Tolong Beritahu Kirun

22 5 5
                                    

"Tungguin aku," ucap Sema seusai bel pulang berbunyi.

"Saya mau pulang sendiri. Kamu kan udah punya pacar, ngapain sama saya. Oh ya, bahagia ya sama pacar baru lo." Saya mengubah kata panggilan dan langsung berjalan menuju parkiran.

"Bukan gitu ceritany—" Saya melepas genggaman Sema yang secara tiba-tiba memegang.

Saya menatapnya murka. Saya benar-benar tidak mau bertemunya lagi. Dengan pasti saya berlalu meskipun saya tahu Sema ingin menceritakan sesuatu. Biar. Biarkan saja dia.

Ada berjuta pilihan hidup yang bisa kita pilih. Aku memilih Bunda untuk mengatakan pada Ibu Sema bahwa acara tersebut batal. Bunda sepakat. Aku juga memilih hidup untuk melupakan Sema. Menganggapnya tidak ada, membiarkan dia terjatuh saat mengejar saya waktu itu, dan tidak peduli saat ia menangis karna sikap acuh saya. Saya memilih diam diri di rumah. Mendengarkan radio di kamar, bermain PES dengan Randy, dan membantu Bunda di dapur. Saya hanya mau mengisi liburan dengan rutinitas seperti ini saja.

"Yun, ada Ans tuh nyamperin." Menghela napas saya mendengar Bunda berkata seperti itu saat memasuki kamar saya.

"Biarkan saja. Suruh pulang."

"Ayo, silahkan masuk Ans. Ini Yuyun-nya di kamar." Bunda ini, seperti tidak dengar omongan saya.

"Makasih, Tante." Wajah Ans sedikit terlihat di balik pintu kamar saya.

Dipeluk erat saya olehnya saat dia memasuki kamar. Seperti pasangan yang menahan rindu lama. Menjijikan. "Gak ada kabar, parah banget sih." Ucap Ans sambil masih memeluk saya. Saya dorong dia untuk melepaskan pelukannya. "Apaan sih, ngapain coba ke rumah gua?"

"Temennya dateng bukan malah di sambut sih, kasih minum kek, makanan kek, cemilan kek gitu. Judes banget kayak cewek PMS." Sambil mencolek dagu saya yang saya sambut dengan elakkan.

Saya diam.

"Rencana kita liburan ke villa sama Sema dan Dinda, jadikan?"

"Gak lah. Gila aja lu." Spontan saya menjawab. Apalagi saat dia menyebut nama Sema.

"Ada yang harus lu omongin berdua sama dia, Brad. Lu harus bener-bener denger dari dia langsung. Gak main ninggalin gitu aja. Cowok gak bakal pergi saat ceweknya lagi di posisi sulit gitu." Sambil tiduran dan menindihkan kedua tangannya di kepala.

"Udah jelas. Apa yang mau didenger?"

"Parah sih lu. Apalagi pas gua liat Sema ngejar lu naik sepeda, sampe jatoh dia. Berdarah. Cuma buat cowok yang gak ngehargain perasaannya."

Saya diam. Malas menjawab. Malas membicarakan ini lebih. Malas mendengar namanya.

Ans pulang dan kali ini sudah malam. Malam memunculkan gelapnya. Menggantikan matahari dengan bulan. Menggantikan terang dengan hitam. Saya melihat bintang di luar, sambil meminum teh manis dan beberapa cemilan. Untuk menghibur diri saja, agar Bunda tidak khawatir anaknya lebih suka di rumah sekarang. Menghirup udara malam yang dingin sehabis hujan memang nikmat tiada tara. Saya selalu suka suasana di bumi yang seperti ini. Sejuk sekali.

"Kirun." Seseorang membuka gerbang pintu rumah saya dan langsung menyapa saya yang sedang duduk. Sema, dia Sema. Tanpa basa-basi saya langsung bergegas menuju ke dalam. Dia berlari kecil untuk menghadang saya. Lagi-lagi dia memegang tangan saya dan lagi-lagi itu juga saya melepaskannya keras, sampai tubuhnya hampir terjatuh. Sebegitu kuat saya menolaknya. Tak peduli akan keadaannya yang sedikit meringis kesakitan karena ada beberapa luka lebam yang saya lihat di tubuh dan wajahnya, saya bergegas menuju kamar.

"SAYA SUKA SAMA KAMU." Dengan suara keras dia berhasil menghentikan langkah saya. Saya menoleh sedikit ke arahnya, benar-benar sedikit. "Saya..suka sama..kamu." Ucapnya dengan sedikit tangisan. Halah! Akting dia, hanya ingin membuat saya baik kembali padanya. Lagipula tak pantas dia mengucapkan itu padahal sudah punya pacar. Saya melangkah kembali menuju kamar. Meninggalkan dia dengan tangisan.

------- Ini aku, Sema. Aku meminjam alur ceritanya Kirun sebentar. Ada sesuatu yang harus kalian tahu karena Kirun tak mau mendengarkanku. Hari sebelum Priya mengejutkan beberapa warga sekolah dengan ia 'menembakku', itu adalah hari menyakitkan buatku. Hari itu, Kirun pulang lebih dulu, ada tugas kelompok yang harus dia kerjakan di salah satu rumah teman kami. Dia sempat mengajakku untuk menemaninya, tapi aku menolak. Jelas aku menolak, aku bukan anggota kelompoknya. Saat aku berjalan menuju rumah, Priya, kakak kelas 11 di sekolah kami, memberhentikan motornya di depanku yang berjalan. Ia memaksaku untuk menaiki motornya, mau mengantarkanku pulang, ucapnya saat itu. Dia memaksaku, memegang tanganku sangat kencang untuk menaiki motornya. Aku takut ia lebih kasar dari ini, aku menurutinya.

Bukan rumahku yang dia tuju, tapi tempat tongkrongan yang terletak 100 meter dari sekolah kami. Itu base camp-nya. Ada banyak orang atau bisa dibilang anak buahnya. Dia merayuku di sana, membelai rambutku, memegang pipiku, dan ingin menciumku. Akan tetapi, aku menamparnya. Wanita macam mana yang tidak akan menamparnya, bukan? Sebab aku menamparnya, dia ingin menamparku balik, tapi dihadang anak buahnya. "Santai lah, jangan main kasar." Ucap salah satu diantara mereka. Priya bilang, aku harus menjadi pacarnya. Aku tak mau. Hari itu, aku sudah cinta dengan Kirun. Sangat jelas aku menolaknya. Apalagi dia orang yang kasar. Oh ya, kakak kelas yang menelponku setiap malam yang juga sudah pernah Kirun bilang pada kalian, itu adalah Priya. Dia benar-benar mengincarku.

Ingin rasanya aku menghubungi Kirun, tapi tasku di motor Priya. Lenganku dipeganggnya hingga membiru. Ya, membiru. Sebegitu kuatnya tenaga dia. Dia benar-benar mengancamku jika aku menolaknya esok. Ingin dijadikan bahan bully-an di sekolah nantinya. Dan tibalah hari itu, seperti yang sudah diceritakan Kirun. Aku pulang dan menceritakan semuanya pada Mama. Mama juga menceritakan rencana Kirun yang ia batalkan lewat omongan Bunda. Aku menangis, sebab hubunganku dengan Priya. Aku ditampar jika tidak menurutinya, dipukul jika melawan, dan lebam yang Kirun liat tadi sebab ulah Priya selama kami menjalin hubungan.

Besok, aku dan Priya akan jalan bersama, dia akan ke rumah untuk menjemput. Dengan bantuan Mama (karena Kirun tidak bisa diandalkan saat ini), hubungan kami akan segera berakhir. Tolong, bilang pada Kirun tentang semua ini, tolong jelaskan. Aku merindukannya.

           

      

            Terang, sekarang terang yang mengganti gelap. Masih pukul sepuluh pagi, saya masih sangat mengantuk. Semalam, saya dan Randy main PES sampai subuh. Sekarang, anak itu pergi dengan Bunda, mengurus SMA barunya. Maklum, baru jadi anak putih abu-abu dia. Ada suara berisik dari luar. Dasar! Tidak menghargai liburan anak sekolah. Saya coba hiraukan orang ribut tak tahu tempat, tapi tak bisa. Makin menjadi-jadi mereka. Ah! Kalau begini mengganggu. Mau tak mau saya keluar untuk memberi tahu bahwa itu mengganggu. Lagian, warga lain tidak ada yang melerai apa?

Saya lihat di gerbang rumah, sambil mengucek mata sebab masih mengantuk. Saya lihat dan...itu Sema dengan Priya, ada Ibunya Sema di sana. Mereka bertengkar, Sema ada dibalik punggung Ibunya. Sementara, Priya beradu mulut dengan Ibunya. Entah masalah apa, mereka sama-sama berteriak. Rasa tak ingin ikut campur, tapi.........."Saya gak pernah tega anak saya digituin, kamu ini songong banget jadi anak. Gak pernah diajarin orang tua?" Ibu Sema menunjuk-nunjuk muka Priya.

"Jaga ucapan lo ya, gua gampar sekali lagi ngomong begitu." Priya dengan kasarnya berbicara pada orang tua.

"Ini, pipi saya, tampar. Jangan beraninya dengan anak saya. Emang anak saya mainan apa?" Priya turun dari motornya ingin menampar Ibunya Sema. Saya bergegas membuka gerbang. Berlari. Dan....

"BRENGSEK!" Saya memukul wajah Priya dengan sekuat tenaga. Dia terjatuh. "Bangsat!" Ucap saya memukulinya bertubi-tubi. Ibu Sema dan Sema berusaha melerai, tapi saya menjadi-jadi. Saya pukul karena kesal, sebab ia merebut Sema, sebab ia melawan Ibu Sema, sebab ia tidak punya tata krama, sebab ia menyakiti saya.

SAMA SEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang