Seribu Bunga Seribu Malam

14.5K 91 7
                                    


Dalam setiap kisah selalu melahirkan makna, dalam setiap napas berhembus lah angin yang sejuk. Dalam setiap kehidupan selalu banyak cerita menarik yang akan memberikan kesejukan bagi yang memahaminya. Cinta, sebuah kisah yang tak pernah lepas dalam alunan kehidupan. Termasuk juga aku, sebagai manusia yang normal sudah pasti memiliki rasa cinta terhadap lawan jenis. Dalam artian yang halal dan di berkahi sang Illahi.
Muluk-muluk aku jarang membicarakan kehidupanku yang selama ini terasa pahit, sejak SD, SMP, SMA dan sekarang kuliah di Universitas Lambung Mangkurat. Tetap saja kehidupanku ini tak ada ubahnya dengan yang dulu, selalu sendiri tanpa pernah punya seorang kekasih buat disayangi. Mungkin ini karena ego yang terlalu tinggi, pernah ada beberapa orang yang ingin jadi pacarku sewaktu aku SMP dan SMA dulu, tapi aku menolaknya. Dengan alasan aku hanya ingin menikah, aku hanya ingin dimiliki seutuhnya oleh istriku seorang suatu saat nanti. Aku ingin menjadi orang suci, tapi kenyataanya, aku sendiri juga menginginkannya. Menginginkan kekasih.
Jam dua belas tepat hari ini, setelah dosen keluar, teman-temanku yang lain juga pada pulang. Aku diam di kelas dengan beberapa yang masih tersisa. Sambil mencatat apa yang baru saja dijelaskan oleh Pak Ardi, kuliah memang tidak gampang, apalagi aku mengambil jurusan Arsitek, Tekhnik, memerlukan pikiran yang kreatif sekali. Aku merapikan buku, lalu melangkah keluar. Pikiranku masih terus di bayangi oleh kata-kata orang tuaku yang meminta segera menikah setelah lulus kuliah, aku sih ingin menikah, tapi yang ingin dinikahinya masih belum ada.
Secara tak sengaja pagi itu aku berpapasan dengan seorang mahasiswi jurusan lain, entah kenapa aku langsung terhenti dan membiarkannya lewat lebih dulu. Aku menatapnya disaat dia menatapku, lalu tersenyum kecil dan berlalu, mataku tak berpaling darinya. Seakan baru tadi dia lewat, dengan kerudung merah jambu lebar yang menutup sempurna. Pakaian tidak kentat, proporsi ideal seorang muslimah. Entah kenapa aku terdiam lama, sampai ada yang menegurku.
“lah Fer, kok melamunnya di depan pintu?.“
Aku kaget dan menoleh ternyata Rina, teman sekelasku. Dengan terbata-bata aku menjawab, “ah ngga Rin.“
Rina membalas kata-kataku dengan senyuman dan pergi.
Entah kenapa sampai di rumah, aku masih terus memikirkannya. Wajahnya, senyumnya dan gaya berjalannya. Apakah aku sedang kasmaran, seperti yang sering dibicarakan teman-temanku waktu dulu. Tapi aku tidak tahu, karena selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Dan kawan, aku ini, yah paling tidak menurutku, adalah laki-laki yang sulit jatuh cinta, tapi ketika cinta itu mulai bersemi, oh Tuhan. Tiada kata yang sanggup mengungkapkannya.
Karena penasaran, aku mencari tahu siapa dia,. Berhari-hari aku mencoba mencarinya di kampus yang besar ini, memang tak mudah mencari di kampus yang luasnya sekitar satu kelurahan ini, jangankan mencari nama, dari jurusan mana saja aku tidak tahu. Tapi aku terus berusaha mencarinya. Dalam pencarian ini aku sama sekali tak merasa lelah, senang malah, seperti ada sesuatu yang membuatku kian tertarik olehnya. Dan aku yakin sekali itu adalah perempuan manis dengan kerudung merahnya yang mempesona.
Hari-hari ku berlalu dengan puisi, dengan merdunya kadang aku bernyanyi secara tak sadar. Tanpa sadar bahwa aku masih berada di ruang kelas, lebih anehnya lagi saat dosen menerangkan. Memang benar kawan, cinta itu dapat membuat orang jadi gila, mengerikan.
Dua minggu sudah pencarianku, tetap tidak berhasil, tapi suatu pencapaian itu akan datang sendiri ketika kita sudah hampir kehilangannya, waktu itu aku mengikuti seminar sastra yang diadakan kampus. Alangkah terkejutnya aku ketika ada yang bertanya dan melihat kepadanya, itu dia, orang yang telah menawan hatiku. Dia juga menghadiri seminar ini, sungguh hebat. Sepulang dari seminar itu aku berjanji tuk menemuinya, dan hari ini aku sudah tahu nama dan jurusannya, Arini Sinastria dari jurusan EFKIF bahasa Indonesia.
Sepulang dari seminar itu dengan sengaja ku menunggunya di pintu masuk, tapi dia tetap saja tidak kunjung muncul. Sampai tidak ada lagi yang keluar dari pintu yang kutunggu, dan, oh alangkah bodohnya aku, menunggu di depan pintu tempat laki-laki. Tentu saja dia tidak ada. Dengan cepat aku beralih menuju pintu tempat perempuan, tapi sudah terlambat, semuanya juga sudah menghilang. Lagi-lagi tidak juga bisa menemuinya, tapi dengan mengetahui nama dan jurusannya itu sudah lebih dari cukup, dengan begitu aku tinggal mengatur waktu, dan mencari kesempatan bertemu.
Hari berikutnya kuatur agar bisa bertemu, malang sekali nasib, ternyata dia tidak masuk hari ini. Aku mencoba bertanya kepada temannya, tapi temannya itu juga tidak ada. Ingin aku mengakrabkan diri dengan salah satu dari anak jurusan itu. Tapi aku bukan orang yang bisa berasolialisasi, susah sekali mencari perempuan itu. Tapi kata orang, kalau sudah jatuh cinta beginilah, apa pun akan dilakukan. Ikhlas.
Di rumah aku masih terus ditanya orang tuaku, sudah ada calon belum, tapi kali ini aku bisa menjawab dengan santai “ Insya Allah sudah ada ma “.
Jawaban ibu kali ini mengangguk dengan tersenyum, tidak biasanya, biasanya akan ngomel dulu kalau kujawab belum ada, mungkin ibu ingin sekali melihat aku menikah, mempunyai anak dan hidup bahagia.
--oo0oo--
  Aku tak pernah menyangka akan datangnya hari ini. Aku berdiri berpapasan dengan dirinya di depan papan pengunguman. Dia mencari-cari namanya mungkin agak susah, karena terlalu banyak orang. Tanpa dikomandoi pun aku langsung mencari namanya, kucari-cari diantara kerumunan banyaknya orang, sampai aku lupa, aku sendiri masih belum tahu hasilku. Dapat, aku melihat namanya dia lulus dengan nilai A, dengan cepat aku kembali dan memberitahukannya, sambil tersenyum dia bekata.
“terima kasih, tapi aku sedang ingin melihatkan punya temanku, kalau aku sudah tahu hasilku kemarin“ ucapnya santai. Lembut, serasa pita rekaman dikepalaku menyimpan kata-kata itu.
Betapa malunya diriku, kutawarkan dia bantuanku. Tapi dia menolak. Katanya dia ingin melihat sendiri agar lebih pasti. Yah aku pun tidak bisa memaksanya. Lagi pula aku yakin dia tidak kenal denganku.
“oh ya ngomong-ngomong kamu siapa?” betul kan apa kataku, pasti dia tidak tahu.
Aku pun memperkenalkan diri yang sudah terlanjur begini, dengan dada bergetar aku mengajaknya tuk minum di kantin kampus, napasku sampai tersedak-sedak dan terdengar keras sekali ketika mendengar jawabannya. Iya.
Kami duduk di warung kantin sambil minum es teh manis, aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Walau kadang kata yang ingin kuucapkan itu tersedak di tenggorokan, tapi tetap saja kata-kata itu keluar. Walau terbata-bata dan membuatnya tertawa kecil melihat tingkahku.
Seiring waktu berputar, aku mengenalnya lebih dekat. Percakapan kami pun semakin renyah. Sekarang aku sudah berani bercanda. Tak pernah kurasakan begini rasanya ketika kita merasa dekat dengan seseorang yang kita cintai, tak pernah kubayangkan sama sekali aku bisa mengobrol hangat begini dengannya. Jauh sebelum hari ini aku masih mencari namanya.
Tanpa menunggu lama lagi aku pun mencoba mengungkapkan isi hatiku. Sebelumnya aku bertanya dulu kepada temanku Rina. Karena menurutku dia teman perempuan yang dekat denganku.
“gimana caranya Rin?“ tanyaku.
Dan Rina adalah salah satu dari anak religius di kampus, dengan santainya dia memberikan saran “alangkah baiknya kalau kau langsung katakan kau mau melamarnya Fer, dengan begitu kan semua akan jelas, dan semua keraguan akan pasti.“
Mantap sekali jawaban itu, dan kebetulan hari ini aku bertemu dengannnya sore nanti, di taman dekat Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Kami duduk berdua sambil bertanya-tanya tentang keadaan kelas masing-masing, terasa indah sekali sore ini. Debu berterbangan tak kuhiraukan. Suara-suara yang lain kuanggap angin lalu. Hanya suara Arini yang terdengar merdu di telingaku. Memang mudah di dengarkan, dan gampang dibayangkan, tapi sulit sekali ternyata diucapkan. Untuk kesekian kalinya kata-kataku untuk melamarnya terhenti di tenggorokan. Lidahku langsung kelu, membeku. Apakah cinta sesulit ini tuk dikatakan.
Setiap kali kata-kataku menghilang dari mulutku, Arini pasti bertanya “kenapa, Fer,?”
Membuatku malu saja, terpaksa hari ini kutunda dulu, dan sore kami pun berlalu dengan indah. Kulewatkan indahnya alam dengan keindahan yang ada dihadapanku. Setiap kali menatap wajah cerahnya, tak pernah, bahkan terlintas dipikiranku aku akan menikahinya. Sering kali aku berpikir, apakah Arini mengerti dengan perasaanku. Apakah dia juga merasakan perasaan yang sama denganku bagaimana kalau tidak. Ah tidak perlulah kupikirkan sejauh itu.
--oo0oo--
“susah sekali Rin mengucapkannya, kukira gampang.“
Mendengar perkataanku Rina menahan tawanya, aku tahu dia pasti sudah menduga apa yang terjadi, mana kutahu aku tidak pernah mengungkapkan apa-apa pada perempuan.
“Ferdi….Ferdi… kamu ini, tentu saja“ ucapnya, sambil mencoba menahan tawa.
“Fer, cinta itu, tidak seperti makanan, enak dipandang, membuat tergiur, dan begitu enak ketika dimakan.”
“tapi cinta itu seperti bunga mawar, yang indah ketika dipandang, dan mempunyai aroma yang wangi. indah kian mempesona, tapi kalau kau sembarangan memegangnya akan membuatmu terluka, begitu lah cinta, kalau tak hati-hati, cinta itu akan melukaimu.”
“owh… menurutmu Rin, dia tahu ngga aku mencintainya.?”
“menurutku iya Fer, karena seseorang itu pasti merasa, kalau sedang disayang seseorang.”
“apa dia juga merasakan perasaan yang sama, seperti yang kurasakan.“
“mungkin, kita tidak tahu hati perempuan Fer“ ucapnya santai, tapi itu sudah cukup membuatku lega.
--oo0oo--
Sore yang sama, di warung kawasan tarakan. Aku duduk santai bersama Arini. Seperti biasa, aku bertanya ini-itu cerita ini itu, sampai aku keceplosan dan bertanya apa dia sudah punya kekasih. Dengan heran Arini berkata.
“lho kok nanya ke situ sih Fer.?”
Sambil mencoba membuang rasa bersalah aku mencoba mengalihkan pembicaraan tapi malah berucap “ah ngga, kalau ngga, aku… ingin melamarmu“
Tak sadar aku mengucapkannya, aku langsung menutup mulut, ku pukul-pukul kepalaku sendiri. Betapa malunya aku, sampai menunduk saking malunya. Aku tak tahu apa pendapatnya, aku tak sanggup melihat matanya. Aku takut, seperti apa yang terlah dikatanan Rina. Aku takut, takut kalau dia menolaku, tapi
“apa kau bersungguh-sungguh Fer?”
Mendengar perkataannya, aku mulai memberanikan diri menatapnya, dalam pikiranku dia pasti marah. Dengan terbata kujawab “iii…iya…“
Arini tersenyum, entah kenapa, dan aku juga senang. Padahal sesudah itu jawabannya ya bisa dibilang dia tidak menerima permintaanku sekarang, dia hanya berucap “kalau iya, maukah kau menungguku sampai selesai kuliah, karena aku ingin fokus ke kuliah dulu, tinggal setahun, kau juga kan Fer, kalau kau mau, dan Tuhan mengijinkan, kita pasti akan berjodoh.“
Aku pun menyanggupi permohonannya itu.
--oo0oo--
Tinggal setahun, tapi waktu itu sangat lama, satu minggu saja aku merasa sangat lama sekali untuk bertemu. Ketika bertemu aku merasa waktu sebenarnya yang terjadi adalah enam hari dua puluh jam aku menunggu, hanya untuk empat jam jalan-jalan sebentar. Setahun, yah kucobalah buat bersabar, lagi pula itu pun sudah yakin. Tapi ketika kukatakan kepada Rina, dia malah berucap.
“kau yakin bisa menjaganya selama setahun ini Fer.?”
Aku  mengangguk
“bagaimana kalau Allah tidak mengijinkan, bagaimana kalau DIA menarik kambali Arini, jodoh ada ditang-Nya, semua urusan di dunia ini ada pada-Nya Fer,“
“lantas bagaimana Rin?”
“bersabarlah dengan Allah, dan titipkanlah Arini pada-Nya, selama kau menyayangi Allah, maka Allah tidak akan lupa denganmu, perbaikilah urusan akhiratmu, dan urusan duniamu pun akan membaik. Fer, sebenarnya Allah itu maha pencemburu, Dia cemburu kalau ada hamba-Nya lebih sayang ke orang lain daripada diri-Nya.“
Aku mengerti sekarang, dan aku menuruti apa yang dinasihatkan oleh Rina. Kutitipkan Arini kepada Allah, biar Allah yang menjaganya dan mempertemukan kami suatu saat nanti dengan cerita yang indah. Dan aku pun mengatakan hal ini kepada Arini. Dia tidak marah malah senang, dan kami pun mengurangi waktu bertemu, agar tidak terjadi kebosanan. Aku yakin seperti apa yang dikatakan Rina, memang punya teman baik itu menyenangkan, tapi lebih baik lagi punya teman yang menyenangkan.
--oo0oo--

Setahun berlalu.
Dalam penantianku. Tak terasa akhirnya tiba juga waktu wisuda. Tiba juga hari ini, dan sudah sebulan aku tidak bertemu dan menghubungi Arini, kami berdua lebih fokus ke skripsi masing-masing. Aku menatap langit, yang telah menyambutku. Kedua orang tuaku terlihat senang di depanku, aku sudah menjadi anak yang bisa dibanggakan. Aku berjalan mundur karena kegirangan, tanpa sengaja menabrak beberapa orang yang sedang berfoto bersama keluarga, serta merta aku minta maaf karena terlalu senang.
“tidak apa-apa Fer“ ucapnya ringan, suaranya begitu ku kenal. Aku menatapnya.
“Arini!“ ucapku senang, aku langsung memperkenalkan kedua orang tuaku kepada Arini dan kedua orang tuanya. Lalu keluarga kami saling berbincang yang jelas membincangkan anaknya masing-masing yang sudah lulus, dan semua langsung terdiam ketika aku berucap.
“hmm Arini, gimana, apa diterima?” ucapku. Malu, dan menunduk.
Kedua orangtua kami saling menatap kami satu sama lain.
Dengan senyuman yang sudah kunanti selama setahun ini, dengan kesabaran yang tulus untuk memenuhi kesempurnaan agama. Tuhan menjawab keinginanku, langit tersenyum kepadaku. Bumi pun seolah bergembira bersama ku hari ini, hari yang  selalu menjadi angan dan khayalku, selalu, hanya ada dalam khayalanku, terjadi hari ini. Arini menerima lamaranku. Dan tersenyum lah kedua orang tua kami, saling berpelukan. Tentunya aku tidak mungkin langsung memeluknya.
--oo0oo--
Setiap perjalanan yang dilalui dengan kesabaran akan selalu membuahkan hasil. Tuhan tidak pernah lupa kepada hamba yang selalu ingat dengannya, baik dalam susah, atau senang. Dalam seribu bunga di hariku, seindah kenangan yang akan terjalin dalam cerita. Aku memakaikan cincin pernikahan di jari manis Arini, pernikahanku sah, kami sah menjadi suami-istri. Indah, indah sekali hari ini, seindah cerita yang pernah dijanjikan Tuhan. Seindah seribu bunga, seribu malam.

Kumpulan Cerpen 2 Sahabat 1 JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang