BROKEN ANGEL

33 0 0
                                    

Aku memarkir mobilku di garasi. Rumahku tampak lengang. Rumput liar memenuhi taman kecil di sudut halaman. Aku yang biasa membersihkan taman itu setiap minggu bersama Adinda. Kolam ikan dipenuhi lumut sehingga airnya keruh.

Ardi menelan kegetiran yang dirasakan. Dia telah meninggalkan rumah ini selama dua bulan. Rumah ini adalah surga yang kubangun bersamanya. Bangunan bercat biru ini merupakan saksi bisu hari-hari bahagianya bersama Adinda.

Adinda merupakan bidadari di rumah ini, dia tidak hanya cantik secara lahiriah namun juga baik berakhlaknya. Cintanya yang melimpah ruah membuatku tidak pernah kekurangan kasih sayang. Senyumnya mampu menghapus semua lelah dan gundahku. Kelembutannya mampu memadamkan api kemarahanku. Aku sangat beruntung memilikinya.

“Assalamualaikum,” aku membuka pintu dengan kunci yang kubawa. Hatiku bergetar memandang foto pernikahan kami yang terpajang di dinding. Terdengar suara Adinda menjawab dari dalam kamar, namun dia tidak keluar.

Aku hempaskan tubuhku ke sofa, kucoba menyusun semua kata-kata yang akan aku ucapkan pada Adinda.
Pikiranku bagaikan benang kusut yang sulit untuk aku uraikan. Semua benang membentuk simpul mati, menandakan aku harus memotong salah satu agar benang-benang kusut ini bisa terurai kembali.

Semua sulit untuk dipilih, tapi aku tetap harus memilih karena hidup memang sebuah pilihan. Seringkali takdir tidak sejalan dengan keinginan kita.

Biduk rumah tangga kami sedang dihantam badai. Seharusnya kami berjuang bersama agar mampu melaluinya. Aku membiarkan istriku berjuang sendiri, dia bertahan di atas serpihan biduk rumah tangga kami.
Aku hanya diam dan pasrah melihat semuanya tenggelam. Aku tidak punya pilihan lain, Aku tidak berani menolak keinginan ibu.

Aku memandang wajah tirus istriku. Matanya tampak sembap.Wajahnya pucat, tidak ada lagi senyuman menyambut kedatanganku. Langit gelap seolah ikut berduka. Awan hitam bergelayut, menyaksikan bidadari yang sedang terluka. Aku menggenggam tangan Adinda yang dingin dan gemetar. Dia hanya terdiam. Tiba-tiba setetes air mengenai punggung tanganku. Dia menarik genggamanku dan mengusap matanya.

Kuusap kebas wajahku, empat puluh delapan purnama telah kami lalui bersama. Aku merasa belum bisa membahagiakan dia. Sekarang, aku menambah deritanya. Adinda tersedu menelan pahit kenyataan yang dialaminya.

Adinda berkata lirih, “Apakah Kakak akan meninggalkanku?”
“Aku harus mematuhi perintah ibu,” ucapku sedatar mungkin. Aku tidak punya kalimat lain yang mampu menghibur kepedihannya. Hatiku teriris sembilu melihat wanita yang kucintai meneteskan air mata di hadapanku. Aku ingin memeluknya agar dia tenang, namun aku tidak sanggup melakukannya. Aku hanya terdiam mematung di sampingnya.

“Kapan pernikahanmu akan dilangsungkan?” dia berusaha tersenyum namun  tatapannya kosong dan hampa. Tenggorokanku tercekat, semua terasa getir bagi kami.

“Aku akan datang ke pernikahanmu, untuk melihat wanita yang akan memberimu anak.” Suaranya serak menahan tangis. Akhirnya akuu merengkuhnya, agar dia merasakan bahwa hatiku juga hancur.

“Apakah Kakak tidak mencintaiku lagi?” Pertanyaan Adinda bersamaan dengan suara guntur di luar rumah. Alam pun murka atas sikapku. Dia semakin tergugu dalam dekapanku. Isaknya bagai sembilu menghujam jantungku. Namun aku harus kuat, semua kulakukan demi ibu. Aku tidak ingin disebut anak durhaka.

“Maafkan aku, Dinda. Takdir pernikahan kita hanya sampai di sini,” ucapku berbisik ke telinganya. Tangisnya semakin memilukan, aku telah mematahkan tulang rusukku sendiri. Dia memelukku sangat erat. Pelukan perpisahan dari wanita yang aku cintai.
**
Suara gending pengiring pengantin terdengar menusuk hatiku, namun aku harus bisa berdamai dengan keadaan ini. Aku harus menepati janjiku untuk melihat wanita yang akan memberikan anak buat Ardi.

BROKEN ANGELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang