Dua

26 3 2
                                    

Sebelas empat lima, aku terbangun dari tidur siang. Di atas meja, beralaskan buku, barisan belakang dalam kelas. Ngomong-ngomong barusan mata kuliah apa ya? Oh, metode penelitian. Tidak terasa waktuku di kampus tidak lama lagi berakhir.

"Jo, tadi ada tugas gak?" tanyaku pada Bejo yang sedang menatap ponselnya.

"Ada, Ja. Minggu depan kumpulin beberapa judul buat jadi penelitian," ujar Bejo yang masih menatap ponselnya.

"Lu lagi apa sih? Konsen banget melototin hape."

"Ini gue lagi cari-cari bahan buat judul yang mau gue ajukan. Kayaknya bakal susah, nih. Lu mau ikut gak? Gue mau ke perpustakaan," ajak Bejo.

"Wah, kalo ke perpus gue ikut. Tapi ke masjid dulu deh kayaknya. Biar tenang kita sholat dulu."

"Ide bagus, Ja. Elu tuh emang ya, anaknya urakan tapi sholeh. Seneng gue temenan sama lu."

"Ah elu mah lebay ah. Berlebihan. Lagian, alasan gue ajak elu solat di masjid, itu supaya gue juga sholat di masjid. Kata ustadz gue dulu, masuk surga harus bawa temen, berjamaah, gak bisa sendirian."

"Wih, mantap tuh. Ampun pak ustadz."

"Apaan sih lu, ah. Lebay."

Bejo salah satu temanku yang paling cerdas di jurusan. Pecinta kopi nomor wahid. Namun ia tidak menikahi kopi. Ia sudah menikahi seorang perempuan yang lebih tua darinya bernama Wulan, sekarang sedang kuliah di S2. Nama aslinya Barry Johnson yang dibaca beri jansen, anak dari Mr. Johnson yang mualaf dan Mrs. Puela Harist, blasteran Amerika yang muslim dari lahir. Dipanggil Bejo itu karena akronim dan biar namanya lebih Indonesia. Karena bapaknya bule, menjadikan Bejo seorang blasteran Jerman, Amerika, Aceh. Postur tubuh sempurna, rambut pirang, paras tampan. Selain itu ia muslim yang taat, apalagi sejak punya istri.

Pernah sekali ketika Bejo dan aku mulai akrab, terjadi konflik rumah tangga. Istrinya menyangka ia berselingkuh denganku. Lagi-lagi disangka perempuan. Saat Wulan sadar aku seorang pria, ia bersikap baik padaku. Saking baiknya ia memberikan aku sehelai sorban yang tadinya kusangka itu jilbab.

"Elu kok bisa sih tidur waktu kuliah tapi seger waktu baca buku? Gue malah sebaliknya." Ujar bejo.

"Mungkin karena tipe belajar kita beda, Jo."

"Tipe belajar? Maksudnya yang audio, visual, dan kinestetik?"

"Iya. Gue tipe visual dan sedikit audio. Kalo teoritis gue lebih masuk dari buku dari pada dengerin orang. Kadang kalo denger ceramah juga gue suka ngantuk. Elu pernah tes?" tanyaku.

"Tes tipe belajar gitu?" Bejo tanya balik.

"Iya. Itu biasanya dikasih kalo nanya ke konselor," jawabku.

"Gue baru denger kalo itu ada tesnya."

Di perpustakaan, kami berdua terlalu sibuk mencari referensi untuk judul skripsi kami masing-masing. Bejo membaca sambil mendengarkan alunan musik klasik dan piano sedangkan aku lebih nyaman membaca dengan suasana tenang atau dengan kebisingan alami. Bising yang cukup namun tidak terlalu mengganggu. Kami anak sastra, literasi dunia kami. Menatap buku membuat kami tak sadar bahwa waktu untuk shalat ashar sudah tiba. Beruntung selama di kampus aku bergaul dengan Bejo karena jika tidak, aku mungkin lupa kewajibanku sebagai seorang hamba.

"Lu abis ini mau kemana, Ja?" tanya Bejo yang baru selesai mengenakan sepatunya.

"Gue mau ke RUBIK, balikin buku. Tapi ke kosan Berti dulu ngambil motor. Hari sabtu kemarin gue ke Ciater gitu bareng Gun sama Berti. Berangkatnya dari kosan Berti, makanya gue titip motor di kosannya. Pulangnya langsung ke kosan gue pake mobil si Gun."

"Oke gue paham." Ia diam sejenak dan, "Kalo gitu gue cabut duluan ya. Mau jemput Wulan. Assalamu alaikum," dan ia pergi.

"Waalaikum salam. Salam buat wulan, Jo!" lalu ia menjawab oke.

Baiklah, karena percuma berlama-lama di kampus juga sudah tidak ada jam kuliah maka aku juga mau pergi. Aku mau ke RUBIK, mengembalikan buku yang kupinjam sekalian ada kegiatan nanti sore. Tentang RUBIK nanti aku ceritakan. Mengapa nanti? Karena aku lapar. Sekarang cari makan dulu aja. Untungnya indekost Berti tidak jauh dan sepanjang jalan menuju indekost banyak sekali warung makan. Maklum, namanya kawasan kampus dan kost selalu banyak warung makan juga tempat photocopy. Di jalan ini kita tidak boleh memacu kendaraan terlalu cepat karena banyak pejalan kaki berlalu lalang.

Hei, wangi ini. Ini dari rumah makan padang nih. Sebentar, lihat dompet... sepertinya bukan ide bagus. Aku harus menghemat akhir bulan ini. Baiklah, ke warteg dekat terminal saja nanti. Sekarang indekost Berti.

Sepanjang jalan aku kagum melewati kawasan ini, jalanan bersih padahal bukan komplek perumahan. Yang paling bersih dan rapi adalah kawasan Daarut Tauhid. Suasananya menyejukkan mata dan hati. Perempuannya cantik-cantik pula, tergantung apa definisi cantik bagimu. Karena bagiku, cantik itu dilihat dari bagaimana caramu menutup auratmu, caramu berakhlaq, dan karaktermu sebagai seorang perempuan yang baik. Kadang aku bingung bagaimana bisa aku menyukai Laras hingga saat ini padahal ia tidak seperti yang tadi aku sebutkan?

Hmm... aku masih ingat bagaimana aku bisa mengenalnya. Akan kuceritakan.

***


______________________________________________________________________

Maaf ya sampai sini dulu ceritanya... pastinya kependekan... hehe

Jika menurutmu cerita ini menarik jangan lupa Follow, vote, dan comment ya...

Deni Galing

Galang SenjaWhere stories live. Discover now