Empat

9 0 0
                                    

Sabtu sore sehabis shalat ashar, aku mengajak Gun dan Berti pergi ke Islamic Book Fair untuk selanjutnya kuajak nongkrong di sekitaran jalan Dago, namun sayang mereka tak mau ikut ke Book Fair. Jadi, kau memutuskan untuk pergi sendiri saja. Book Club RUBIK menggelar booth penjualan buku-buku sastra lama untuk mengurangi beberapa koleksi sekaligus promosi book club RUBIK. Elena Lena dan Teh Risma sudah di tempat sedari pagi. Elena adalah ketua Book Club yang menggantikan aku setahun yang lalu. Seorang berkacamata besar, rambut pendek bergelombang, kaos dan kemeja flanel menjadi ciri khasnya. Ia tidak lebih tinggi dariku, kira-kira sekitar 158 cm.

"Abaang!!" sapanya padaku.

"Yo, Elen... Gimana? Banyak yang mampir?" tanyaku.

"Banyak bang, lihat-lihat doang tapinya. Haha," jawabnya.

"Yang beli juga ada beberapa," kata Teh Risma.

"Ada berapa, Teh?" tanyaku.

"Kehitung jari, lah. Ada dua," jawabnya.

"Yaah, kirain berapa. Ya udah teh, aku mau keliling dulu. Nitip tas, ya."

Tidak ada buku lain selain buku islam. Ekonomi Syariah, Bisnis Syariah, Motivasi Islami, Pendidikan Islami, tentang ibadah sunnat dan wajib, pernikahan, buku hadist, dan yang membuatku tertarik untuk membacanya, tentang dakwah. Aku membacanya. Membuka setiap lembarnya, membacanya halaman demi halaman, lalu kututup. Aku memilih buku lain untuk dibaca dan menemukan satu buku yang berjudul bagus namun sayang seorang perempuan di sebrang tumpukan buku itu sedang membacanya. Wajahnya tak terlihat jelas. Tertutup oleh buku yang ingin kubaca, hanya sepasang mata dan kacamatanya saja yang tampak. Ia melihatku jarang-jarang dan sepertinya mulai merasa risih karena kutatap sedari tadi.

"Ada apa ya, mbak?" tanyanya.

"Saya bukan mbak-mbak," kubilang dengan sedikit kesal.

"Oh maaf, ibu," ujarnya.

"Ya Allah... saya cowok, tante."

"Saya bukan tante-tante," jawabnya kesal.

"Maaf ya, teh, saya pengen baca bukunya."

"Ya belilah," katanya.

Yaampun si kacamata ini membuatku kesal. Wajahnya masih masam dan tidak ramah seakan ia berkata, "PERGILAH."

"Eh, bentar deh. Kamu Senja, kan? Galang Senja?" tanyanya, seketika warna wajahnya berubah.

"Iya, kok kamu tahu?"

"Pesantren Al-Fatah kan? Yang baca taudz sama basmalah disatuin pas tes hafalan," tanyanya.

"Okey itu memalukan, jangan diterusin," kubilang dan ia ketawa.

"Gue Bibah. Gue yang pernah ngasih baju cewek ke elu." Baiklah, aku ingat sekarang. Ternyata ia perempuan yang aku suka waktu masih pesantren dulu. Mengapa aku bisa lupa padahal wajah dan penampilannya tidak berubah sama sekali. Wajahnya yang bulat, kacamata juga bulat, dan tahi lalat kecil di mata kiri. Perempuan berhijab lebar yang dengan baiknya memberiku buku kecil yang masih ku simpan sampai hari ini dan ia juga perempuan berhijab pertama yang menyuruhku memakai kerudung miliknya.

"Masya Allah... lu gak berubah sama sekali ya? Dan tetep nyangka gue cewek."

"Hahaha, masih inget gak gue dulu maksa lo pake hijab."

"Iyee, nyebelin dah."

"Eh beneran lu cantikan pake hijab, hahaha. Lagian udah segede gini kenapa gak numbuhin jenggot? Malah rambut gondrong begitu," katanya.

"Ya mau gimana lagi, emang nasibnya belom tumbuh jenggot."

"Serius? Masa udah umur segini belum tumbuh jenggot? Secara genetik, elu lebih kuat ke sisi cewek mungkin, ya. Tapi jangan ganti gender, dosa."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 19, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Galang SenjaWhere stories live. Discover now