2 Sahabat 1 Janji

7.6K 69 2
                                    


Desember 1993
Kalian tahu, malam ini terasa sangat berat, buatku, juga bagi sahabatku Fadil. Karena malam ini adalah malam terakhir buat kami untuk tidur dan bertemu di pesantren ini. Malam yang panjang, perjalanan hidup yang singkat. Bulan bersinar mesra merangkul bintang-bintang yang selalu tersenyum manis. Angin malam berhembus sepoi-sepoi menyentuh kami yang tengah asyik menyiapkan panggung acara khataman kelas akhir besok pagi. Aku dan Fadil membantu menyusun kursi-kursi yang akan ditempati, malam terasa begitu cepat, ini adalah akhir, akhir dari kehidupan kami disini. Enam tahun sudah kami didik dan ditempa, tanpa ada rasa penyesalan. Tapi selalu akan ada rasa rindu di hati kami, kepada para guru, kepada para santri, kepada ilmu dan kepada pengalaman berharga yang telah kami dapat.
Sepanjang malam aku dan Fadil tidak bisa tidur. Kami asyik berbincang tentang tujuan, impian di masa yang akan datang. Kau tahu kawan_, tidak mudah tuk melupakan setiap kenangan yang tersimpan. Hati kan terus berbicara, walau pikiran selalu berusaha melupakannya. Kadang tertawa, serius dan sedikit marah, begitulah percakapan kami yang sering terjadi.
“tujuanmu yang sebenarnya kemana Dil?”
“kalau aku sih sudah pasti, ingin belajar psikolog, kamu sendiri bagaimana Fer?”
“entahlah, kemana nanti, yang jelas suatu saat nanti aku ingin menjadi seorang penulis kalau bisa sih, terkenal.”
Dan malam itu kami berjanji, berjanji tuk menggapai mimpi kami masing-masing. Tak peduli apa, tak peduli bagaimana, yang jelas satu hal janji. Mimpi dan hasrat yang kami tuju ini tidaklah mudah. Bulan menyaksikan sambil tersenyum dan Tuhan di atas sana di tempat yang lebih tinggi lagi mendengarkan dan menyimpan impian ini yang kami percaya akan di kabulkan suatu saat nanti.
--oo0oo--
Satu per satu nama kami dipanggil dan naik ke atas panggung, tangis pun pecah saat puisi dibacakan. Para guru-guru yang menyayangi kami dengan tulus juga ikut mengeluarkan air mata. Hari ini menjadi saksi akan kepergian kami.
Kami saling peluk dan berjabat tangan. Deraian air mata terus mengalir. kita kadang tidak merasa betapa sayangnya kita dengan teman ketika mereka dekat, tapi setelah berpisah jauh, baru rasa sayang itu terasa. Di depan kamar Fadil memelukku. Ini adalah perpisahan kami yang paling menyakitkan. Aku sesanggukan, mataku merah, teman-temanku kini telah pergi, entah kemana?. Aku dan sahabatku ini saling mengepalkan tangan, balas tersenyum dan saling berjanji tuk kirim surat, dan menanti masa depan yang sudah tidak jauh lagi di depan mata.
--oo0oo--
Februari 1994
Beberapa bulan telah berlalu dan Aku akhirnya diterima di Universitas Lambung Mangkurat di dekat tempat tinggalku. Dengan jurusan MIPA Kimia. Sudah lama aku ingin menjadi seorang ahli kimia. Kebahagianku ini segera ku kabarkan kepada sahabatku itu. Lewat surat kutuliskan dan selang tak berapa lama aku menerima jawaban darinya.
Kepada kawanku, Fery.
Kau bahagia, aku pun turut bahagia, kau tahu tidak sebentar lagi aku akan pergi ke pulau seberang sana, menuntut ilmu yang selalu ku impikan dari dulu. Seperti dirimu aku juga berhasil lulus ujian  yang disini, belum disana. Tapi tenang saja kawan, kau tahu kan siapa diriku. Kita kan tertawa nanti. Oh iya aku hampir lupa, ulang tahun mu kan hari kemarin, maaf mungkin aku terlambat menyampaikan selamat ulang tahun, tapi doaku selalu tertuju padamu.
Sudah beberapa bulan kita tidak bertemu, tapi kalau kita bertemu sekarang, tidak asyik lagi rasanya. Baru sebentar, pasti tidak ada yang berubah darimu. Tapi ngomong-ngomong, sudah ada punya gebetan belum nih, hehe. Kalau aku  sih jangan ditanya, sudah pasti ada dong. Tapi kalau belum jangan cemburu ya, nanti ada saatnya kau juga merasakan yang saat ini kurasakan.
Mungkin suratku hanya terputus sampai disini saja ya, kau kirim ke rumahku pun mungkin tak terbalas soalnya aku akan merantau. Tapi kau jangan takut, begitu dapat tempat tinggal menetap kau akan langsung ku kabari, aku hanya minta doa saja buat ujian disana. Juga buat keselamatanku. Kau tahu pulau jawa kan, tidak seindah yang kita kira, tapi mungkin tidak buruk juga, nanti kau akan kugambarkan bagaimana pulau jawa. Juga beberapa lembar fotonya, jaga dirimu baik-baik kawan. Sampai saatnya kita berjumpa dengan gengaman mimpi di tangan kita masing-masing.
Salam kawanmu
Fadil
Aku menarik napas dalam. Senang juga rasanya mengetahui kabar temanku ini, aku ingat sebelum perpisahan terakhir itu diberi pesan oleh salah satu guru yang paling senior. Aku Fadil dan beberapa orang lainnnya, pesan dan nasihat beliau itu adalah.
“ingat ini ya, nanti kalau sudah di luar, jangan tinggalkan surah waqi’ah dan jangan pacaran.”
Kami mengangguk artinya kami menyanggupi apa amanah dari sang ustadz, dan baru saja Fadil ini mengatakan dia sudah punya pacar, dasar. Aku ingin tahu apa yang akan terjadi nantinya. Kalau amanah ustadz itu dilanggar, kualat pasti hasilnya.
--oo0oo--
Hari-hariku di Banjar berlalu dengan santai. Pelajaran-pelajaran baru sudah mulai kudapat, owh Tuhan. Ternyata pelajaran kimia tidak senyaman yang kukira, ditambah fisika dan pelajaran sains lainnya. Yang akan membuatmu berpikir bahkan sampai kau harus mengalahkan apa yang tidak kau bisa. Yang paling sulit dari semua pelajaran tentu saja fisika, setiap kali ulangan harian. Aku dan teman-teman lainnya hanya bisa bertaruh, nilai kami sudah pasti, dan kami selalu mengatakan.
“tinggal menghitung jumlah nol di depan angka koma saja,yang banyak dia yang menang.“
Kehidupan disini. Berjalan lebih cepat dari biasanya, hiruk-pikuk kota selalu membuat terlihat kota ini tidak pernah berhenti bernapas. Sudah hampir setengah tahun aku tidak menerima surat dari Fadil, dan sudah setengah tahun ini juga aku tidak bisa mengirim surat kepadanya. Bagaimana kabarnya, apa yang terjadi padanya semuanya tidak kutahu. Walau aku orang yang mudah bergaul tapi tetap saja aku tidak bisa menemukan teman yang seperti dia, tapi dimana dia. Dimana suratnya.
--oo0oo--
Maret 1994.
Akhirnya aku memasuki final test, tapi sebenarnya masalahku bukan itu. Masalahnya sampai sekarang Fadil tidak juga mengabariku tentang keberadaannya. Aku mulai khawatir terjadi sesuatu pada dirinya. Apa dia berhasil lulus test ujian masuk, apa dia masih hidup. Apa telah terjadi sesuatu padanya sampai tidak mau memberitahukan keadaannya.
Pelajaran yang diujikan hari ini adalah Biologi dan Kimia, kalau ini sih aku masih bisa mendapatkan nilai B, tapi tidak mustahil aku meraih nilai A, tapi ada kemungkinan juga aku mendapat nilai C, jadi aku berinsiatif untuk mengambil yang di tengah nilai B. Karena nilai itu juga sudah paling sulit. Tidak seperti jaman sekarang, nilai A dan B itu begitu mudah didapat, dulu itu sulit sekali. Bahkan nilai B pun sudah dianggap nilai yang hebat.
Setelah ujian aku di kejutkan dengan sebuah surat yang tergeletak di depan rumah, surat putih itu kuperhatikan, dan dengan segera kuambil, mungkin itu dari Fadil. Bergegas turun dari motor, kuambil surat itu dan kubaca. Ternyata bukan buatku , buat ayahku, dari kantornya.
“permisi mas“ Seseorang sepertinya berbicara dari balik punggungku, aku menoleh kepadanya, tukang pos.
“ada apa pak?”
“tuan Fery Indrawan tinggal disini.?”
“ya saya ada apa?”
“ini ada surat tadi saya lupa menaruhnya“ pak pos itu mengeluarkan sepucuk surat dari balik kantong bajunya. Dan menyerahkannya padaku.
Kubaca pengirimnya, dari Fadil, akhirnya surat yang kutunggu datang juga, aku tersenyum-senyum sendiri sampai tidak sadar pak pos itu beberapa kali permisi mau pulang padaku.
“ah ya pak maaf, terima kasih ya pak, hati-hati” aku melapas kepergian tukang pos yang segera menghilang meninggalkan asap. Aku langsung membuka pintu dan segera berlari ke kamar.
Dengan segera menghempaskan diri ke atas kasur yang empuk, tak peduli belum ganti baju. Tak peduli pada semua hal yang ada disekitar. Yang jelas sebuah surat yang kutunggu-tunggu selama ini akhirnya datang juga. Brengsek kau sobat, membuatku khawatir saja. Kubuka surat itu dan kubaca.
Kawanku  Fery Indrawan…
Sebelumnya aku mohon maaf kawan, mungkin kau khawatir, mungkin kau marah, dan mungkin kau selama ini sudah menanti-nanti surat dariku. Dan aku sama sekali tidak memberi kabar, aku benar-benar minta maaf kawan.
Sudah setengah tahun ya kan, bagaimana kabarmu? kabarku sudah jelas, baik dan sehat. Dan aku juga lulus tes ujian dan sekarang aku kuliah di jogja, di UII. Sebenarnya aku tidak mengirimimu surat Karena aku sendiri selama setengah tahun ini belum menemukan tempat tinggal yang menetap. kadang aku ikut menumpang dengan teman lainnya, untungnya mereka mau menerimaku, tapi aku tidak enak juga kalau berlama-lama. Nah sekarang, baru aku menemukan sebuah tempat kost buat tinggal. Kau tahu kawan, ternyata Jogja ini tidak jauh berbeda dari kota asal kita. Ternyata semua tempat itu sama saja, hanya dalam pikiran kita saja yang beda. Oh iya bukankah dulu aku pernah cerita aku sudah memiliki seorang pacar, aku kualat, aku lupa amanah terakhir Ustadz kita. Dan kau tahu akhirnya cintaku berakhir dengan sangat menyakitkan, aku seolah dipermainkan oleh seorang perempuan. Dan kau, kau sendiri bagaimana?, apa kau juga mau mencoba sepertiku ini, sebaiknya… terserah kau saja deh,hehe.
Sudah lama juga kita tidak berjumpa, apa kau sudah banyak berubah? atau kau tetap seperti dulu?, bagiku yang mana pun tidak masalah, asal kau tidak pernah lupa denganku sahabatmu ini.
Dan bagaimana kuliahmu, mungkin ketika surat ini sampai di tempatmu kau sedang menghadapi final test, begitu juga aku. Menurutku kuliah tidak seperti yang pernah kita pikirkan dulu, yang tidak terpaut waktu, bebas pakaian resmi dan bisa santai sambil jalan-jalan setiap sore. Ternyata tidak, jauh berbeda, walau pakaian bebas, tapi tetap saja tidak bisa santai. Malah jadwal kuliah lebih padat dari pada kita belajar di Aliyah dulu. Pelajarannya ya ampun dan lagi-lagi Fer disini aku tertarik kepada seorang perempuan asal solo. Ya ampun jelita sekali perempuan itu, tutur katanya halus dan lembut, kalau kau jadi aku kau juga pasti akan berpikir yang sama denganku. Tapi ketika dekat denganya kadang aku takut ,kalau ingat kejadian tempo dulu, pengalaman adalah sebuah pelajaran, tapi kadang aku lupa juga dengan pangalaman itu sendiri. Seolah-olah itu hanyalah kebarhasilan yang tertunda.
Fery kawanku…
Begitu banyak seklai pengalaman yang kualami setengah tahun ini, tapi tidak mungkin kan aku ceritakan semua yang terjadi dalam surat ini, kau sendiri tahu aku tidak begitu suka menulis. Tidak seperti kau yang hobinya nulis melulu sampai setiap pelajaran di kelas pun kau gunakan buat menulis, hah dasar kau… cerita kita mungkin tidak pernah habis sampai kita bertemu lagi suatu saat nanti. Kau sendiri pasti punya banyak sekali cerita selama setengah tahun ini ya kan?. Tapi biarlah dulu kita simpan sedikit certita kita, dan saling berbagi kabar.
Nah kawan mungkin suratku kali ini cukup sampai disini saja ya, jangan lupa balas suratku, apapun yang terjadi ingat kita harus selalu memberikan kabar oke?
Salam hangat kawanmu
Fadil.
“dasar sialan kau sobat!“ ingin kuremuk kertas surat ini, air mataku tumpah ke pipi. Kutaruh kertas itu didada dan berucap terima kasih kepada Tuhan, karena aku tahu kawanku itu dalam keadaan yang baik-baik saja. Akhirnya sebuah kekosongan di hatiku terisi, walau hanya sebuah surat. Bagiku itu sudah lebih dari cukup.
Nah! benar kan apa kataku, kisah percintaannya pasti tidakkan lama, begitulah kalau melawan amanah ustadz, kualat.
Aku bangkit dan segera mandi, membersihkan diri, lalu memakai pakaian yang rapi. Makan dan duduk di depan meja balajar. Kuambil secarik kertas yang selalu kusediakan khusus buat menulis surat kepada sahabatku ini. Sedangkan suratnya kutaruh khusus di sebuah dokumen penting agar tidak hilang. Kuambil pulpen dan mulai menuliskan surat yang akan kutujukan padanya.
Kepada kawanku Fadil.
Seenaknya saja kau ini, kau tahu selama setangah tahun ini aku khawatir, aku cemas, dan kau tiba-tiba mengirimi ku surat seprti ini…tapi sudahlah. Apapun yang kau lakukan aku akan selalu memaafkanmu. Ingat tidak kau dulu, waktu kita masih di Aliyah, begitu sering kita bertengkar Karena hal-hal yang sepele, tapi setelah itu maafan. Dan tak lama setelah itu bermusuhan kembali, mungkin begitulah, kalau kita dekat kadang ada rasa permusuhan, tapi kalau jauh rindu juga kalau tak ada kabar.
Mungkin kau benar, aku akhirnya mulai tertarik pada seorang perempuan, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya, kau ingatkan aku ini orangnya pemalu, juga tidak terlalu percaya diri, sudah dua bulan aku menyukainya, tapi sampai sekarang namanya pun tak kutahu.
Kisahku ini bermula saat seminar ilmiah yang diadakan kampus, saat itu acara sudah hampir selesai, karena aku tidak tertarik menikmati acara ini sampai akhir aku keluar lebih dulu, di sebelah pintu itulah aku berpapasan dengannya, aku menatapnya, dia manatap dan tersenyum padaku, seorang perempuan dengan wajah yang rupawan, dibalut dengan kerudung hitam yang indah menghias. Kau tahu sobat, hanya itu aku berani bertatap muka dengannya. Seterusnya sampai sekarang, tidak lagi. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Sungguh pahit cintaku. Tapi tak apa lah, aku bersyukur masih ingat kamu, bagiku teman lebih dari segalanya, kadang cinta membuat kita terluka, kadang cinta membuat kita kecewa, dan terkadang cinta membuat kita putus asa. Tapi sahabat beda, bagiku sahabat lebih dari itu, ada di saat terluka, menolong disaat terjepit, senang dikala senang. Sedih dikala sakit, itu berarti lebih dari apapun biarlah cinta ini tuhan yang mengatur, aku hanya akan menunggu dan berharap. Bahwa jodohku adalah dia, si kerudung hitam menawan itu.
Sobat, suratmu ini sampai ketanganku ketika aku final test di hari pertama. Aku juga kaget, siapa yang mengirimi aku surat, tak tahunya kau, Karena sudah lama kau tak kirimi aku surat. Kukira kau sudah lupa padaku, dan menggantinya dengan kawan yang baru.
Tapi kalau begini kan enak juga, aku mengetahui kabarmu, dan kau juga mengetahui kabarku. Berbagi cerita, berbagi bahagia. Aku menulis surat ini sambil membayangkan kau, bagaimana dirimu sekarang, apa masih seperti dulu?. sudahlah pertanyaan itu biar waktu yang menjawab.
Nah kawan mungkin suratku kali ini tidak bisa kutuliskan panjang, karena setetangh dari pikiranku saat ini sedang fokus ke ujian, mungkin nanti kita kan berbagi kisah lagi, sehat selalu.
Salam sobatmu
Fery Indrawan
Perasaan lega mengaliri tubuhku seusai menulis surat ini. Ingin rasanya aku berbagi cerita dengannya sambil nongkrong dengan menikmati segelas kopi susu hangat di warung tempat kami biasa santai, bercerita sampai larut. Bercerita apa yang sudah kami alami. Tapi mungkin itu terjadi suatu saat nanti, dan aku selalu berdoa. Semoga kami dipertemukan kembali di atas puncak yang sedang kami daki sekarang ini.
--oo0oo--
Ulangan berakhir, hasil nilai pun di umumkan, aku segera berdesak-desakkan di tengah kerumunan. Kucari-cari namaku diantara ribuan banyaknya nama, ada hasil nilai yang tak kuduga. Rata-ratanya B, ada sedikit C dan ada satu D. Sayangnya tidak lengkap, karena nilai A tidak ada. Tapi syukur juga aku bisa naik tingkat, dan aku berjanji untuk lebih giat belajar, aku menjauh dari kerumunan itu, pandanganku ke bawah tuk melindungi wajah.
“astagfirullah” pekikku bersamaan dengan suara perempuan, tak sengaja aku menabraknya, buku-bukunya berjatuhan, dia menunduk, aku juga. Kubantu dia memunguti buku-buku itu.
“maaf, terima kasih“ ucapnya dan alangkah kagetnya aku ketika melihat siapa dia. Dia adalah perempuan yang tempo hari pernah kuceritakan.
Aku terdiam.
“maaf“ ucapnya lagi.
“ah ..ya.. ngga papa“ aku bingung mau bicara apa, sambil menggaruk-garuk kepala yang tentu tidak gatal. “anu,.. kamu… tidak apa-apa kan?”
Dia tersenyum dan menjawab “iya, makasih ya.“
Aku mengangguk “eh kamu… kan kalau tidak salah… yang di muka gedung ser..baguna kemarin.“
Dia diam sebentar sambil menatap wajahku, lalu aku menunduk. Tidak sopan!, sebenarnya tidak enak juga sih kalau saling menatap. “oh kamu ya…yayaya aku ingat , gimana hasil ulangannya?”
“yah lumayan lah, alhamdulillah.“
Dan percakapan kami pun berlanjut, kubantu dia melihat hasil ulangannya, lalu kami menuju sebuah warung es nyiur di pinggir kampus. Baru kali ini aku merasa lain ketika bicara dengan perempuan, walau awalnya aku terbata-bata dan agak grogi ketika bicara. Tapi setelah lama bicara akhirnya aku bisa menenangkan diri, bicaraku jadi lancar, dan baru kutahu dia juga anak MIPA, jurusan Biologi. Yang kutahu waktu melihat hasilnya tadi bisa dianggap dia bukan anak yang suka main-main, nilainya rata-rata B bahkan ada yang A, tidak ada C apalagi D. semakin kagum aku pada perempuan yang satu ini, lama kami bercakap-cakap. Dan kutahu namanya Annisa, namanya sampai terdengar indah, mungkin karena aku suka orangnya. aku pun mengantarkannya pulang, sayang dia bukan orang banjar asli, jadi dia ngekost  disini. Ingin sih kuajak dia menginap di rumahku, tapi apa kata orang, niat baik selalu disangka buruk.
Aku langsung menulis surat kepada Fadil, kemungkinan dia juga sudah selesai ulangan. Apa pun hasilnya kami tetap berbagi, kutulis surat itu dengan cepat dan segera kukirimkan. Aku tidak sabar menunggu kedatangan surat balasan, padahal baru saja kukirim. Sampai juga belum ke tangannya, tapi hampir saja aku memaksa tukang posnya untuk segera mengantar suratku itu hari ini. Kalau itu terjadi yang ada malah suratku yang tidakkan bisa sampai kepada tujuannya.
Selang seminggu kemudian baru aku menerima surat balasan, aku sudah tidak sabar lagi segera kubuka surat itu dan kubaca.
Kawanku Fery
Aku disini baik-baik saja, walau beberapa hari yang lalu sempat sakit. Karena aku suka mengulur-ngulur waktu makan dan aku pun terkena maag, kau sendiri bagaimana,? Aku tahu kau sedang bahagia, ternyata cinta juga yang terpilih, asal jangan kau lupakan kawanmu ini aku tetap kan selalu mendukungmu. Sebenarnya ingin kuulangi teori-teorimu yang selalu mengataskan nama sahabat dari cinta, tak tahunya malah sendirnya terkena cinta.
Tapi tak apalah, satu kata, aku juga bahagia. Tapi ingat pesan ustadz kita, jangan sampai kau menorehkan kisahku tuk yang kedua kalinya.
Hasil ulanganku …gimana ya…sebenarnya hasil ulanganku, hampir sama denganmu, tapi aku tidak ada nilai D. Juga tak ada nilai A. begitulah, mungkin kita perlu belajar lebih lagi, lebih giat, lebih dari yang kita bias. Belajar dan bekerja. Kau tahu kawan, hidup disini aku juga kerja sambilan, membantu di sebuah warung makan, kau tahulah, aku ini orang perantaun. Uang itu tidak selamanya kuterima tepat waktu, kadang aku harus puasa, kadang juga aku tidak makan seharian, hanya minum air putih mentah. Tapi Tuhan tidak pernah membiarkan ku kelaparan, aku dipertemukan dengan seorang pemilik warung makan pinggiran jalan yang baik hati. Beliau akan memberiku makan asal aku jadi pelayan disana, jadinya aku tidakkan pernah kelaparan lagi.
Dan kau ingat kawan, pernahkan kuceritakan padamu tentang seseorang lagi yang tengah mengisi hatiku, sampai sekarang aku tidak bisa mengenalnya jauh. Mendekatinya saja aku tidak bisa, cintaku seperti di acuhkan begitu saja, tapi aku tetap berusaha. Aku mohon doanya kawan, tidak ada hal yang mustahil di dunia ini.
Mungkin sampai sini dulu suratku, lain kali kalau ada cerita menarik kau akan ku kabari. Eh bagaimana novelmu, sudah mau diterbitkan belum, kalau belum nanti kirim bersama suratmu, selanjutnya biar aku yang usahakan di jawa sini. Sampai jumpa.
Salam
Fadil
--oo0oo--
November 1997
Waktu terasa begitu cepat berlalu, suara gemuruh membahana di gedung Sultan Suriansayah. Tangis haru akan kelulusan kami kian beradu, setelah menmpuh jalan panjang akhirnya aku lulus di tahun keempat. Perjalanan yang panjang tapi terasa nikmat dan singkat. Ijazah-ijazah kelulusan dibagikan, namaku dipanggil, aku naik ke atas podium dengan bangga karena bisa lulus dengan cepat.
Dari atas panggung kulihat kedua orang tuaku tersenyum bangga, anaknya ternyata tidak mengecewakan. Di lain sisi kulihat Annisa juga tersenyum, dia sudah lulus lebih dulu dariku. Kuakui dia lebih jenius. Aku menyadari itu ketika kami sering belajar bersama.
Kau tahu kawan aku dan Annisa sudah bertunangan, aku melakukan ini karena dia tidak mau pacaran. Lalu aku melamarnya dan dia setuju, katanya dia juga sedang mencari seorang pendamping dari lulusan pesantren, dunia ini seakan harum. Dan artinya aku dan Annisa sudah saling merasa memiliki satu sama lain. Kalian tahu perjuanganku mendapatkannya tidaklah mudah, perlu setengah tahun bagiku untuk bisa mendapatkan hatinya dan baru bisa kulamar. Tapi itulah cinta, perlu diperjuangkan.
Dan sekarang novelku juga sudah menjadi fenomenal yang akan ditayangkan di layar lebar. Ini semua berkat Fadil yang mencoba mengajukan naskahku kepada para penerbit yang ada di luar pulau sana, untuk bisa diterima tidaklah mudah, novelku beberapa kali ditolak, aku mencoba mengarangnya lagi. Lagi dan lagi sampai akhirnya penitikan air mata, dan usahaku membuahkan hasil yang pasti. Novelku menjadi bestseller nasional “Kukibarkan Benderaku“ novel yang kutulis dengan mengingat sejarah perjuangan para pahlawan tanah air yang tak kenal menyerah, dibantu oleh kekasihku Annisa novel itu akhirnya menjadi sebuah buku yang diterbitkan di masyarakat. Tapi Fadil, dia menghilang empat bulan, yang lalu adalah hari terakhir aku menerima suratnya. Yang kutahu dari berita terakhirnya, perempuan yang ditaksirnya itu menolak dirinya. Tapi sampai sekarang aku tidak juga tahu keberadaannya. Kukirim surat ke tempatnya di jawa, kukirim surat ke rumahnya semuanya tidak ada balasan, aku jadi kahwatir.
--oo0oo--
Aku pegang surat terakhir Fadil dengan erat, wisudaku kali ini memang kunikmati, tapi sayangnya aku  tidak bisa berbagi dengan sahabatku. Perlahan kubuka surat terakhir itu, dan kubaca.
kawanku Fery
Tidak terasa waktu sudah berlalu begitu cepat kawan, kau ingat dulu waktu kita masih bersama. Sekarang kita juga masih bersama, tapi berbeda jarak.
Kau tahu kawan, ternyata pusat ilmu psikolog itu ada di jerman, dan tekadku sudah bulat tuk pergi kesana.
“mas Fery“ Annisa tiba-tiba menegur dan menghentikan bacaanku “kok nangis, kenapa.?”
Aku segera menyeka air mata dengan lengan baju “ah ngga, ngga ada apa-apa.“
“cerita dong, sebentar lagi kan kita nikah, masa sama istri sendiri tidak mau cerita“ Annisa menggoda dengan senyuman manjanya.
Aku balas tersenyum dan kuceritakan semuanya, tentang surat itu, tentang Fadil yang tidak ada lagi memberi kabar. Tentang persahabatan kami di masa lampau, dan tentang begitu rindu aku padanya. Annisa mengerti, perasaan perempuan memang tajam, dan dalam. Dan di saat seperti inilah perempuan dibutuhkan, karena dia mengerti, dan memahami keadaan.
--oo0oo--
September 2000
Bahagia ketika melihat generasi penerus bangsa ini maju. Aku menjadi salah satu juri di sebuah lomba karya tulis ilmiah. Tulisan-tulisan mereka lebih hebat, cara berpikir mereka lebih maju dariku. Bangga memiliki penerus yang seperti ini.
Seusai acara para mahasiswa itu menyalamiku dan berfoto bersama. Dulu aku yang minta foto bersama, sekarang malah aku yang diminta. Kadang ada juga orang yang mendekat sekedar minta tanda tangan di atas novel yang kutulis. Dulu, aku tidak pernah menyangka bisa begini, dulu ini hanyalah mimpi dan angan seorang, dan sekarang Tuhan benar-benar mewujudkannya ke kenyataan yang indah. begitu indah certia yang dimiliki Tuhan, sampai tidak bisa kutuliskan dalam kata-kata. kulihat istriku berjalan ke arahku sambil menggendong buah hati kami, Irza Rahman, lihatlah mukanya  begitu lucu.
“mirip dengan ayahnya“ kata sang ibu.
“pasti nanti pintar seperti ibunya“ balasku.
Kami berjalan ke luar gedung, di gedung sebelah Nampak ada sebuah acara seminar. Jaman sudah berganti, orang-orang yang dulu sering ikut seminar sekarang malah di undang buat mengisi seminar. Tapi…sebuah suara yang kukenal betul dari dulu, suara ini tidak asing lagi, aku meminta istriku tuk menunggu di mobil. Dia menurut, aku mencoba mengintip siapa gerangan pemilik suara ini, “ya Allah“ desirku dalam hati. Itu Fadil, dia sekarang sedang memberi pengarahan. Dengan jas dan pakaian yang rapi. Walau sedikit berubah tapi aku tetap mengenalinya, mengenali wajahnya, dan juga auranya, ya auranya yang dari dulu tidak berubah. Dia duduk setelah memberi pengarahan yang tak lama dan keluar lewat pintu belakang. Aku besiap di salah satu tiang, kuyakin suara langkah kaki yang sekarang sedang berjalan kesini adalah suara kakinya, dan
“DO…R“ kukejutkan dirinya.
“Fery!“ ungkapnya kaget dan kami langsung memeluk satu sama lain.
Ingin kumarahi dia yang tak memberi kabar. Tapi istriku menelpon tuk segera ke mobil, aku mengiyakan apa katanya, kutatap Fadil.
“malam ini temui aku di tempat biasa.“
Dia mengangguk.
--oo0oo--
Malamnya
“ yah maaf lah Fer, soalnya setelah itu aku mendapat beasiswa ke Jerman dan aku lupa membawa alamatmu, jadinya sampai sekarang aku tidak bisa mengirimimu surat.“
Aku menyeruput kopi susu hangat lalu berucap “sudahlah, bagiku itu semua tidak menjadi masalah lagi. Yang penting Tuhan kembali mempertemukan kita, dan Tuhan juga mempertemukan kita dengan mimpi yang sudah kita janjikan ada ditangan“
Kami tertawa, dan bersama menyeruput kopi, kadang ada mahasiswa yang nongkrong disini dan menatap kami heran. Seorang novelist terkenal sedang duduk bersama seorang pakar psikolog ternama. Sedang duduk berbagi cerita dengan pakaian biasa, juga di tempat yang menurut mereka tempat ini hanya untuk mahasiswa yang kurang uang. Semua merasa heran pada kami. Kecuali pemilik warung yang sudah kenal lama, pada mereka yang terheran hanya kami balas dengan senyuman.
Malam menjadi saksi atas takdir Tuhan yang kembali mempertemukan kami. Dua orang sahabat yang pernah berjanji bersama tuk meraih mimpi, janji hidup. Sebuah janji tidakkan pernah bisa dihentikan zaman. Malam berlalu lambat membiarkan kami berbagi cerita-cerita kehidupan yang telah kami lalui. Bulan dan bintang ikut mendengarkan karena mereka juga pernah menyaksikan janji kami, dan pernah menyaksikan perpisahan kami.
Alhamdulillah selesai
Tanggal 02-09-2010
Unuk sahabatku Fadil Muhammad, yang tengah sama-sama berjuang mengejar mimpi.

Kumpulan Cerpen 2 Sahabat 1 JanjiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang