Prolog

66 5 2
                                    

Nasya Adena Ulani, itulah namaku. Nasya, begitulah orang-orang meyapaku. Aku Nasya anak perempuan yang baru saja menginjak masa putih abu-abu. Bermata -1,5. Berambut hitam pekat tidak terlalu panjang juga tak terlalu pendek. Tubuh kecil, mungil, bahkan sering dikira masih SMP.

Aku memiliki seorang sahabat yang sangat aku sayangi. Rafli Naufal Abiyyu.

Ya, dialah Rafli. Seseorang yang sudah menjabat sebagai sahabatku sejak dibangku sekolah dasar.

Dia tampan? Ya!
Baik? Sangat.
Apalagi? Dia tinggi, berhidung mancung, berkulit coklat, ah tidak, tapi sawo matang.
Dia juga pintar. Aku suka.

Satu hal yang aku benci darinya, dia tidak peka dan sedikit—menyebalkan.

Saat ini kami sedang belajar bersama. Sejak tadi ia meributkan kamus Bahasa Inggris. Padahal jelas-jelas buku tebal itu ada di sofa ruang tengah, tempat yang saat ini menjadi tempat kami belajar bersama. Aku mulai jengah dengan tingkahnya. Ingin tahu? Baik, akan aku jelaskan. Saat ini ia sedang dengan lancangnya memasuki kamarku. Dia bilang akan mencari Kamus Bahasa Inggris.

"Nasya? Kamus Bahasa Inggris punyamu dimana sih?" huh! Pasti meja belajarku sedang diacak-acak olehnya.

Aku berjalan kearah kamarku. Benar saja, dia sedang mengobrak-abrik meja belajarku. Ya Tuhan!

Aku bersandar pada pintu. Memperhatikan setiap gerak-geriknya yang—sungguh membuatku jengah. Aku sangat tidak suka dengan hal-hal yang kotor, tidak rapi, berantakan, semrawut, apalah itu yang jelas aku tidak suka.

"Cari ini?" aku mengangkat buku bersampul plastik yang sejak tadi ia cari, "mau kamu cari sampai Upin Ipin pakai pomade juga nggak bakalan ketemu! Orang dari tadi bukunya udah di sofa, pinter!" ia hanya menyengir kuda membuatku gemas ingin memukul kepalanya dengan buku yang sedang aku bawa ini. Tapi itu tak mungkin terjadi, karena ia lebih tinggi dariku.

"Eh, Sya! Ini buku apa sih? Buku harian kamu ya? Aku buka ya," aku melotot ketika menyadari buku harianku sudah terjamah oleh Rafli. Oh no! Jangan sampai dia membaca curhahan hatiku yang sangat menye-menye dalam buku itu.

Aku mencoba merebut kembali buku harianku, tapi sulit. Tinggi badanku hanya sebatas dada Rafli. Sedangkan Rafli sudah mengangkat buku itu setinggi-tingginya.

Eits, jangan mengatakan aku pendek ya. Bukan aku yang pendek, tapi noh si Rafli yang tinggi badannya boros.

Aku menggapai buku harianku yang masih diangkat tinggi-tinggi oleh Rafli. Tapi aku tetap tak berhasil mengambil buku harianku.

Oh Tuhan, tolong aku.

Rafli membuka buku harianku secara acak, dia membaca salah satu halaman di buku itu dengan posisi mendongak karena ia masih bertahan mengangkat buku itu tinggi-tinggi. Lalu ia baca isinya dengan lantang. Astaga, Rafli! I love you! Eh ralat, i hate you, Rafli.

"Dear, nenek lampir. Aku mengenalnya jauh sebelum kamu kenal dia. So, please deh. Nggak usah sok can—"

"Yups! Dapat! Udah ih, nggak usah kepoin buku harian aku ya Raf. Nyebelin tahu nggak."

"Nggak," jawabnya singkat lalu melenggang keluar dari kamarku. Oh Rafli, kau sungguh menyebalkan!

***

🍃 🍃🍃

Temanggung, 31 Juli 2017

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang