Awal dengan Sema

64 6 8
                                    

Saya sedang mengikat tali sepatu putih-hitam milik saya. Hari ini adalah hari pertama saya menjadi anak SMA, dengan kata lain, saya sedang MOS. Saya menggunakan name tag dari kardus yang besar bertuliskan nama, cita-cita, visi dan misi, dan foto dengan Bunda. Gaya rambut saya juga harus diatur, belah tengah kata kakak OSIS di sekolah saya. Memalukan, namun, sebagai lelaki yang diciptakan Tuhan dengan ketampanan, saya optimis, optimis turun harga dirinya. Maka dari itu, saya menggunakan topi hitam dan bergegas untuk berangkat. Baru saja selangkah keluar rumah, saya lupa salim dan salam pada Bunda.

"Bunda, Yuyun berangkat dulu ya!" Saya berteriak di pintu, malas rasanya jika harus melepas sepatu. Begini, nama saya Kirun, kata Bunda asal muasal mengapa bisa dipanggil Yuyun adalah Kirun-dipanggil Run-karena anak kecil susah mengucapkan 'r' jadi, Yun-Yuyun. Itulah akal-akalan yang Bunda bilang.

"Hei! Ini tangan Bunda belum dicium udah mau berangkat aja, mau jadi anak durhaka tingkat berapa kamu?" Kata Bunda sehabis keluar dari kamar mandi.

"Ya ampun, si sayang, judes bener."

"Begini aja kamu bilang sayang."

"Hahaha, Yuyun berangkat dulu ya, Bun. Assalamualaikum." Saya, sambil salim.

"Waalaikumsalam, hati-hati naik sepedanya, buah hati Bunda," si Bunda sambil dadah.

Jarak antara rumah dan sekolah saya, lumayan dekat, makanya saya lebih suka naik sepeda. Sesampainya di sana, saya melepas topi di kepala, dengan kata lain, siap malu. Saya bingung sebenarnya harus apa, tidak ada teman dari sekolah yang sama dulu, semuanya baru, hingga akhirnya, saya ikut-ikutan menuju mading sekolah karena di sana ramai orang. Setelah saya lihat, ternyata itu adalah daftar siswa dimasing-masing kelas dan setelah saya tahu ada di kelas mana, saya berjalan menuju tempat duduk yang kosong di sana, dekat meja piket. Tujuh langkah saya jalan, tali sepatu saya lepas.

"Permisi," salah satu siswi lewat di depan saya. Aduh, memang saya ini, menghalangi jalan.

"Iya," saya menjawab sambil melihatnya satu detik. Akan tetapi, kepala saya kembali lagi untuk melihatnya dan tidak kembali untuk melihat tali sepatu. Tangan saya juga sepakat berhenti mengikat tali itu. Saya melihat dia berjalan menuju mading untuk melihat namanya ada di kelas mana. Astaga, jantung saya berdetak, setahu saya tadi tidak seberdetak ini. Saya lihat dia terus, sambil berdoa ada di kelas yang sama. Berdoa, berdoa, berdoa. Ya! Kami ada di kelas yang sama. Bagaimana saya bisa tahu? Dia berhenti di kelas yang sama dengan saya dan langsung pergi. Loh, tiba-tiba saya senyum.

"Semua peserta MOS, silahkan menuju lapangan upacara. Upacara akan segera di mulai." Perintah salah satu guru. Saya pun segera mengikat tali sepatu yang terlupakan tadi.

Ketika berbaris, barisan dibagi dua dengan formasi wanita di depan dan lelaki di belakang. Saya berada di perbatasan lelaki dan perempuan, supaya bisa melihat dia yang sudah saya cintai kekurangannya sebelum saya tahu namanya. Aduh, saya ini, ada-ada saja kalau sudah cinta. Kalau kalian penasaran dia seperti apa, percaya pada saya, dia tidak cantik, tetapi manis. Sekarang rambutnya dikepang seperti apa yang diperintahkan OSIS waktu itu. Memakai name tag dan—tunggu sebentar, saya menyebut name tag? Seharusnya saya tahu namanya. Aduh! Mengapa saya tak lihat?

"Untuk kelas yang ada di depan saya, ikuti saya dari belakang." Perintah kakak OSIS untuk mengajak kami keliling ke seluruh sudut sekolah. Kami pun berjalan.

"Kirun," seseorang memanggil saya yang ternyata teman di samping saya.

"Hmm, iya, ada apa ya?" Saya kaku.

"Gua Mansyur," sambil mengulurkan tangannya.

"Kirun, salam kenal Mansyur." Saya menyambut tangannya.

"Aduh, jangan panggil Mansyur, panggil gua Ans."

"Ans? Apa nyambungnya sama nama lu?" Kata saya heran.

"Gini aja gak tahu sih. Nama gua M-A-N-S-Y-U-R, Ans itu dari 3 kata nama gua."

"Oh, iya iya, tapi, kenapa harus Ans?"

"Kan nama gua, tugas lu cuma manggil aja."

"Iya deh." Saya sambil senyum.

"Eh, coba lu liat kakak di depan." Dia, sambil menunjuk kakak yang sedang berjalan menunjukan setiap sudut sekolah sambil menjelaskan.

"Kenapa?"

"Pagi-pagi udah nembus." Ans sambil tertawa yang agaknya, kencang.

"Gila! Perhatiin aja sih lu." Kata saya yang mungkin juga berbicara terlalu kencang.

"Untuk dua orang siswa di sana, ngapain ketawa? Merasa udah tahu semuanya tentang sekolah ini?" Tanya kakak OSIS yang mendengar ketawa dan omongan saya dan Ans.

"Maklumin aja, dia lagi PMS." Ans berbisik.

"Gak ada bisik-bisikan ya! Maju ke depan sekarang!" Kakak OSIS yang PMS menyuruh.

Saya dan Ans maju ke depan, kami disuruh untuk menyanyikan mars sekolah kami yang sama sekali satu kata pun, kami tak tahu. Astaga, mumpung saya ada di depan, saya bisa melihat name tag dia. Pelan-pelan saya menggoyangkan kepala saya, mencari posisi yang pas untuk melihat namanya dan menghiraukan ocehan kakak OSIS itu. Alhamdulillah, usaha tidak mengkhianati hasil, saya melihat name tag berwarna merah muda itu. Sema, dia bernama Sema. Alhamdulillah (2), akhirnya Kirun menemukan Sema.

SAMA SEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang