Gadis itu sedang mendengarkan lagu Lana Del Rey saat aku menyapanya di depan lift. Dengan volume suara yang pasti sangat kencang di balik earphone-nya sehingga sapaanku tidak didengar. Lambaian tanganku juga tidak dibalas. Dan aku, secara keseluruhan, mungkin memang tidak dilihat olehnya. Dia pun masuk ke dalam lift, menuju lantai tujuh. Aku hanya diam di sini dengan dua gelas kopi, yang maksudku, satu untuknya.
Begitu setiap hari.
Begitu setiap pagi.
Sepanjang tahun sampai aku dengar dia berhenti dari pekerjaannya di gedung ini sebagai cross border di perusahaan e-commerce yang sedang sukses-suksesnya, yang bersaing dengan perusahaan tempatku bekerja.
Kemudian aku tidak pernah melihatnya lagi.
Dia pergi.
Dia benar-benar pergi.
Aku bertanya pada teman-teman divisinya, tapi mereka sepakat untuk tidak peduli. Dan jadilah aku hanya di sini, bersama kesepian-kesepian yang bentuknya aneh. Tidak beraroma, juga tidak berwarna, tapi menyakitkan.
Pernah pada suatu hari di sore yang aku prediksi bisa cerah, aku mencoba mengajaknya berbicara. Saat itu dia sedang sendirian di sebuah kedai kopi dekat kantor. Mungkin sedang menunggu seseorang atau hanya duduk di sana untuk memesan cappuccino yang sedang diskon 50%. Aku mengatakan, "Hai, Dania! Boleh aku duduk di sini?" Dan sambil tersenyum –senyuman yang sangat manis dengan sepasang mata coklat berbinar dan tetes kopi di bibiranya yang membuat gila— dia menjawab, "Ya!" Aku pun setengah mati bahagia dan kamu tahu kenapa. Cerita cinta, perasaan berdebar, dan hal-hal seperti 'biarkan aku memelukmu' ada dalam jarak antara aku dan dia. Namun, dua menit kemudian gadis itu pergi begitu saja. Bahkan tanpa berbasa-basi padaku. Sempurna. Patah hati yang retaknya sempurna di sore yang kupikir akan cerah.
Kemudian aku hanya tidak bisa berhenti memikirkannya. Matanya. Gaun hitam selutut dan sepatu boot-nya. Lipstik merah gelapnya. Pulpen yang diselipkannya ditelinga dan dia cari-cari karena lupa. Bekas botol kopi instannya. Kebiasaannya sikat gigi setelah makan cokelat di jam makan siang. Gaun motif bunga-bunga setiap hari Jumat. Caranya menggigit jari kelingkingnya saat sedang bingung. Rambutnya. Semuanya. Mungkin aku juga jatuh cinta pada caranya tidak mengacuhkanku. Segalanya.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku merasakan ini. Rasanya ingin berteriak di telinganya, "Hei! Sekali saja coba aku!" Tidak. Aku hanya ingin duduk di sampingnya dalam keheningan. Tidak bersuara. Tidak bergerak. Hanya diam dan menatap langit. Lalu, dia bisa melukis rasi bintangnya sendiri seperti yang pernah dia lakukan sembilan tahun lalu. Menggambarnya seperti urutan Claudius Ptolemy di malam paling romantis. Waktu itu sangat indah, andai aku bisa mengatakannya sekali lagi pada gadis itu.
Karena aku masih ingat kami pernah berdiri di balkon lantai empat sekolah. Menonton pensi dan bersembunyi di balik lagu-lagu lawas itu. Tangan kiri Dania menggenggam tanganku dan tangan kanannya menunjuk bintang-bintang. Kemudian, bibirnya tidak bisa berhenti mendongengiku dengan mitologi Chronos. "Zodiakku Capricorn," katanya, "jadi, capricorn berasal dari kambing laut pricus. Kamu tahu, Pricus adalah Ayahnya yang terkenal pintar, baik, dan menjadi pujaan dewa yang hidup di laut dekat pantai, di ujung langit sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Taurus dan Kisah-Kisah Lainnya
Historia Cortadalam kumcer ini terdapat cerpen-cerpen Kampus Fiksi Angkatan 20 bertemakan "zodiak"