Pain

633 9 1
                                    

Aku pernah dengar, katanya saat kematian menjemputmu, kau akan melihat kilasan episode-episode kehidupanmu yang telah kau lewati, berkerlap-kerlip bagaikan potongan film. Saat-saat bahagia, saat-saat sedih, ketakutan yang menyerangmu ketika kau pertama kali menjejakkan kaki di bus sekolah, tawa ceriamu ketika melihat penguin di kebun binatang, pipimu yang bersemu merah saat bertatapan mata dengan cowok yang kausukai, perasaan senang ketika menerima hadiah ulang tahun...semuanya. Semua itu akan hadir kembali di detik-detik terakhirmu. Begitulah katanya.

            Aku tahu aku masih hidup karena aku tidak melihatnya. Aku tidak melihat semua itu. Yang kurasakan adalah kekosongan. Sesaat, atau entah untuk berapa lama, aku berada dalam kekosongan. Rasanya seakan-akan seseorang tiba-tiba memadamkan semua penerangan. Aku kedinginan, tapi tidak merasa takut ataupun panik. Aku hanya menunggu. Dan menunggu. Hingga akhirnya aku terbangun. Hidup kembali.

            “Dia sadar! Dia sadar!”

            “Ya Tuhan!”

            “Cepat panggil dokter!”

            Keributan dan teriakan menyambutku. Dengan susah payah aku berusaha membuka kelopak mataku dan menggerakkan tangan. Samar-samar kulihat wajah ibuku yang berhamburan air mata. Ia berlari padaku dan langsung memelukku.

            “Ugh...ugh...” aku mengerang, ingin berkata bahwa otot-ototku nyeri, dan alangkah baiknya jika ibuku melepaskan cengkeramannya sekarang. Belum cukup penderitaanku, sosok yang kukenal dan bertubuh besar ikut-ikutan menimpaku. Ayahku menciumi dahiku, air matanya bercucuran di ujung hidungku. Baru kali ini kulihat ia menangis sehebat ini.

            “Tuan, Nyonya, tolong minggir sebentar agar kami bisa memeriksa anak anda.” Seorang pria tua berjas putih muncul, diikuti seorang wanita muda yang juga berpakaian seragam putih.

            “Oh, syukurlah...syukurlah...” gumam ibuku seraya menyingkir dan menghempaskan dirinya ke pelukan ayah. Mereka berdua meninggalkan ruangan sementara pria tua itu menyorotkan senter ke mataku, kemudian memeriksa nadi di pergelangan tanganku. Saat itulah aku baru sadar bahwa ia seorang dokter, dan aku sedang terbaring di rumah sakit.

            “A...apa yang terjadi padaku?” tanyaku terbata-bata dengan suara serak sementara dokter itu menekankan stetoskopnya yang dingin ke dadaku.

            “Kau tertabrak mobil dan koma selama empat hari. Jangan banyak bicara dan bergerak dulu,” jawabnya. Sebenarnya ia tak perlu menyuruhku untuk tidak banyak bergerak, karena aku memang tidak bisa bergerak. Setelah aku sepenuhnya terbangun, aku menemukan kenyataan menyakitkan bahwa untuk sementara aku belum bisa berjalan karena kakiku terluka cukup parah, rusukku retak, dan tangan kananku patah. Aku juga mengalami gegar otak ringan dan telah mendapat puluhan jahitan. Aku hanya bisa melongo ketika mengetahui bahwa aku sempat tak sadarkan diri selama berhari-hari. Rasanya kurang dari semenit aku tertidur.

            Dua hari selanjutnya kulewati dengan menderita. Sekujur tubuhku sakit minta ampun, sampai-sampai aku mengeluh minta disuntik mati saja. Tentu saja aku hanya bercanda, tapi ibuku tidak menganggapnya lucu. Ia mulai menceramahiku mengenai betapa beruntungnya aku karena masih hidup.

            “Bagaimana dengan sepedaku?” tanyaku polos saat ibu sedang menyuapiku.

            “Dari semuanya, itu yang kau khawatirkan? Yang benar saja, Laurie,” katanya sambil memutar bola mata. “Sayang sekali sepedamu hancur terlindas. Sudahlah, tak usah dipikirkan. Nanti kami belikan yang baru. Tapi aku ragu kau akan bisa mengendarai sepeda dalam waktu dekat, mengingat kondisimu,” lanjutnya.

            Tiba-tiba aku jadi teringat akan sahabatku. Aku jadi kangen padanya.

            “Bu, bagaimana dengan Penny? Aku belum melihatnya.”

            “Selama tiga hari pertama ia selalu datang mengunjungimu. Tapi kubilang padanya untuk pulang saja dan nanti akan kukabari jika kau sudah membaik. Astaga...aku lupa memberi kabar padanya.”

            Baru saja ibu akan meraih telepon genggamnya, pintu menyeblak terbuka, diiringi serbuan ketiga teman-temanku, dan salah satunya adalah Penny. Ternyata ayahku berbaik-hati menghubungi Penny. Mereka berteriak senang dan bergantian memelukku. Penny bahkan membawa seikat bunga warna-warni. Ia membiarkanku menghirup wanginya dan kemudian meletakkannya dalam vas. Aku merasa bahagia dan terharu karena perhatian mereka sampai-sampai aku lupa akan rasa sakitku. Ayah dan ibu memutuskan untuk memberi waktu bagi kami untuk bercengkerama. Mereka pergi ke kantin rumah sakit sementara kami mengobrol.

            “Waktu itu mengerikan sekali, kau tahu? Kau tergeletak di kubangan darah. Kukira kau sudah mati,” ucap Penny, mengingat-ingat kecelakaan itu. “Oh iya, ia sudah mengunjungimu?” tanyanya. Aku mengerutkan dahi.

            “Siapa?” aku bertanya balik.

            “Orang yang menabrakmu. Taylor Holbrook,” jawabnya.

            “Tay...lor? Dia yang...” suaraku menghilang. Aku benar-benar terkejut mendengarnya. Taylor yang menabrakku? Lucunya, aku tidak marah padanya. Aku justru mengkhawatirkan keadaannya saat ini. Bukan hanya karena aku merasa bahwa ini bukan sepenuhnya kesalahannya—aku yang tidak hati-hati—tapi juga karena...kau tidak bisa marah pada orang yang sangat kausayangi.

Perfect TwoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang