Bab 13

11 2 0
                                    

Aku membuka mata. Lalu mendongak kaget.
Rafi sudah ada dihadapanku dengan sebuah kopi di tangan kanannya. Dan yang menyebalkan lagi, dia tersenyum. Amat sangat manis. Membuat perutku lagi-lagi bergejolak.

"Kamu kenapa bisa ada disini?" tanyaku kepadanya. Dia duduk tepat dihadapanku sambil menyeruput kopi pelan.

Dia mengenakan baju santai. Perpaduan kaos berwarna biru dengan celana jeans panjang. Namun meski begitu, daya karismatiknya tetap saja terpancar. Soal ini, aku setuju dengan apa yang di ucapkan Cindy.

"Jangan sungkan kalau butuh bantuan." ucapnya masih dengan senyum manisnya.

Aku masih berpikir beberapa menit sebelum akhirnya menceritakan semua masalah kantor kepadanya. Dia mendengarkanku dengan baik.

"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?" tanyaku dengan mimik melas kepadanya.

"Banyak hal yang bisa dilakukan, Rell."

"Apa?" tanyaku dengan penasaran.

"Perbanyak cerpen."

"Tapi, Raf, untuk yang satu cerpen dalam satu edisi saja honornya bisa macetnya berbulan-bulan. Gimana kalau cerpennya diperbanyak?"

"Kalau tulisanmu dimuat dimajalah, kamu seneng nggak?" tanyanya membuatku bingung.

"Ya senanglah, terus hubungannya apa?"

"Coba kamu belajar menulis, sedikit demi sedikit, terserah kamu mau menulis tentang apa juga." saran Raffi

"Dan ajak temen-temen kuliah kamu yang punya bakat, pasti banyak dari mereka yang mau karyanya dimuat dimajalah." lanjutnya.

Saran yang diberikan Rafi ada betulnya memang, tapii... Apa aku bisa nulis?

Oke, mungkin memang aku harus mencobanya, untuk buktiin sama Mama kalo aku bisa.

Dan aku akan meminta bantuan Amel, dan mungkin juga Novan, dan yang pasti teman fakultasku banyak yang berminat.

"Tapi Raf, gimana aku bayar mereka nanti?"
Aku baru aja kepikiran, honor yang kemaren belum genap diberikan seutuhnya.

"Itulah gunanya teman, kalau kamu bicara baik-baik sama mereka, pasti mereka bantu, tanpa meminta imbalan."

"Aaa, thanks Raf, aku bakalan coba saran dari kamu."

Oke, aku akui Rafi memang baik, untuk saat ini, tapi entah nanti, besok, lusa, atau seterusnya. Aku harap dia akan terus begini, dan tanpa ada sikap sinis dan cueknya lagi.

"Ayo pulang, kau tidak mungkin ingin menginap disini kan?"
Apa? Dia mengajakku pulang? Yang benar saja.
Aku akan dengan senang hati menerima ajakannya.

"Kau benar-benar ingin menginap disini?" tanyanya sekali lagi, karena tak kunjung ku jawab.

"Yang benar saja, ngapain juga harus menginap disini, ayo."

Dan dia langsung berjalan tanpa berkata apapun lagi.

*****

Maaf banget aku baru bisa update cerita ini lagi.

Me And My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang