Bab 10

21 4 0
                                    

Aku berangkat sekolah dengan di antar si rambut emas, banyak yang memanggil dia si rambut pirang sebenarnya, tapi rambut emas sepertinya lebih spesial. Siapa lagi jika bukan dia, Rafi. Padahal sebenarnya aku naik angkot pun bisa, tapi kata Mama, "biar hemat".

"Kamu cuek amat sih, Rell?"

"Ih, biasa aja kok."

Sebenarnya aku seneng bisa bareng sama dia. Tapi, karena terkadang dia nyebelin, mau tak mau aku harus menyembunyikan perasaanku.

"Harusnya kamu bangga bisa jalan sama cowok keren kaya aku." ucapnya dengan pede.

"Raffffiiiiii...." aku berteriak sekencang-kencangnya. Dia sampai mengerem mobil secara mendadak.

"Heh gadis kecil gila! Kamu kenapa teriak-teriak? Kamu mau kita mati?" dia menatapku dengan mata melotot.

"Siapa suruh narsis banget! Nyebelin tau nggak?" aku balas menatapnya tajam. Mata kami saling bertemu, entah kenapa aku merasa rasa itu masih ada tatkala mendapati mata indahnya itu.

"Whatever!"

Dia kembali menjalakan mobil tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

Sesampainya di depan kampus, aku langsung turun tanpa menunggunya membukakan pintu. Oh ya, ini bukan sinetron. Dan aku juga tau, jika dia tak kan mau melakukan hal seperti itu.
But, kumupulan genk Cindy tengah memandang Rafi tanpa berkedip. They like Rafi, aku bisa melihat itu dari tatapan mereka. Dan Rafi, dengan katronya melambai-lambaikan tangan kepada mereka yang genit dan centil itu.

Luar biasa menyebalkan.

"Rell, nanti pulang aku jemput ya..." teriak Rafi dengan sok ramahnya. Aku hanya menatapnya sekilas, lalu melengos pergi dan mengabikan mereka yang sedang ber-say hello.

*****

"Mel, ayahmu udah gimana? Tanyaku kepada Amel, saat kita sedang duduk berdua di bangku kantin.

"Hm... Sudah baikan kok, Rell."

Makana kami pun datang. "Makasih mas"

"Oh, ya syukur deh, maaf ya Mel, aku nggak bisa datang buat njenguk."

"Nggak papa, gimana liburannya? Seneng ya jalan sama Rafi, cinta pertama." ucapnya dengan mengedip-ngedipkan matanya. Yaa, memang aku menceritakan semuanya kepada Amel. Karena dia sahabat terbaikku selama ini, yang paling mengerti tentang perasaanku. Jadi, aku selalu menceritakan apapun kepadanya. Dan aku menyayangi sahabatku ini, kita sudah bagaikan saudara, tapi, memang mau jadi saudara. Setelah dia menikah dengan Irfan nanti.

"Nggak, nyebelin."

Ketika sedang asyik-asyik makan mie ayam, tiba-tiba Cindy dan kawan-kawannya dateng.

"Rell, cowok tadi siapamu? Keren banget. Aku mau dong, dikenalin." ucap Cindy si ketua genk. Anak buahnya ada tiga. Tata, Gina, Indah. Mereka terkenal di kampus ini karena dandanan mencolok mereka, aksesoris yang dipakai pun banyaknya, ampun deh. Cocok jadi warung berjalan deh. Make up mereka lengkap, tanpa ada kurang sedikitpun, tapi ya itu, berlebihan dalam memakainya.

Mereka suka ngecengin cowok keren, dan tajir. Widih, parah dah. Tapi mereka baik kok, nggak suka bully.

Cindy paling cantik diantara mereka, dan anak buahnya pun selalu menuruti perkataanya.

"Dia sahabat kakakku. Bukannya tadi kalian udah kenalan pas di gerbang?" tanyaku sambil terus melahap mie ayam di depanku.

"Nggak, habis kamu pergi, dia juga pergi." ucap Cindy degan nada sedih dan kesal.

"Ya berati belum rezeki. Sabar aja, lagian kan, kalian udah punya cowok-cowok cakep, kok masih lirik-lirik yang lain sih." ujarku heran.

"Dia beda, Rell. Dia karismatik. Apalagi tampangnya, luar biasa. Hm, ngomong-ngomong, kamu bukan pacarnya kan?"

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan Cindy. "Nggak, kenapa?" tanyaku sembari menatapnya.

"Kalau aku ambil boleh dong ya?" ujarnya dengan senyum centilnya.

Aku tersenyum kecut. "Yaela, Cindy. Ambil aja kalo mau."

Cindy sumringah dan tiba-tiba mencium pipiku cepat. "Makasih sayang" ucapnya sambil berlali dengan anak buahnya.

Aku terhenyak. Buru-buru aku menghapus bekas ciumannya. "Gila si Cindy, asal cium aja."

"Rell, kamu nggak papa kalo Cindy deketin Rafi?" tanya Amel yang terdengar khawatir.

"Loh, kamu kok kaya nggak suka gitu? Apa kamu juga suka sama Rafi?" aku balik tanya dengan sedikit bercanda.

"Ngaco kamu, aku udah punya Irfan tau. Tapi, Rell, Rafi kan cinta pertama kamu, kamu rela dia di ambil orang lain?"

"Cinta pertama belum tentu jadi cinta terakhir, Mel. Lagian dia nggak suka sama aku. Ya, biarin ajalah."

Tampang Amel berubah keruh. "Ya sudah, terserah kamu deh, mudah-mudahhan suatu hari kamu nggak nyesel."

Aku tertawa kecil. "Udah ah, nggak usah ngomongin Rafi."

Sebenarnya dalam hati aku nggak rela. Dan masih sakit saat mendengar dan menyatakan perasaanku pada Cindy dan Amel.

Apa aku masih menyukai Rafi? Ah, entahlah. Kadang aku lelah dengan terlalu berharap kepadanya.

Me And My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang