Prolog

310 37 4
                                    

Awan kelabu menggantung di langit beriringan dengan rintikan hujan yang turun. Suhu udara sudah dipastikan meningkat lebih dingin dari biasanya. Suasana sekitar menjadi senyap. Jarang sekali orang-orang mau berlalu lalang di sekitar jalan. Terkecuali, orang yang mengais rejeki ketika hujan turun. Ia rela tubuhnya kedinginan tertimpa air hujan asalkan ia mendapat beberapa rupiah yang bisa ia gunakan untuk kebutuhannya.

"Ojek payungnya, Kak?"

Cowok yang sedari tadi mondar-mandir di halte tersebut menoleh ke asal suara. Senyumnya terukir kala melihat anak kecil perempuan yang sedang menyodorkan sebuah payung ke arahnya.

"Ah, ya! Thanks anak kecil, sudah datang di waktu yang tepat."

Anak kecil itu sedikit merengut. "Jangan panggil aku anak kecil, Kak. Panggil aku Sifa. Namaku adalah Sifa," kata anak kecil itu yang sontak mengundang tawa keras dari cowok tersebut. Mengingat adiknya yang sering menonton salah satu film kartun dengan tokoh yang memiliki nama serupa.

Anak itu mengernyitkan dahinya. Bingung. Aneh. Kenapa kakak ini tertawa? Namaku, kan emang Sifa.

"Okedeh, Sifa. Sekarang Kakak mau bawa payungmu dulu ya ke makam yang ada di seberang sana," kata cowok itu sambil mengambil payung dari Sifa.

Sifa mengangguk sebagai jawaban. Lalu ia mengekori cowok besar di hadapannya yang beranjak dari halte. "Aduh!" Pekik Sifa akibat tersandung kakinya sendiri. Untung saja ia tidak tersungkur di lantai karena tangannya yang cekatan terlebih dahulu memegang tiang.

"Ck! Anak bandel. Mau ke mana?"

"Ya, mau ngikutin Kakak."

"Ngapain?"

"Itu, payungnya Sifa cuma satu. Takutnya nanti Kakak bawa kabur," jawab anak kecil itu dengan polosnya.

Cowok itu mendengus. Muka ganteng, style oke, rambut rapi, badan wangi, yakaliiii mau malingin payung?

Dengan badan sedikit membungkuk, cowok itu berkata lembut. "Sifa, Kakak ganteng ini nggak bakalan bawa kabur payungmu. Tenang aja, deh. Sifa duduk aja di halte ini, nanti kakak balik lagi ke sini bawa payungnya. Kakak di makam sana nggak bakalan lama. Cuma mau jemput seseorang. Sifa tunggu Kakak di sini, oke?"

Mendengar tutur kata yang lembut dari cowok besar di hadapannya ini membuat Sifa menurut. Ia segera berbalik badan kembali masuk ke dalam halte dan segera mendudukkan diri di kursi yang tersedia.

"Kak, tunggu!"

Cowok itu mendengus. Langkah kakinya lagi-lagi gagal untuk segera keluar dari halte. Ia membalikkan badan. "Apalagi?"

"Nama Kakak siapa?"

"Handsome," jawab laki-laki itu spontan. Sifa mengangguk singkat, membuat laki-laki itu menahan tawanya. Kalau saja ia tidak sedang buru-buru, maka dengan senang hati laki-laki itu akan terus mengerjai anak kecil itu. Membohongi orang lain merupakan suatu kebahagiaan tersendiri baginya.

Tersadar apa tujuannya, ia segera berlari kecil menerobos hujan. Langkah kakinya diiringi dengan rasa khawatir terhadap seseorang yang akan ia tuju. Hujan masih saja deras, terlebih lagi baru saja terdapat percikan cahaya kilat dari langit, sebentar lagi pasti petir akan datang, pikirnya.

Langkah kakinya dipercepat ketika ia mendapati sosok yang ia cari. Gadis itu di sana. Di sebuah pondok kecil yang berada di pinggiran makam. Sebentar lagi, ia akan sampai. Harapannya, petir akan datang setelah ia sampai. Ya, semoga. Kalau terlambat, maka ia akan merasa sangat bersalah. Dan siap-siap saja mendapat amukan dari singa jantan di rumahnya nanti.

Dengan duduk sambil memeluk lutut, gadis itu juga menenggelamkan kepalanya. Tubuhnya sedikit gemetaran. Laki-laki itu mengerti, bahwa gadis itu kini sedang ketakutan. Maka, ketika sampai, ia  segera memeluk gadis itu. Sigap. Cepat. Pelukan yang bersamaan dengan datangnya petir yang cukup memekakkan telinga. "Abang datang. Nggak usah takut," bisiknya. Hampir. Sedikit lagi, ia terlambat datang.

Gadis itu terkesima. Tidak lagi sendirian. Tidak lagi ketakutan. Kakaknya datang. Meskipun hampir terlambat, namun setidaknya ia ada. Memeluknya. Sedikit memudarkan takut itu.

Hujan dan petir. Merupakan suasana yang sama sekali tidak diinginkannya.

"Nggak usah takut lagi. Rileks. Tarik napas pelan-pelan, baru buang pelan-pelan. Jangan cepat-cepat, kalau cepat-cepat itu namanya bukan buang napas, tapi buang angin."

Bugh!

"Anak iniiii." Geramnya setelah mendapat pukulan tepat di dada dari adiknya itu. "Untung sayang."

Gadis itu melepas pelukan. "Lama banget datangnya. Mana pas datang bau asap rokok, lagi." Ngomelnya untuk menutupi rasa takut yang tersisa.

Laki-laki itu mengatupkan bibirnya. Tidak mau angkat suara menyahuti.

"Kasih tahu bang Fahri ah," kata gadis itu.

Laki-laki itu membulatkan mata. "Eh, anak kecil! Ngadu aja sana. Nanti Abang aduin balik kalo kamu nekat ke sini hujan-hujanan."

"Tadi, kan, masih mendung, sedikit," lirihnya.

"Kan, tadi. Sekarang udah enggak."

Gadis itu menunduk. Matanya berkaca-kaca. "Maaf ngerepotin."

"Plis, mau sampe kapan kamu begini terus, Ta? Semua orang punya masa lalu. Jangan terlalu larut sedihnya. Kita sama-sama ditinggalin orang yang kita sayang."

"Tapi Abang masih satu dunia. Masih bisa ngeliat dia. Kita beda." Setelah mengucapkan kalimat itu, gadis itu berlari.

•••

Heyyoooo. Dua tahun ngebiarin cerita ini berdebu. Sekarang hadir lagi dengan isi yang sedikit berbeda. Semoga suka. Kalau gak suka, yaudah, suka-suka kamu aja.

GO AWAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang