Chapter 3: Runtuh

5 0 0
                                    

Yoga tiba di gerbang sekolah. Suasana begitu ramai pagi itu. Jarum jam masih belum sampai angka tujuh. Setidaknya hampir satu jam sebelum setengah delapan. Tapi sudah ramai dengan pendatang baru.

Di depan aula yang ramai, berdiri 4 papan besar, tempat di mana siswa-siswi baru bisa melihat urutan seleksi dan daftar kelas. Siswa-siswi yang tak saling kenal juga mencoba untuk berbaur satu sama lain.

Di tengah keramaian itu Yoga menemukan sosok yang tidak asing. Dila, sedang duduk sendiri di bangku panjang di depan aula. Gadis itu tampak sangat rapi, masih dengan seragam SMP. Rambut lurusnya kini sebahu, tampak lebih menawan dan juga berwibawa. Tanpa ada seorangpun di sampingnya, dia duduk sembari memperhatikan keramaian.

“Dila!” sapa Yoga mendekati bangku panjang.

“Oh, Yoga? Apa kabar?” balasnya dengan lambaian tangan.

“Baik, kok. Kamu bagaimana?”

“Aku juga baik. Sini duduk, temani aku, ya. Aku masih belum dapat teman.” Dila bergeser sedikit walau masih banyak ruang.

“Yah, aku juga masih belum berteman dengan siapapun. Sepertinya empat sekawan seperti kita ini memang akan sulit dapat teman, ya.” Yoga terkekeh.

“Hehe. Kamu ini, jadi mengingatkanku sama Reza.” Dila menunduk tersenyum.

Yoga terbelalak. “Ah iya, Reza, di mana dia? Kamu sudah bertemu dengannya?”

“Reza tidak jadi sekolah di sini. Liburan lalu, kakeknya meninggal. Jadi, orang tuanya pindah ke Denpasar. Reza terpaksa harus ikut dan sekolah di sana. Dia sudah berangkat seminggu yang lalu. Dia memberitahuku sehari sebelum berangkat saat dia ke rumahku. Dia bilang dia ingin bertemu dan memberitahumu juga. Tapi rumahmu sepi saat dia ke sana. Kamu juga tidak bisa dihubungi. Jadi saat ini, mungkin baru aku yang tahu,” urainya tanpa ekspresi.

“Oh, begitu. Ya, liburan kemarin aku mengunjungi nenekku di Jogja. Kebetulan saat aku diajak ke pantai, HP ku dipinjam ibu untuk motret. Tapi tiba-tiba ada anak kecil menyenggol ibu, dan HP ku jatuh ke air, terus rusak. Jadi, aku belum punya HP lagi sampai sekarang,” jelas Yoga sedikit sedih.

Dila paham. Percakapan lengang sejenak. Suasana di depan aula semakin ramai.

"Rasanya menyedihkan, ya, kehilangan dua sahabat kita,” Dila membalas lesu.

Yoga teringat sesuatu. “Oh iya! Tadi malam ibu bilang, Dio sudah kembali dari desa. Katanya, dia juga sekolah di sini. Harusnya hari ini kita bisa bertemu dengannya.”

Dila terkejut. “Benarkah? Kalau begitu, kenapa kita tidak coba cari Dio?” tanyanya mengajak.

“Benar juga. Ayo coba cari dia.”

Mereka beranjak. Keduanya mencoba menajamkan mata agar bisa menemukan Dio di keramaian. Mereka juga mencoba mencarinya di sekitar kantin sekolah itu.

Jarum jam telah menunjukkan angka setengah delapan kurang tiga menit, tapi mereka masih belum menemukannya. Beberapa saat kemudian terdengar lonceng dari beberapa speaker luar ruangan, diikuti suara lembut seorang wanita layaknya pengumuman di bandara.

Selamat Pagi, siswa-siswi peserta didik baru SMA Negeri Jaya. Karena waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan, diharapkan segera memasuki aula SMA yang berada di sebelah gedung utama, dan berbaris sesuai dengan papan kelas yang telah disediakan.

Pengumuman itu diulang sekali dan diakhiri ucapan terimakasih. Yoga dan Dila menyerah untuk pagi ini. Mereka tidak bisa menemukan Dio atau sekadar melihatnya dari kejauhan. Mereka berdua masuk ke aula bersama dengan ratusan siswa lainnya, mengikuti bimbingan yang disampaikan Kepala Sekolah dan juga arahan dari kakak-kakak OSIS yang bertugas.

Apa mungkin aku sudah lupa wajah Dio? Entah kenapa firasatku mengatakan, Dio sudah berubah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Mirror SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang