Kupikir sudah sekitar lima belas menit aku memutar-mutar pulpen di tangan kananku. Mungkin suara ctak-ctaknya mulai mengganggu. Aku merasa seperti ada yang menatapku dengan risi. Begitu aku memutar kepala, dua anak yang duduk di kanan belakangku seketika mencari arah pandang lain. Kavanagh dan Breathnach.
Aku menghela napas. Entah sudah berapa kali aku melakukannya hari ini. Tetapi yang jelas kepalaku sedang penuh dengan berbagai macam pikiran. Surel itu tidak termasuk. Menurutku malah lebih seperti ulah orang yang ingin menggodaku untuk berdelusi seperti anak kecil. Bahkan kupikir pengirimnya adalah bocah kurang kerjaan yang penuh imajinasi. Membuat surel dengan domain yang terlihat resmi tidaklah sulit. Aku juga tahu bagaimana caranya.
Semalam aku langsung menceritakan perihal surel itu ke grup obrolanku. "Kau malah akan terlihat bodoh jika menanggapinya." Begitu malah komentar Bikkan dan yang lain. Aku juga setuju. Hanya saja yang membuatku heran adalah Ninnaaa yang tidak turut mengomentarinya di grup, tetapi malah mengirimiku pesan pribadi.
Ninnaaa: apa kau benar-benar menganggapnya sebagai ulah orang iseng?
Yang lebih aneh lagi sepertinya dia langsung offline setelah itu. Aku masih belum bisa menghubunginya hingga saat ini. Aku penasaran apakah Ninnaaa juga dikirimi pesan konyol seperti itu. Jika dilihat dari responnya, seandainya ia memang dikirimi, kurasa ada kemungkinan Ninnaaa menanggapinya dengan serius.
Mataku menerawang jauh ke luar jendela. Kelabu mulai muncul dari arah barat. Seperti yang diharapkan dari musim gugur. Selagi aku setengah mengamatinya dan setengah melamun, aku pun teringat akan hal lain—percakapanku dengan Ayah semalam. Ya, untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir ini, beliau meneleponku.
Aku baru saja menyeberang ketika sekali lagi kuputuskan untuk mengecek percakapanku dengan Ninnaaa. Tentu saja hanya tanda centang yang terpampang di sana. Rasanya sedikit meresahkan. Maksudku, segila apapun aku pada dunia fantasi, aku tidak akan mencampurkannya dengan realita. Sedangkan Ninnaaa seperti tidak ingin aku menyepelekannya. Begitu spekulasiku.
Selagi aku masih memikirkannya, tiba-tiba ponselku berdering. Aku makin terperanjat ketika nama Ayah yang tertulis di sana. Cepat-cepat aku mengangkatnya. "Halo?"
"Aileen, kau masih di Sligo?"
Aku mengerutkan alis. Nadanya terdengar begitu terburu-buru. "Ya. Tentu saja. Ada apa?"
"Kunci semua pintu dan jendela di malam hari. Jangan pernah pergi sendirian lagi. Kalau bisa, minta teman laki-lakimu untuk menemani. Kau paham?"
"Apa maksudmu, Ayah?" Aku merasa bingung. "Apa ini tentang kasus penguntitan wanita di Sligo?"
Terdengar suara napas dihela. "Dengar, Aileen. Aku tidak bisa memberitahumu rinciannya. Yang jelas lakukan saja seperti yang kuminta. Aku tidak ingin kau berada dalam bahaya."
Pembicaraan ini terasa begitu aneh. Suara Ayah pun terdegar risau. "Aku tidak mengerti," kataku.
"Tolong, Aileen. Sekali ini saja. Permintaan Ayah tidak berat, kan? Paling tidak bertahanlah seperti itu untuk satu minggu."
Satu minggu. Batas di surel itu juga menyebutkan satu minggu. "Memangnya apa yang akan terjadi minggu depan, Ayah?" Pertanyaan itu meluncur keluar dari mulutku tanpa aku sadari.
Lama ponsel itu terdiam. Bahkan ketika aku sudah berjalan sampai di depan minimarket di dekat flatku, aku masih belum mendapat jawaban. Kujauhkan ponsel dari telingaku. Ternyata masih tersambung. "Ayah?"
Aku bersumpah aku sempat mendengar suaranya yang terisak. "Maaf, Aileen. Ini semua salah Ayah. Yang terpenting sekarang, tolong lakukan apa yang Ayah minta. Ini semua demi keamananmu. Ayah menyayangimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale of Demigod: As The Banshee Sings
Fantasy[15+] Aileen mendapat sebuah surel yang cukup aneh--semacam undangan ke suatu tempat yang disebut sebagai Kamp Darah Campuran, tempat pelatihan para manusia setengah dewa. Masalahnya, hal seperti itu hanya ada di cerita-cerita fiktif bertemakan fant...