Si Gunduk

60 4 4
                                    


Pagi ini Si Gunduk berangkat sekolah. Ia mengucapkan salam kepada Emak dan Bapaknya ketika sudah di depan pintu, mengharap berkah belimpah—ia lalu berangkat dengan hati yang tenang. Emak dan Bapaknya melepas Si Gunduk dengan masih menggunakan sarung dan mukena. Ini masih terlalu pagi bagi anak sekolah, jam setengah 6, jalanan juga masih sepi, hanya ada segala yang masih dingin.

Tercium pula itu aroma kali-hitam bercampur udara pagi yang khas—yang selalu ia lewati saban berangkat sekolah. Si Gunduk curiga kenapa aroma kali di Jakarta yang hitam itu aromanya sangat khas ya.

Di kali hitam itu, terkadang ada juga pecahan gelas, sikat gigi mengapung, kasur, dan tikus-tikus yang selalu riang gembira.

Tidak hanya kali yang hitam, ia juga melewati tempat pembuangan sampah sebelum ia menaiki angkot berwarna biru telur asin menuju SMA-nya. Tidak hanya itu, sekali-kali tidak hanya itu, ia juga melewati nenek-nenek penjual nasi uduk yang tangannya terlihat sudah sangat keriput, sekeriput awan pagi ini, sering kali tangan Si Nenek kebas juga. Wajahnya pun pucat pasi, seperti awan pagi ini. Begitu.

Kita tahu ini adalah pagi yang biasa. Dan kita sepertinya jangan terlalu serius mengikuti kisah Si Gunduk sampai sekolah. Siapa tahu kisah Si Nenek penjual nasi uduk itu jauh lebih menarik untuk kita ikuti. Ah, namanya juga siapa tahu, saya hanya menulis saja.

Tapi mari kita bayangkan sejenak, kemana coba itu anak dan cucu-cucu Si Nenek sampai-sampai ia dengan tubuhnya yang ringkih menjual nasi uduk untuk menyambung hari-harinya. Dalam berdagang Si Nenek pun sangat lamban, energinya sudah tak ada lagi, yang tersisa hanya itu dan itu. Tapi pembeli juga memaklumi.

Konon dulu pernah ada pembeli bertanya, "Nek, kemana anak dan cucunya?"

Dan Si Nenek bilang, "Eh si goblok, gue gak pernah kawin!"

Ebuseh, bayangkan itu saudara-saudara pembaca, jika benar kejadian itu terjadi. Si Nenek yang tadinya kalem saja dengan segala aktifitasnya dengan si uduk, mendadak menjadi murka ketika menyinggung kawin. Iya, kawin.

Saudara-saudara yang budiman sekalian, sepertinya itu bisa menjadi pelajaran buat kita bahwa jangan sampai kita menyinggung risalah kawin dan jodoh orang lain. Biarlah saja, kan itu katanya sudah ada yang ngatur, iya, katanya sih gitu, saudara-saudara.

Ah, kita sepertinya sudah terlalu banyak memikirkan Si Nenek, lihat itu, Si Gunduk sudah naik angkot menuju sekolahnya. Di angkot pun ia hanya bersama si sopir, jadinya si angkot sering ngetem mencari penumpang lain. Di jalanan juga masih sepi, hanya ada satu-dua motor berlalu-lalang, dan mata Si Gunduk terlihat kosong, saya tidak tahu apa yang dipikirkan si Gunduk, saudara.

Eh, tak sengaja, Si Gunduk melihat perempuan malam keluar dari mobil hitam ketika angkot yang ia tumpangi lagi ngetem. Perempuan malam itu dipapah oleh beberapa om-om keluar mobil di depan hotel sempoyongan. Perempuan malam itu sepertinya sangat kelelehan, apa gerangan yang ia perbuat malam tadi, ya?

Si Gunduk melihat perempuan malam itu dengan seksama. Celana mini itu, dada berisi itu, rambut menawan itu, dan wajah, wajahnya kurang terlihat, sebab rambutnya sangat panjang menutupi segala yang seharusnya bisa dilihat. Si sopir angkot pun ikutan melihat perkara itu, awalnya si sopir cuman ngetem, tapi kok lama banget, ya.

"Gila bener tuh orang," si sopir bilang begitu.

Setelah perempuan malam itu masuk ke hotel, barulah angkot kembali melaju, tak lama lagi Si Gunduk turun dari angkot dan berjalan tak jauh untuk sampai di sekolah.

Di depan gerbang sekolah, yang ada cuma sepi. Tidak ada siapa-siapa, tapi gerbang sudah dibuka sih. Si Gunduk masuk, dan menuju kelasnya di lantai 3. Di kelasnya pun hanya ada dia dan bangku-bangku kosong nan dingin. Tidak ada yang lain, kemana yang lain?

Si Gunduk memang anak rajin, ia selalu datang lebih awal dari teman-temannya. Jika sudah begini, Si Gunduk akan membaca kitab suci. Ia melantunkan dengan suara yang tidak keras-keras amat. Takut dikira ria nanti. Pahalanya takut berkurang Si Gunduk ini.

Tapi, ia masih teringat saja sama si perempuan malam tadi itu. Uh, rasanya Si Gunduk berdosa melihat si perempuan malam tadi itu. Tanpa sadar, ketika ia melihatnya, Si Otong pun ikutan berdiri. Dia merasa berdosa. Ah, dia cuma merasa berdosa, lagi pula dosa 'kan perkara yang dibikin manusia doang kok, yang kalo dibaperen malah jadi resah. Udahlah, dosa nggak usah dipikiran, kata setan di hati Si Gunduk.

Untuk mengusir setan-setan itu, akhirnya Si Gunduk memutuskan segera membaca kitab suci yang ia bawa dari rumah.

***

Beberapa waktu kemudian, ketika sedang asyik membaca kitab suci, teman-temannya mulai berdatangan. Si Gunduk masih saja khusu dengan kitab suci, sedang teman sebangkunya sudah datang di sampingnya dengan membawa selembaran yang entah apa.

Duh, Si Gunduk jadi tidak konsen kan baca kitab sucinya. Akhirnya ia mengakhiri membaca kitab suci itu dan,

"Eh, apa tuh yang lu bawa?" tanya Si Gunduk.

"Ini, ramalan, cuy," kata temannya itu sambil memperlihatkan selembaran potongan majalah di depan muka Si Gunduk.

"Apa?" Tanya Si Gunduk di balik selembaran majalah itu.

"Ramalan. Zodiak." Akhirnya teman sebangkunya itu menurunkan selembarannya.

"Dasar kafir," semprot Si Gunduk.

"Eh kok kafir sih?"

"Lu ini percaya sama Allah apa sama zodiak?" Tensi mulai naik, saudara-saudara.

"Ya sama dua-duanya, boleh kan?"

"Ya tidak bolehlah, kamu menyekutukan Allah itu."

"Terus kalo aku kafir gimana?"

"Darahmu halal!"

"Ah masa?"

"Iya."

"Yaudah."

Begitu saja. Kisah yang biasa saja, saudara-saudara.




Afsokh Q, pejalan kaki sejati.

Pria Taurus dan Kisah-Kisah LainnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang