The Pride

17 2 0
                                    

Kuambil cermin dari tas Hermes berwarna pink di laci meja. Aku tersenyum kecil, puas akan sentuhan lipstik yang baru kubeli semalam.

Namaku Bella wongso, seorang wanita karir yang bekerja sebagai supervisor kredit kontroller di perusahaan rokok ternama yang selalu mengikuti trend fashion dan paling tergila-gila dengan barang bermerk. Hari ini aku mengenakan blus berwarna pink yang di padu dengan rok span berwarna pink pucat dengan tas senada.

"Bel, warna lipstiknya cantik banget hari ini." Sapa Vira memuji warna lipstik baruku.
"Iya donk beib, semalam ada diskon dari channel," ujarku berbisik sambil mengerling ke arahnya.

"Ya udah, aku tunggu di depan ya," ujarnya melambaikan jemari lentiknya ke arahku.
"Sip," ucapku sambil mengacungkan jempol.

Aku menyisir kembali rambutku yang ikal dan menyematkan bando seperti semula. Kupandangi cermin sambil menyapukan kembali kuas bedak channel favoritku.
"Yah,sempurna!" tukasku memuji diri sendiri. Aku berdiri di atas sepatu high heel setinggi lima senti merk Nine West. Tas hermes pink sudah menggantung di pundakku, siap menemani makan siang hari ini.

"Bel," ujar Vira sambil menyikutku hingga aku tersedak.
"Apaan sih!" tukasku kesal.
"Itu," ia menunjukkan sesuatu dengan arah matanya. Aku pun berhenti menyeruput es mocca green tea kesukaanku. Seorang pria berbadan atletis sedang memainkan jarinya di depan laptopnya.
"He is so hot," ujar Vira yang seperti meleleh di buatnya. Aku membalikkan pandanganku dan menikmati kembali nasi goreng di hadapanku.

"Bel!" seru Vira yang protes dengan ketidakpedulianku pada sosok yang menurutnya ganteng tingkat dewa itu.
"Duh, Vir, cacing di perutku sudah lapar banget nih. Aku nggak bakal kenyang hanya dengan melihat yang begituan." tukasku berbohong sambil menikmati suapan pertama.
Vira hanya manyun sambil membetulkan duduknya.
Sahabatku ini memang tampak sedang mengasihaniku karena ia tak ingin aku patah hati berlama-lama. Padahal, who cares? Masa mau jodohin aku dengan pria yang tidak mungkin terjangkau di kantor?

Dion adalah manajer marketing baru di kantor mereka. Gayanya yang maskulin membuat ia digilai oleh cewek-cewek di kantor. Vira sering mengatakan bahwa Dion mengagumiku. Namun aku lebih menganggapnya sedang mencari sensasi, walau sebenarnya aku merasa tersanjung di gosipin seperti itu.

Ponsel Vira berdering. Ia melambaikan tangan padaku dan meninggalkanku sendiri.
'Sialan' batinku. Pasti ia makan siang dengan Beni, pacar barunya.

Aku melirik pria bernama Dion itu. Ia sudah menutup laptopnya. Jam ditanganku menunjukkan pukul setengah dua. Kumasukkan suapan demi suapan ke dalam mulut dengan harapan aku dapat menyelesaikan makan siang dengan segera.

"Pelan-pelan Bel," seseorang sudah berdiri di sebelahku. Kukunyah perlahan nasi yang baru saja melesak ke dalam mulut. Aku mendongakkan kepala sambil menyunggingkan senyum.
"Eh, Pak Dion, sudah selesai?" tanyaku dengan mulut penuh dengan nasi. Dia mengangguk, "boleh saya temani?" Ia menarik bangku di sebelahku dan langsung duduk di situ. Kuambil tisu untuk mengelap ujung bibir bekas minyak nasi goreng yang mungkin saja tersisa.

Mimpi apa aku semalam, pria paling ganteng seantero kantor sekarang sedang duduk menemaniku makan siang.
"Kok tumben sendirian?" tanyanya yang membuatku mulai gelisah.
"Iya, Pak. Tadi saya bareng Vira, tetapi dia lagi ada urusan." ujarku sekenanya.
"Jangan panggil Pak, Dion aja," tukasnya kemudian.

Kukatupkan sendok dan garpu tanda sudah selesai makan.
"Itu masih ada di bibir." Ia menunjuk bagian bibir sebelah kiriku yang masih ada sisa nasi. Koplak, rasanya aku ingin menyiram saus sambal ke mata, malu.

Kusapukan tisu di mulutku lalu kulirik ternyata tidak ada bekas pemulas bibir menempel disana. Aku lega lipstik barunya ternyata kissproof.

Kala Hujan Membungkus PagiWhere stories live. Discover now