Kabut Pegunungan Sijji

10 1 0
                                    


Winarni mendengar sesuatu di sekitarnya. Ia menatap nanar sekelilingnya. Matanya menelisik pepohonan rimbun disekitar, berusaha menelanjanginya. Tiba-tiba dua orang dengan pakaian hitam muncul dan berusaha mendekatinya. Ia memasang kuda kuda, dan menendang batu-batu besar yang berada tepat di kanannya. Kedua pria itu pun terpelanting.

Semua ini berawal dari mimpinya. Ia dan Ajie bersama-sama ke pegunungan Sijji dibimbing oleh mimpi yang mengganggunya setiap malam. Sebuah pohon besar jatuh dan membuat mobil yang mereka tumpangi oleng ke arah jurang.

Dirinya tercampak keluar. Ia melihat mobil lexusnya terseret arus. Dengan susah payah ia menggapai sebuah akar pohon besar untuk dapat  sampai pada dataran di atasnya. Lengannya berlumuran darah.

Winarni berlari dengan kecepatan yang tidak biasa. Ia benar-benar ingin menemukan tubuh Ajie yang malang akibat terbawa arus, dan ia pun mengikuti arus sungai itu. Ia tidak tahu apakah Ajie selamat atau tidak.

Entah apa yang terjadi, semua menjadi tanda tanya besar bagi Winarni. Ayah yang bersikap aneh, terlihat terlalu overprotective. ibu yang menghilang dari rumah. Semuanya terjadi pada hari ini, hari ulang tahunnya.

Lubang gelap tanpa cahaya terlihat di hadapannya bagai sebuah terowongan yang sangat panjang.
'Persis seperti dalam mimpinya' batinnya. Hari semakin gelap, tajuk-tajuk pohon tidak mengijinkan lagi cahaya masuk ke dalam hutan.

Ia mengeluarkan senter dari tas ranselnya, perlahan ia memasuki relung gua itu dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Gemericit kelelawar menyambut kedatangannya. Gua tersebut memiliki banyak lorong, ia bingung harus masuk ke lorong yang mana.

"Winarni!" teriak seorang pria di dalam lorong gelap itu. Winarni menghentikan langkahnya. Ia mengarahkan cahaya ke arah datangnya suara itu.

Seorang pria mengenakan kaus hitam dan jeans belel serta kain hijau terikat di kepalanya.

"Ajie?" Nama itu meluncur begitu saja dari mulut Winarni. Pria itu tersenyum, mulut Winarni terpelongo. Ia tak percaya pria itu masih hidup. Ia berlari dan memeluk kekasih yang dirindukannya.

"Kupikir kau sudah mati." isaknya dalam pelukan Ajie. Dadanya bergemuruh lega melihat pria itu masih bisa ia sentuh. Ia sangat merindukannya.

"Kau, bagaimana kau masih hidup? Aku melihat sendiri kau terseret arus sungai." tanya Winarni yang tiba-tiba teringat akan keberadaan Ajie.
"Ibumu menyelamatkanku," tukas Ajie.

"Ibuku?"
"Pssst," telunjuk Ajie menahan kata-kata yang akan keluar lagi dari mulut Winarni.
"Kita kedatangan tamu," ujar Ajie pada gadis berambut kecokelatan itu. Ia segera mematikan senter yang menyala redup sejak tadi.

Langkah kaki yang bergesekan dengan lantai gua yang basah itu membuat degup jantung keduanya semakin menderu. Ajie menggenggam erat tangan gadis itu. Mereka berjalan lebih cepat  memasuki lorong gua itu lebih dalam.

Namun sebuah cahaya menghadang mereka. Seekor ular dengan lurik merah bercampur hitam. Kobra besar merubah kepalanya menjadi seekor manusia. Winarni mundur selangkah, Ajie membelakanginya.

"Mau apa kau?" seru Ajie yang di sambut gelak tawa wanita bertubuh ular besar itu.
"Aku tantenya, aku lebih berhak mendapatkan kekuatannya." Ia menyeringai, "kita akan sama-sama menguasai dunia."

Ajie terlihat tersenyum sinis. Ia mengeluarkan bola api dari tangannya dan mengarahkan ke Dwipa, wanita ular merah itu.

Wanita itu membelalakkan matanya. Ia mengibaskan ekornya ke arah Ajie,
"berani-beraninya, kau!" Ia membelit Ajie dan melemparkannya kesana kemari.

Winarni memandang pemandangan itu dengan geram, seluruh tubuhnya menggigil, kulit badannya seperti terkuliti. Matanya tiba-tiba mengkilat. Ia berguling ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya menjadi setengah ular. Ia terkejut melihat perubahan dirinya.

Kala Hujan Membungkus PagiWhere stories live. Discover now