"Mama semalaman tidur di sofa hanya karena nungguin Papa, tapi papa enggak pulang-pulang!" teriakku pada Bram. Terasa getaran dalam nada suaraku. Tak terasa pipiku terasa panas hingga airmata pun mengalir.
Aku melipat dan memasukkan pakaian ke dalam koper berwarna merah jambu, sambil menyeka bulir air mata yang mengalir di pipiku.
Bram tidak pulang semalaman, bahkan tidak menelepon atau meninggalkan pesan. Aku sudah puas meluapkan kegelisahan dan amarahku padanya. Ia hanya terduduk tampak menyesali.
"Sudahlah, Ma. Papa minta maaf," ujarnya mencoba menahanku.
"Awas, Pa!" Aku mencoba menerobosnya sambil menggandeng tangan Abrar, anak kami yang berumur lima tahun."Mama, dengar dulu," ia memegang lenganku dan aku mengentakkannya begitu saja. Ada kesedihan dari raut wajahnya. Namun aku ingin mengedepankan emosiku, agar ia tidak mudah membuatku menangis seperti ini.
****
"Pulanglah, selesaikan baik-baik dengan suamimu." Ayahku mencoba membujuk.
"Nanti kebiasaan, Yah," Aku tak berani menatap matanya.
Bram menunggu di ruang tamu. Aku sedang tak ingin melihat wajahnya, masih kesal dengan ulahnya."Tidak baik seperti itu," ujar Ayah. Aku akhirnya mengikutinya bertemu Bram.
Kuturuni anak tangga satu persatu. Kulihat Bram menggenggam kedua tangannya resah. Ketika melihatku, ada senyuman di sana. Jantungku mulai berdetak keras."Mau apa ke sini?" tanyaku ketus.
Bram hanya tersenyum.
"Lusi, biarkan Bram memberikan penjelasan!" tegas Ayah. Sepertinya ia mulai gerah dengan sikapku yang seperti anak kecil ini.
"Maaf, Yah jadi merepotkan." Ia membetulkan letak dasinya.
"Aku ketiduran saat itu, hingga aku tidak mengirimkan pesan atau menelepon Lusi." tukasnya lembut."Tuh kan, Yah!" celetukku sambil mengubah posisiku menghadap Ayah seperti anak kecil, "dari kemarin itu alasannya tidak masuk akal." Aku mencoba membela diri di hadapan Ayah.
"Lusi, mungkin memang Bram kelelahan dan tidak sengaja tertidur di kantor." Ayah mencoba memberi pengertian sambil menepuk bahuku.
"Nak Bram, engkau tahu betul istrimu. Jangan buat dia khawatir berlebihan." nasihat Ayah yang membuat Bram mengangguk lalu berucap datar, "iya, Yah.""Sekarang, kalian Ayah tinggal dulu ke belakang, mau ngasi makan ayam," lanjutnya. Aku mengangguk begitu juga dengan Bram.
"Kita pulang ya," ajak Bram padaku. Ia berpindah duduk ke sampingku.
"Tapi Papa janji enggak bakal begitu lagi, pikiran Mama jadi kemana-mana." Aku protes padanya hingga menceritakan pikiran-pikiran buruk yang menyelimutiku.
"Iya, aku janji. Aku sangat merindukan Mama." ujarnya dengan nada lembut. Jantungku mulai berdebar, ia menggenggam tanganku.
"Menginaplah di sini sehari, besok kita pulang." ujarku akhirnya."Baiklah," tukasnya dengan senyum yang membuatku selalu merasa nyaman.
"Papa!" teriak Abrar sambil berlari kecil menuju Bram. Anak kecil berumur lima tahun itu langsung saja naik ke atas pangkuan Ayahnya.
Kami menginap di rumah keluargaku dua hari di Ciawi. Kemudian bertolak ke Jakarta.
****
"Ma, Papa ada tugas ke luar kota hari ini." Begitu isi SMS yang aku terima. Sudah beberapa hari dalam bulan ini, Bram sering tidak pulang.
"Iya, Pa. Jangan nakal, ya!" balasku. Aku sudah tidak ingin membuatnya merasa terbebani ketika bekerja.Kuputuskan memberinya kepercayaan hingga tidak ada konflik dalam rumah tangga kami. Walaupun dalam hatiku terkadang ada rasa menyesak di dalam dada, mengharu biru. Ada luapan tanya yang tidak mampu kupendam.
Bram dan aku merupakan kerabat dekat. Betapa sulitnya ketika dulu kami akan menapak ke jenjang perkawinan, Ayah tidak setuju. Hingga akhirnya Tuhan memberikan jalan hingga kami berhasil menikah.