TUJUH

541 16 0
                                    

Maina berkeliling mencari gaun yang cocok untuk dikenakannya. Akhirnya dia tergoda masuk ke sebuah butik yang memajang gaun indah mermaid berwarna biru gelap dengan kerlap-kerlip yang membuatnya semakin elegan. Butik tersebut bernama Zadiva Boutiqe. Dengan senyum lebar Maina berlari kecil memasuki butik tersebut.
"Ada yang bisa saya bantu?" seorang penjaga butik menyapa ramah Maina.
"Oh? Ya saya mau gaun biru yang dipatung itu?"
"Mba Maina!!" tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing untuk Maina. Sontak dia menoleh.
Maina terpaku dengan mulut sedikit menganga. Dia kaget melihat wanita di depannya.
"Mba Maina, kan? Yang waktu itu di kereta? Inget saya eh bukan bukan... Anak saya, Chika?" antusias wanita itu.
Maina mengerjapkan matanya. "Eh? Oh. Iya saya ingat." dia tersenyum kikuk.
"Kebetulan sekali mampir di butikku."
"Eh? Iya... A aku lagi cari gaun untuk acara ulang tahun." Maina sedikit gelagapan.
Wanita itu tertawa ringan. "Kok gugup sih liat aku? Gak sangka yah? Oh iya, tadi kamu suka dengan gaun biru, kan? Boleh dicoba dulu yah semoga ukurannya pas karena kalo gak pas harus diukur untuk dibikin yang baru."
Maina mengangguk saja. Dia pun diantar ke fitting room untuk mencoba gaun mewah tersebut. Pas! Gaun mermaid biru gelap yang memperlihatkan bahu indah Maina itu sangat cocok untuknya. Wanita pemilik butik itu terseyum puas melihat gaun karyanya dikenakan wanita yang cantik dan sangat cocok.
"Cocok banget!" antusiasnya. "Setelah ini kita berincang dulu di kedai coffe yuk?" Entah mengapa wanita itu merasa sangat dekat seperti bukan dengan orang yang baru dia kenali.
"Tap.. Tapi.. "
"Udah jangan ada tapi-tapi. Aku yang traktir! Fanny!! Ini gaunnya jadi yah. Tolong dikemas rapih!"
"Baik, Bu." sahut penjaga toko itu.

Cappucino panas yang Maina pesan tiba, sedangkan wanita pemilik butik memesan American Coffee.
"Jadi? Kita belum berkenalan secara resmi?" wanita itu lagi-lagi membuka suara melihat Maina hanya banyak terdiam.
Maina tersenyum tipis. "Maina Santiana."
"Merlian Zadiva." dia menjabat tangan Maina dengan senyum lebar.
Deg!!
Maina terdiam jantungnya serasa berhenti beberapa detik. Dari awal sapaan Merlian dia sudah curiga mengenali wanita itu, maka dia hanya bisa terkaget tak sangka jika wanita yang pernah dia liat potretnya di laptop Aldo, kini berada didepannya. Apalagi setelah menyebut namanya maka Maina tidak ragu lagi bahwa wanita itu benar Merlian. Masa lalu Aldo.

"Hallo?" Merlian menjetikkan jarinya didepan wajah Maina.
"Eh. Oh?"
"Ada yang kamu pikirkan?" dia menatap Maina kasian.
"Tidak... Tidak... " Maina mengibaskan tangannya ke udara dengan cepat.
"Sepertinya kita seumuran tak perlu memanggil 'Mba' kan yah? Rasanya kaku sekali!" Merlian tertawa ringan.

Maina terpaku menatap Merlian yang tertawa memperlihatkan giginya yang putih. Dia menyadari betapa wanita didepannya sangat anggun dan ramah. Dengan rambut yang panjang dan bergelombang menampakkan ketebalannya serta di cat berwarna kecoklatan membuat Merlian sangat terlihat cantik. Matanya yang bulat ditambah riasan bulu mata palsu yang ringan membuat dia semakin nampak sebagai wanita sosialita yang berasal dari kalangan atas.

"Entah kenapa yah kok aku merasa kita tuh ada kedekatan lain? Aku gak sangka lho bisa seakrab ini dengan customer. Aku bukan tipe orang yang suka bergaul dan ngobrol. Tapi, melihat kamu aku merasa nyaman. Kamu sepertinya orang baik. Oya, kamu kerja dimana?" celoteh Merlian seraya mengaduk kopi di depannya.
"Eh? Oh. Aku... Itu... Aku bekerja di Klinik di daerah BSD."
Merlian mengkerutkan dahi. "Ada sesuatu yang kamu pikirkan, Mai?"
"Tidak." Maina berusaha bersikap normal demi menutupi bahwa dirinya mengenal Merlian sebelumnya.
"Baguslah. Minum sedikit coffee-mu untuk menaikkan mood!"
Maina mengangguk dan menyeruput sedikit coffee-nya. "Aku hanya memikirkan kado apa yang cocok untuk mamah mertuaku." Lanjut Maina.
"Tak apa nanti kita cari sama-sama!"
"Jadi? Itu butikmu? Maksudku sudah berapa lama?"
"Belum lama. Aku menjalankan bisnis ini baru sekitar empat tahun. Sebenarnya, ini cita-citaku dari dulu. Tapi, karena aku masih repot dengan bayiku setelah menikah jadi aku tunda keinginan itu. Setelah Chika sudah bisa ditinggal bersama baby sitter baru suamiku mengijinkan. Yah, semua ini juga berkat suamiku. Dia yang memberiku modal dan aku hanya tinggal menjalankannya." Merlian tersenyum lebar.
"Suamimu pasti orang yang baik."
"Sangaaaat baik! Tidak ada yang bisa sebaik dia. Mencintai aku dengan tulus tanpa melihat masa laluku."
"Masa lalu?"
"Ya, aku punya masa lalu yang ahh... Sudahlah!" Merlian tertawa sumbang.
"Maaf. Aku gak ber... "
"Bukan salah kamu, Mai!" sela Merlian. "Lagipula itu hanya masa lalu. Jadi tak perlu aku khawatirkan." Merlian tersenyum namun nampak senyumnya itu melemah.
"Maaf, Merlian!"
Merlian tersenyum.

***

Setibanya di apartemen Aldo, Maina melempar belanjannya ke sembarang tempat lalu merebahkan dirinya ke sofa merah yang empuk.
"Kamu tahu ini jam berapa?" suara itu mengagetkan Maina.
Maina mengalihkan pandangannya ke sumber suara. "Kamu sudah pulang? Aku kira belum."
"Gimana kamu tahu aku di rumah atau nggak! Hp saja tidak aktif! Aku berusaha menghubungi tapi percuma!" Nada Aldo sedikit naik.
"Maaf." sahut Maina sambil memijat lembut pelipisnya. Pusing.
"Kamu kenapa, Mai? Aku sudah bilang hubungi aku! Jangan buat aku kuatir kayak gini!"
"Cukup Aldo! Ada apa dengan kamu sih? Semakin hari kamu semakin cepat marah, kenapa?" Maina bangkit dari tidurnya.
"Maina? Kamu membetakku?"
"Aku hanya bertanya." Ketus Maina.
"Tidak dengan cara seperti itu! Kamu tahu aku ini calon suamimu!"
"Tidak dengan cara ini? Lalu caramu itu apa?"
"Maina!!!" Aldo kembali meninggikan suaranya.
"Oke!" Maina membuang napasnya dengan kasar. "Sekarang waktunya, Al! Jujur atau sama sekali tidak ada pernikahan!"
"Mengancam? Kamu mengancamku?"
"Aku ingin penjelasan!"
"Tentang apa?" tanya Aldo datar.
"Merlian!"
Degg!
Aldo terkaget mendengar nama itu lagi. Dia kira sudah mengakhiri semuanya waktu itu setelah Maina tahu. Ternyata tidak! Sepertinya ada sesuatu Aldo yakin pasti ada sesuatu.
"Kenapa diam?" Kini Maina menurunkan nada suaranya hanya butiran bening yang mengalir menunjukkan kesedihan yang mendalam. "Aku sudah bertemu dengannya." Maina membalikkan badannya kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia menangis tersedu.
"Lalu?" Aldo mengepalkan tangannya. Emosinya begitu tidak karuan kali ini.
"Aku tak akan meminta penjelasan jika aku sudah tahu semuanya!" Maina mengusap kasar air matanya dan menyilangkan tangannya di dada.
"Dia mantanku saat masih duduk di SMA." wajah Aldo memerah bibirnya bergetar.
Maina membalikkan badannya kemudian menghampiri Aldo yang sedang berusaha menahan amarah akan masa lalunya. Maina mengambil tangan kiri Aldo kemudian menempelkannya pada pipi Maina.
"Aku hanya ingin kamu jujur, Al!" Mata Maina terpejam membuat air mata Maina terus mengalir.
Aldo langsung memeluk Maina dan menangis sesenggukan seperti anak kecil. Nampak kesedihan begitu menyelimuti hatinya.
"Maafkan aku, Mai! Aku orang berengsek! Aku bajingan!"
Maina membalas pelukan Aldo penuh kasih sayang. "Jika semua itu hanya masa lalu maka bukan apa-apa kalau kamu pernah berengsek!"
Aldo melepas lembut pelukan Maina. Dia mendaratkan bokongnya duduk di sofa merah.
"Merlian mantanku saat SMA. Semuanya baik-baik saja, kita saling suka saling mencintai. Sampai saat itu tiba... " Aldo mengepalkan tangannya. Maina segera menyerbu Aldo dan menggenggam tangannya. "Saat aku masuk perguruan tinggi yang Mamih inginkan dan aku masuk jurusan kedokteran dengan beasiswa full. Aku dan Merlian sangat bahagia. Meskipun Merlian tidak masuk perguruan tinggi negeri dia ikut bahagia. Lalu malam itu kami berniat merayakan kebahagian kami. Merlian memaksaku untuk sedikit minum vodka saat kami di club malam. Aku menolak tapi Merlian mengatakan bahwa ini untuk kesenangan. Kami baru mengenal minuman haram itu, membuat beberapa tegukan saja membuat kami mabuk. Dan aku bersamanya pulang ke kosan Merlian. Disanalah semuanya terjadi." Aldo menunduk lemah.
Maina menutup mulutnya tak percaya. Air matanya terus bergulir.
"Esok harinya kami baru menyadari. Namun, apa yang kita lakukan bukan hanya sekedar mabuk tetapi karena kita dengan rela dan senang melakukannya. Hal itu berlanjut sampai Merlian ha..mil." bibir Aldo bergetar.
Maina sontak kaget. Dia tak menyangka masa lalu Aldo seburuk itu. Dia tadinya berpikir bahwa masa lalunya bersama Merlian hanya masa lalu yang bisa namun sulit melupakan. Maina berpaling dan berjalan lemah menuju jendela besar. Dia menatap keluar dengan air mata yang deras.
"Maafkan aku, Mai."
Pundak Maina mengguncang menahan tangis yang ingin meledak. Cobaan apa ini? Di saat hari pernikahannya tinggal sebulan lagi Maina baru tahu dengan kesalahan besat yang dilakukan Aldo.
"Aku harusnya bertanggung jawab! Tapi tidak! Aku menampar Merlian dan memakinya. Entah setan apa yang merasukiku. Aku sangat kalap, Mai. Aku belum siap jika harus menjadi ayah dan menikah. Bagaimana dengan kuliahku yang bahkan belum apa-apa? Bagaimana dengan Mamih? Aku memaki Merlian dan menyuruhnya pergi dari kehidupanku! Padahal...  Padahal... " Aldo terisak. "Dia mengandung anakku. Bahkan betapa bajingannya aku! Aku memberinya uang agar dia pergi dari kehidupanku! Merlian bahkan tak mengambil sepeser pun. Dia pergi tanpa tuntutan apapun. Aku kira semua akan selesai. Ternyata kesalahan itu menghantuiku setiap hari! Aku menyesal. Dimana Merlian? Bagaimana keadaannya? Dan bagaimana anakku? Semua membuatku bingung!"
"Dia sudah bahagia, Al!" sahut Maina dengan bibir bergetar sambil membayangkan betapa baiknya Merlian terhadapnya.
"Benarkah?" Aldo mengangkat wajahnya menatap punggung Maina.
"Minta maaflah padanya. Dan kita akan menikah!" lanjut Maina datar.
.
.
.
Hahoyyyy baper deh bikin episode ini 😢😢😢
Tunggu selanjutnya yah!!!

Forgive Me! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang