Aku memperhatikan Penny menyulut sebatang rokok yang diam-diam diselundupkannya ke dalam kamarku. Aku tidak tahu bagaimana seorang gadis berusia enambelas tahun bisa mendapatkan barang itu, tapi bagi Penny semuanya mungkin. Kami berdua bersembunyi di kamar mandi pribadiku; ia meringkuk di bak sementara aku duduk manis di toilet. Sambil melirik padaku, ia mennyelipkan batang rokok itu di sela bibirnya, dan mengisapnya dalam-dalam, kemudian mengembuskan kembali asap yang mengepul. Aku menutup hidung karena merasa sesak.
“Nah, ayo sekarang giliranmu,” katanya menyodorkan rokok itu padaku. Aku mengernyit.
“Kurasa aku berubah pikiran,” tolakku.
“Kau ini bagaimana, sih? Kan ini idemu. Kau sendiri yang berkata ingin mencobanya,” desaknya. Sebenarnya aku enggan, tapi kuraih juga batangan kecil berujung membara itu. Mengikuti petunjuk dan aba-aba Penny, aku menempelkannya di bibirku. Tampaknya aku mengisap terlalu dalam hingga aku terbatuk-batuk.
“Menjijikkan...” komentarku. “Ini, kau saja yang habiskan. Lagipula aku belum sembuh betul. Benda ini bisa membunuhku.” Aku mengembalikan rokok itu pada Penny, yang diterimanya dengan senang hati. Ia menyingkapkan rambut pirang bergelombangnya ke belakang, lalu bersandar di tepi bak dan menikmati rokoknya.
Berbeda denganku yang selalu berusaha mengikuti peraturan dan terlalu ‘lurus’, Penny adalah seseorang yang eksentrik, spontan, dan tidak suka diatur. Ia suka bereksperimen, dan kadang dalam konteks negatif. Ia memiliki tato di punggungnya dan tindikan di pusar. Segala hal dicobanya, seringnya tanpa berpikir lebih jauh akan konsekuensinya. Meskipun begitu, ia adalah seorang sahabat yang sangat menyenangkan. Mungkin justru karena karakternya yang bertolak belakang denganku, kami jadi cocok.
Tiba-tiba, kami dikagetkan oleh suara ketukan di pintu.
“Laurie? Kau tidak apa-apa?”
Rupanya itu ibuku. Sepertinya ia curiga karena kami terlalu lama di kamar mandi.
“Y...ya, kami baik-baik saja! Penny sedang...er...membantuku mencuci muka!” seruku berbohong, sementara Penny segera memadamkan rokoknya dengan sekali injak, dan membuang puntungnya keluar melalui jendela kecil di atas toilet.
“Kalau sudah selesai segeralah ke meja makan. Kue cokelatnya sudah matang,” kata ibuku.
“Oke!” balasku. Kami menunggu hingga langkah kaki ibu menghilang, kemudian Penny membopongku ke kursi roda, dan mendorongku keluar. Meskipun sudah diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit, aku masih belum sembuh benar. Untuk sementara ini aku harus mengenakan kursi roda kemana pun. Hal ini cukup menjengkelkan mengingat segala rencana yang telah kususun kini berantakan. Untungnya Penny rajin berkunjung sehingga aku tidak mati bosan di rumah.
“Jadi, kapan ibu mulai masuk kerja lagi?” tanyaku sambil mengunyah sepotong besar kue. Semenjak aku pulang, ibu mengambil cuti untuk merawatku. Namun, ia tidak bisa terus-terusan menelantarkan pekerjaannya sebagai seorang manajer di perusahaan. Kalau sampai ia dipecat, maka aku yang bakal merasa bersalah.
“Aku berencana untuk kerja besok. Tapi aku masih mengkhawatirkanmu.”
“Aku tidak apa-apa. Ditambah lagi ada Penny,” jawabku.
“Sayang sekali, sobat. Besok aku akan pergi berlibur bersama keluargaku ke Hawaii, dan aku tidak yakin kapan kami kembali. Mungkin seminggu...dua minggu...atau lebih,” kata Penny dengan tatapan menyesal.
“Bagaimana kalau menyewa perawat?” usulku. Ibu tampak mempertimbangkannya sebentar, kemudian ia tersenyum dan berkata,
“Sayang, sebenarnya aku sudah membicarakan hal ini dengan Mrs. Holbrook...”
“Tunggu. Apa hubungannya dengannya?” potongku.
“Ia menawarkan Taylor untuk menjagamu selama kau sakit. Katanya ia harus ikut bertanggung jawab karena merusak liburanmu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two
Teen FictionLaurie dan Taylor, dua sahabat yang kini tak mengenal satu sama lain. Sebuah insiden menyatukan mereka kembali, mengembalikan kenangan yang bertahun-tahun tenggelam ditelan waktu. Apakah mereka bisa menjadi seperti sebelumnya, ataukah semuanya sudah...