SATU

1.2K 29 0
                                    

Malam itu tak seperti biasanya. Suasana sendu menyelimuti rumah Maina. Seluruh anggota keluarga hadir disana dalam perasaan yang haru biru tak terkecuali kekasih Maina, Aldo. Di sudut ruangan yang menghampar karpet dan tikar Maina tersedu, berusaha menahan suara tangisnya sementara air matanya tetap mengalir tanpa henti.
"Mai... " suara lembut itu tidak menghentikan tangisan Maina. "Sabar, Sayang. " lanjut Aldo seraya memegang lembut bahu Maina.
"Se-sekarang a-aku sendirian, Al." dengan terbata Maina berusaha membuka mulut.
"Nggak, Mai. Jangan bilang begitu. Aku disini, semua kerabat kamu disini."
Tangisan Maina masih tertahan namun semakin dalam. Dia menjatuhkan kepalanya dalam pelukan Aldo. Dengan penuh kasih sayang Aldo mendekapnya, mengelus lembut rambutnya dan mengecup pelan kepala Maina. Sementara itu Maina masih merasa terpukul atas kepergian Ayahnya. Kini dia sendiri setelah belasan tahun yang lalu ibunya pergi meninggalkan dia entah kemana sekarang Ayahnya harapan satu-satunya harus berpulang pada yang maha kuasa.

***

"Dok, hari ini Dokter Renata tidak bisa masuk beliau sakit dan Kepala Jaga meminta Dokter untuk lanjut jaga malam." wanita berpakaian putih-putih itu berbicara pada Aldo dengan telepon masih di tangannya.
"Kamu sudah menghubungi dr. Ryan? Dia kn sedang libur."
"Udah, Dok. Tapi dr. Ryan sedang di luar kota sekarang."

"Hm. Baiklah." Nada rendah keluar dari mulut Aldo.

"dr. Aldo siap, Bu." lanjut perawat tersebut melanjutkan pembicaraan di telepon.

Tak berapa lama Aldo langsung merogoh hp dari jas putihnya. Dia melihat jam di layar hp nya, waktu menunjukkan pukul 15.21 WIB. Pantas saja dr. Renata tidak kunjung hadir setelah hampir satu jam Aldo menunggu untuk bertukar dinas di Unit Gawat Darurat sebuar RS swasta yang cukup terkenal itu. Aldo bergegas mengirim pesan whatsapp pada Maina mengenai pekerjaannya itu.

Mai maaf aku lanjut jaga malam jd gak bs hadir di 40 harian papah

*drrttt*
Hp Aldo kembali bergetar pertanda pesan whatsapp masuk.

Iya gk apa2 Al aku udah ditemenin Tia. Lanjutin aja kerjaan km ya. Semangat ❤

Aldo tersenyum tipis. Kebahagiaan merasuk dalam hatinya. Dia merasa sangat beruntung memiliki Maina, seorang wanita yang selalu mengerti kesibukannya. Dia pun tak menunggu lama untuk segera kembali mengirim pesan pada Maina.

Aku sayang kamu Mai.

Aku jg sayang kamu.

***

"Mai, ini bingkisannya udah beres semua." Tia melapor pada Maina yang sedang menyiapkan kue-kue basah di dapur.
"Iya. Ya udah lo kesini nih bantuin gue bawain kue-kuenya." sahut Maina.
Dari sudut lain terdengar suara lembut seorang wanita dewasa.
"Mai... "

"Eh, Tante!" Maina menoleh kemudian kembali sibuk menata kue-kue di atas piring.

"Masih sibuk ya, Mai. Tante mau bicara."

"Eh? Oh. Iya Tan dikit lagi kok, nanti Tia jg bantuin. Nah, tuh Tia!" Maina mengisyaratkan kehadiran Tia dengan matanya. "Lo tolong bawain semuanya ke depan ya, Ti."

"Oke, Mai!"

Maina mengelap tangannya pada serbet diatas meja kemudian menghampiri tantenya, adik Papa yang tinggal di Bogor. "Gimana, Tan?"

Tante Ria langsung memeluk Maina sambil meneteskan air mata.

"Mai... " Tante Ria menatap Maina lekat-lekat. "Kamu sekarang sendiri, Nak. Kamu mau ikut Tante ke Bogor?"

Maina dengan wajahnya yang menahan sendu berusaha untuk berbicara dengan normal "Gak apa-apa, Tan. Kalo Mai di Bogor jauh sama tempat kerja. Mai oke kok Tan sendiri nanti kalo libur Mai kan bisa sering main ke Bogor."

Tante Ria terisak kemudian menghela napas panjang. "Baiklah. Kalo boleh Tante kasih saran sebaiknya kamu cepet nikah aja. Aldo orang yang baik kan? Lagipula kamu udah 27 tahun sekarang, udah saatnya menikah."

Maina tersenyum tipis namun penuh makna keraguan. Matanya mulai berkaca. "Iya, Tan."

Malam harinya setelah acara 40 harian selesai Maina merebahkan tubuhnya diatas pembaringan. Dia menatap sekeliling kamarnya. Terlihat warna cat kamarnya mulai luntur dan beberapa lubang di atapnya memperkuat bahwa kamar bahkan rumahnya harus dibenahi. Tetapi, meskipun rumah sederhana itu mulai menunjukkan ketuaannya Maina tetap menjaga kebersihan rumah itu dan membuat rumahnya terutama kamarnya terasa nyaman meskipun sangat sederhana.
Tiba-tiba air matanya menetes perlahan Maina mengingat lagi perkataan Tante Ria. Sambil memejamkan mata mulutnya sedikit bergetar menahan tangis atas luka yang dalam. Tentang pernikahan itu, bukan Maina tak ingin segera menikah dengan Aldo. Di usianya yang tak muda lagi beberapa kali Maina meminta kepastian untuk hubungan mereka yabg sudah berjalan hampir 3 tahun. Setahun terakhir, Maina memang lebih gencar meminta Aldo untuk segera mempersuntingnya tetapi entah mengapa jawaban yang Maina dapat selalu sama. Aldo belum siap.
Belum siap? Belum siap apa? Pekerjaan sudah mapan, usia sudah 30 tahun, secara materi sudah siap segalanya tapi mengapa Aldo masih ragu padaku? Apakah karena aku bukan dari kelasnya? Apa karena aku wanita biasa? Tetapi aku pun kuliah dan sekarang sudah bekerja meskipun gajiku jauh dibawahnya setidaknya cukup untuk aku sendiri. Lalu apa yang Aldo ragukan?
Batin Maina terus bertanya tanya. Bahkan segala praduga tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Maina menangis.

Forgive Me! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang