A SadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang