Chapter 1: Ragu

25 0 0
                                    

"Ayo! Cepat ayo!"
"Hei, tunggu aku!"
"Hei! Bagaimana kalau kita futsal sore nanti?"
"Sampai jumpa! Besok datang ke rumahku, ya!"
"Nanti sore ada acara enggak?"

Suara-suara itu terdengar di telingaku. Tidak terlalu jelas, tapi aku masih bisa mendengar, hiruk pikuk seusai bel sekolah berbunyi beberapa menit yang lalu.

Terletak agak jauh dari keramaian pasar di pusat kota ini, satu-satunya sekolah impian setiap anak, telah berdiri dengan kokohnya selama puluhan tahun. Bagaimana tidak? Gedung-gedung yang lengkap dengan perlengkapan belajar para siswa. Halaman yang luas, dengan ketenangan di bawah pohon-pohon yang rindang, masih nyaman dan jauh dari keramaian kendaraan berasap yang lalu-lalang. Bahkan ruang kelas yang bersih dan nyaman; selama bertahun-tahun telah mencetak siswa-siswi berprestasi. Inilah sekolahku, sekolah impian semua orang. Sekolah impianku selama ini.

Tak terasa, sudah dua tahun aku mengasah otak di sini. Mengisi hari-hariku dengan suka dan duka dalam hati kecilku. Aku masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Waktu berjalan begitu cepat. Aku bahkan belum membayangkan sebelumnya. Semua terjadi begitu saja. Tak kusangka, aku akan menjadi bingung dan canggung seperti ini. Akan sulit bagiku untuk melupakannya. Setidaknya, aku akan berusaha agar lebih tenang saat libur sekolah nanti.

Woooii! Suara itu terdengar lirih, namun semakin jelas di telingaku, membuyarkan lamunanku.

"Ha!" Aku terkejut, tersadar. Pikiranku yang jauh berkelana telah kembali. "Kenapa kau ini? Ngagetin aja."

"Wow wow, sabar. Nyawamu sudah kembali belum?" tahannya dengan benteng sepasang telapak tangan yang lembut.

"Nyawa jempolmu!" jawabku kesal. Dia terkekeh, mempertemukan kedua telapak tangannya, menggoyangkannya ke depan dan belakang berulang.

"Sorry sorry, hehe. Lagian kamu melamun terus. Mikirin Dio?" tanyanya, dilanjut menyedot minuman dingin di depannya.

Aku menghela nafas. "Yah, bagaimana enggak, ini sulit dibayangkan. Kamu gak mungkin pernah kepikiran tentang hal ini, kan?"

"Enggak lah." Dia terdiam sejenak. "Kira-kira, dia bakal dikeluarkan dari sekolah apa enggak ya?" tanyanya lesu.

"Entahlah. Aku masih ingin jadi temannya. Tapi, aku juga ragu."

"Yah, mungkin kita memang enggak akan ketemu dia lagi."

"Iya, mungkin saja."

Aku terdiam sejenak, memperhatikan gadis di depanku ini. Aku heran, sejak kapan dia berada di sini? Apa mungkin karena aku melamun terlalu jauh, sampai aku tak sadar ada seseorang yang datang.

"Duh, kasian banget kamu. Sini aku minum!"

Aku kembali sadar. "Eh? Jangan main ambil punya orang, dong. Kamu kan sudah punya sendiri," hardikku sambil menarik kembali gelas minumanku.

"Lagian, kamu ini melamun terus, coklat hangatnya sudah dingin, tahu!"

"Yah, aku ini masih kepikiran. Lagian, kamu jangan minum es sama hangat sekaligus. Enggak sehat." Aku mulai meminum coklat hangatku, yang ternyata memang sudah dingin.

"Iya, aku tahu." Dia tersenyum. Mungkin mencoba membuatku agar sedikit lebih tenang. "Sore nanti, kita ke sana, yuk!" ajaknya.

"Hm, boleh. Lagipula, aku juga khawatir. Semoga segera sadar, ya." harapku cemas.

"Iya. Sudah tiga hari. Tapi kamu kenal enggak, orang-orang kemarin itu? Kayaknya bukan polisi. Apa mereka juga jahat, ya?"

"Aku enggak tahu. Mungkin mereka memang polisi yang berjaga." jawabku ragu.

Sambil kuhabiskan minumanku, aku berpikir keras menemukan jawaban itu, tetapi nihil. Ini sangat sulit, bayanganku buntu.

Kulihat jam dinding di kantin, tempat kami minum, telah miring ke antara angka dua dan tiga. Kuperhatikan, ibu kantin juga sudah mulai berberes dengan jajakannya. Mungkin sudah waktunya bagi kami untuk meninggalkan sekolah siang ini. Kurogoh dompet di saku celanaku, berdiri, menghampiri ibu kantin dan menyerahkan selembar uang lima ribu rupiah. Ucapan terimakasih kulontarkan, lalu kembali menghampiri gadis itu.

"Ayo pulang! Punyamu sudah kubayar sekalian, kok," ajakku, sambil menggendong kembali ransel bercorak doreng milikku.

"Wah! Kamu enggak pernah berubah, ya. Aku enggak enak lho," jawabnya sambil berdiri. Senyumnya kembali tersimpul.

Aku membalasnya dengan senyuman kecil. Dia cantik sekali. Sebenarnya aku kasihan dengannya. Dia gadis yang murah senyum. Tapi dia sudah mendapat masalah sebesar ini. Kuharap, aku bisa selalu ada untuknya. Setidaknya, membuatnya selalu tersenyum bahagia setiap saat.

The Mirror SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang