2

29 4 1
                                    

Nasya mengayuh sepedanya dengan santai. Ia akan kerumah Rafli. Menepati janjinya untuk pergi ke bookfair. Dengan menyumpal kedua telinganya menggunakan earphone. Alunan lagu kesukaannya mengalun merdu membuat gadis itu sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa menghilangkan fokusnya mengayuh sepeda.

Nasya berhenti di depan gerbang sebuah rumah sederhana. Ia langsung turun dari sepedanya lalu menggeser gerbang itu supaya terbuka.

Ia menuntun sepedanya dan  memakirkannya di depan garasi di rumah itu.

"Pak? Raflinya di rumah kan?" tanya Nasya ketika melihat Pak Dharma, tukang kebun di rumah Rafli.

"Iya, Rafli di rumah. Masuk aja Sya," jangan heran, Pak Dharma ini sudah lama bekerja disini. Jadi, karena itu juga Nasya dan Rafli menyuruh Pak Dharma memanggil mereka berdua tanpa embel-embel  Non atau Den.

"Langsung masuk aja sini. Sya!" Rafli yang baru saja keluar ketika mendengar suara Nasya mengajak Nasya masuk kerumahnya.

"Tante Arini mana? Bang Rafif juga nggak keliatan," Nasya duduk di sofa, matanya menjelajahi rumah Rafli. Sepi. Tante Arini, Mama Rafli sepertinya sedang bepergian, Bang Rafif? Entahlah. Ia pun tak nampak sejak tadi.

"Oh, Mama lagi ke minimarket depan komplek, Bang Rafif? Dia mah belum bangun," Nasya menganggukkan kepalanya dua kali, paham dengan penjelasan Rafli, "Raf? Kamu niat ke bookfair enggak sih?"

Rafli mengernyitkan dahinya. Ia memandangi pakaian yang ia kenakan. Tidak ada yang aneh. Ia memakai kaos lengan pendek berwarna hitam polos di balik kemeja kotak-kotak yang tak dikancingkan, dan celana jeans biru pudar yang sobek-sobek di bagian lututnya.

"Nggak ada celana yang lain? Mau nyaingin preman, huh?"

Rafli tersenyum kikuk. Ia sudah mendunga sahabatnya ini pasti akan mengomentari celana yang ia kenakan. Nasya tipe cewek yang rapi, ia tak suka dengan pakaian jaman sekarang yang terlalu terbuka, bolong-bolong, sobek-sobek, kurang bahan. Menurutnya, itu KAMPUNGAN. Mengikuti trend masa kini tak salah. Hanya saja tak perlu terlalu—ah ia sendiri bingung mendefinisikannya. Ia sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan. Karena baginya, penilaian orang terhadap orang lain tak hanya dilihat dari cara ia berbicara, perilakunya sehari-hari, tetapi juga dari cara berpakaiannya.

"Ganti celana gih!" Rafli mengangguk tanpa protes. Ia langsung berlari menuju kamarnya di lantai dua. Mengganti celananya.

Suara pintu terbuka membuat Nasya menolehkan kepalanya.

"Eh, ada Nasya? Udah lama, Nak?" Airin menenteng belanjaannya yang lumayan banyak. Nasya berdiri lalu menyalami Airin.

"Belum lama, Tante. Sini Tan, aku bantu," Airin tersenyum dan menerima bantuan Nasya. Ia memberikan satu kantong belanjaannya kepada Nasya.

Nasya mengikuti Airin menuju dapur, meletakkan belanjaan Airin di meja.

"Kata Rafli, kalian mau ke bookfair ya?" Nasya yang sedang mengeluarkan belanjaan Airin untuk dimasukkan kedalam kulkas pun menoleh lalu mengangguk.

"Iya, Tante. Ini hari terakhir bookfair, sayang kalau nggak kesana," Nasya mengakhiri ucapannya dengan senyuman. Ia membenarkan letak kacamatanya yang melorot kembali ke pangkal hidungnya.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang