Perkenalkan namaku Sintia, ini adalah pengalaman kisahku yang akan aku ceritakan disini. Cerita mesum perselingkuhanku ini bermula ketika aku dan suamiku sudah pindah kerumah kami sendiri. Kami pindah ke sebuah kompleks perumahan yang masih baru dan belum banyak penghuni yang menempatinya. Di gang rumahku yang terdiri dari 12 rumah baru 2 rumah yang ditempati, yaitu rumahku dan rumah mas Hengki. Rumah mas Hengki hanya berjarak 2 rumah dari rumahku. Karena tidak ada tetangga lain, jadi mereka cepat sekali akrab dengan suamiku.
Aku dan Winda, istri Hengki seperti sahabat lama, kebetulan kami seumuran. Hampir tiap hari kami saling curhat tentang apa saja, termasuk soal seks. Biasa kami berbincang di teras depan rumah Winda kalau sore sambil Winda menyuapi Aria, anak mereka. Aku kurang “happy” soal urusan ranjang ini dengan suamiku. Bukannya suamiku ada kelainan, tapi dia senangnya tembak langsung tanpa pemanasan dahulu, sangat konservatif tanpa variasi dan sangat egois. Begitu sudah ngecret ya sudah, dia tidak peduli dengan aku lagi. Sehingga aku sangat jarang mencapai kepuasan dengan suamiku. Sebaliknya Winda bercerita kalau dia sangat “happy” dengan kehidupan seksnya. Hengki hampir selalu bisa memberikan kepuasan kepada istrinya. Kami saling berbagi cerita dan kadang sangat mendetail malah. Sering aku secara terbuka menyatakan iri pada Winda dan hanya ditanggapi dengan tawa terkekeh2 oleh Winda.
Jum’at petang itu kebetulan aku sendirian di rumah. Terdengar ketukan di pintu sambil memanggil2 nama suamiku.Aku membukakan pintu.
“Eh .. Mas. Masuk Mas,” sapaku ramah. Aku baru selesai mandi sehingga tanpa make up dengan rambut yang masih basah tergerai sebahu. Aku mengenakan daster batik mini warna hijau tua dengan belahan dada rendah, tanpa lengan yang memperlihatkan pundak dan lengan yang putih dan sangat mulus.
“Nnng … suamimu mana Sin?”
“Wah ke luar kota Mas.”
“Tumben Sin dia tugas luar kota. Kapan pulang?”
“Iya Mas, kebetulan ada acara promosi, jadi dia harus ikut sampai Minggu baru pulang.Mas Hengki ada perlu ama suamiku?”
“Enggak kok, cuman pengin ngajak catur aja. Lagi kesepian nih, Winda ama Aria nginep dirumah ibunya.”
“Wah kalo cuman main catur ama Sintia aja Mas.”
“Emang Sintia bisa catur?”
“Eit jangan menghina Mas, biar Sintia cewek belum tentu kalah lho ama Mas.” kata ku sambil tersenyum.
“Ya bolehlah, aku pengin menjajal Sintia,” katanya dengan nada agak nakal.Aku hanya tersenyum menjawab godaanku. Aku membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan dia duduk di kursi tamu.
“Sebentar ya Mas, Sintia ambil minuman. Mas susun dulu caturnya.”
Aku melenggang ke ruang tengah. Pas aku melangkah sambil membawa baki yang berisi 2 cangkir teh dan sepiring kacang goreng kegemarannya dan suamiku kalau lagi main catur, dia sedang menyusun biji2 catur dipapannya. Aku membungkuk meletakkan baki di meja, mau tak mau belahan dada dasterku terbuka dan menyingkap dua bukit toketku yang putih dan sangat padat. Aku tidak memakai bra. Kemudian aku duduk di kursi sofa di seberang meja.
“Siapa jalan duluan Mas?”
“Sintia kan putih, ya jalan duluan dong,” jawabnya. Beberapa saat kami mulai asik menggerakkan buah catur. Aku membuktikan bahwa aku cukup menguasai permainan ini. Beberapa kali langkah ku membuat dia harus berpikir keras. Tapi aku pun kerepotan dengan langkahnya.
Beberapa kali aku harus memutar otak. Kadang2 aku membungkuk di atas meja yang rendah itu dengan kedua tanganku bertumpu di pinggir meja. Posisi ini tentu saja membuat belahan dasterku terbuka lebar dan kedua toketku yang aduhai itu menjadi santapan empuk kedua matanya. Satu dua kali dalam posisi seperti itu aku mengerling kepadanya dan memergoki dia sedang menikmati toketku. Aku membiarkan matanya menjelajahi toketku sehingga aku sama sekali tidak mencoba menutup daster dengan tanganku.