Awal dengan Sema (2)

23 5 5
                                    

Selesai kami dihukum, semua siswa diarahkan untuk menuju ke kelas. Oh ya, kabar kakak OSIS yang 'tembus' tadi, dia sudah mengganti roknya setelah diberi tahu salah satu temannya. Kasihan dia, harus menanggung malu.

"Duduk di sana aja, Run." Kata Ans yang menunjuk bangku urutan kedua dari belakang.

"Apa gak terlalu belakang, Ans?"

"Santai sih, biar cewek-cewek yang di depan."

"Aduh, gimana ya?" Sesaat setelah saya berkata seperti itu, Sema duduk dibarisan sebelah kiri meja yang ditunjuk Ans tadi. Tanpa pikir panjang, saya langsung mendorong Ans untuk duduk di tempat yang Ans tunjuk tadi. Kini, saya dan Sema duduknya bersampingan, walau tidak sebangku tak apa, setidaknya senyum dia jelas di mata saya.

Guru yang menjadi salah satu anggota kesiswaan datang ke kelas kami, mengenalkan dirinya, menyampaikan beberapa peraturan, dan menyuruh kami berdiri untuk memperkenalkan diri kami dan ekskul apa yang akan kami ambil nanti. Absen satu, dua , tiga, dan akhirnya saya.

"Nama saya Kirun, ekskul yang akan saya ambil adalah bulu tangkis." Ucap saya setelah dipanggil namanya. Nama berikutnya, nama berikutnya, dan akhirnya Ans.

"Nama aku Mansyur, pemuda laskar emas dari Tanah Abang. Maka dari itu, sebagai pemuda laskar emas yang ingin memuliakan Tanah Abang, aku akan mengikuti ekskul rohis. Dengan izin Allah, aku bertekad menjadi ketua rohis." Si Ans diiringi tawa seluruh siswa di kelas, termasuk Sema. Aduh, Sema jangan tertawa, nanti Kirun makin cinta.

"Yang gini-gini nih, bapak suka." Sahut guru kami.

"Alhamdulillah, makasih, Pak. Jangan lupa dukung saya sebagai laskar emasnya Tanah Abang." Ans menjawab.

"Insya Allah, Nak. Silahkan duduk, Mansyur." Perintah guru itu.

"Gimana gua? Oke kan?" Kata Ans pada saya.

"Agak jijik denger lu ngomong 'aku', lagian, manusia kesurupan macam lu apa gak panas masuk rohis? Udah gitu mau jadi ketuanya pula." Saya seraya tertawa.

"Jangan macam-macam lu, gua masuk surga, cengo lu." Ans sambil menjitak kepala saya. Selanjutnya, nama siswa lainnya disebut dan sekarang giliran Sema.

"Nama saya Sema, ekskul yang akan saya ikuti adalah basket." Ucap Sema singkat. Iya, singkat saja, jangan banyak-banyak, kalau mau banyak-banyak, rasa cintanya saja sama Kirun.

"Suka lu ya sama dia?" Kata Ans yang melihat saya menatap Sema sedaritadi.

"Apaan sih, sok tahu dah." Saya mengelak.

"Dia satu SMP sama gua dulu, udah ada yang punya, jangan terlalu berharap dah." Ans memberitahu.

"Masa sih?" Saya agak kurang percaya.

"Iya, beneran, dikira gua bohong kali ya, tapi nanti gua coba bantuin deh lu sama dia. Demen kesumat kan lu?"

"Sok tahu." Saya berbohong. Saya juga heran dari mana si Ans tahu?

Bel pulang berbunyi sebagai tanda MOS hari pertama selesai. Saya bergegas menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda, setelah sebelumnya berpamitan dengan Ans, kawan baru rasa lama. Saat saya menuju parkiran, saya melihat Sema menaiki motor jemputan. Dia lewat di depan saya dan kemudian, senyum. Astaga, Sema hanya senyum lima sentimeter, tapi saya balas sepuluh sentimeter dengan gigi kelihatan, jantung berdetak lebih kencang, badan panas-dingin, dan tangan tiba-tiba melambai. Saya berani sumpah, itu semua saya lakukan secara tidak sadar.

"Assalamualaikum," saya sampai di rumah, setelah diperjalanan memikirkan senyum Sema terus.

"Waalaikumsalam," jawab adik saya di ruang tamu dan Bunda di dapur.

Saya kemudian segera masuk menuju kamar, sambil senyum-senyum tentunya. Saya ambil remote AC di meja samping televisi. Jadi, di rumah saya setiap remote, entah itu remote AC, DVD, televisi, TV kabel atau bahkan remote mainan, ditaruh di meja samping televisi ini. Bunda yang buat peraturan ini, supaya kami tidak asal-asalan menaruh remote yang kadang-kadang suka hilang sendiri. Saya memasuki kamar dan menutup pintunya seraya menyalakan AC. Kemudian, saya rebahan di kasur sembari memikirkan wajah Sema yang senyum tadi. Aduh, manis betul dia, walau sudah punya kekasih, tak apalah, selagi janur kuning belum melengkung, Sema masih bisa direbut.

"Abang," tiba-tiba adik saya masuk ke kamar.

"Aih, kagetin aja sih. Ngapain?"

"Balikin remote TV, Bunda mau nonton." Katanya dengan kepala diimpit pintu.

"Bukan sama Abang lah, Abang cuma ambil remote AC."

"Aku gak buta, Bang. Itu remote hitam buat nyalain TV, lagipula AC juga gak nyala." Ucap adik saya. Sesaat saya melihat remote yang saya ambil dan masih saya genggam. Benar, ini remote TV dan AC juga belum menyala. Aduh, ini pasti gara-gara senyum Sema.

"Nih." Saya, sambil menukar remote TV dan remote AC.

"Makanya, rambut jangan belah tengah, kebelah juga sampe dalem-dalem tuh."

Astaga, rambut saya masih belah tengah.

SAMA SEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang