Timing

240 9 2
                                    

Di acara seminar enterpreneur yang diadakan pihak kampus, Diya dan Rara duduk di tengah-tengah aula.

"Di, kenalkan ini teman KKN ku."

Diya menatap gadis yang dimaksud Rara seraya tersenyum.
"Saya Diya, teman kelas Rara."sapa Diya mengulurkan tangan.
"Saya Diva, dari Fakultas Ekonomi."
"Oh Ekonomi."
Diya melirik pakaian Diva dari ujung jilbab hingga ujung sepatu. Pakaian gadis itu masih belum syar'i. Jilbab pashmina yang melilit leher, kaos pendek dengan manset lengan dipadu celana pensil.
Tiba-tiba Rara menyikut lengan Diya.
"Itu pengurus lama PMK dan BEM, serta pengurus barunya."
"Ini acara apaan sih? Seminar atau ajang pemilihan Pangeran Kampus tahun ini?"
"Ngawur lu!"
"Itu bukannya Hamid?"
Rara mengangguk.

"Cuma dia doang yang aku kenal. Berarti si Hamid jadi Ikhwan Pajangan sekarang? Dari Pengurus Masjid Kampus jadi Ikhwan Pajangan. Yang benar saja. Lihat saja para mahasiswi setengah remaja - Mahasiswa Baru - itu mandangin si Hamid. Besar dah kepalanya si Hamid. Kembang kempis dah hidung para Pangeran Kampus yang dipajang di depan."

"Bukan si Hamid yang dilihat tuh. Sekretaris PMK yang lama. di samping Hamid."

Diya menatap seseorang yang dimaksud Rara. Setelah tujuh detik berlalu, ia meraba nadi seraya melirik layar ponselnya.

"Lebay  banget lu, Di? Pakai ngecek detak jantung segala."

"Gue cuma pengen ngecek. Tensi gue masi stabil apa nggak setelah melihatnya. Ini biasa-biasanya aja kok. berarti gue nggak naksir."

"Lu nggak mau kusebutin namanya, Di?"

"Buat apa? Kenal aja nggak. Kecuali kalau gue naksir. Baru lanjut tanyain nama, alamat dan tanggal lahir. Daftar SNMPTN kale gue."

"Sudahlah, nggak usah ngarep ketinggian. Nggak usah ngomongin naksir-naksiran.  Goreng tongkol aja masih gosong. Memalukan!"

Diya mendelik mendengus kesal.

"Jangan mengungkit masa lalu, Ra. Gue laporin lu ke  komnas HAM. Tau rasa lu."

"Oya, kata teman-teman kampusku, sekretaris PMK yang lama hapal Alqur'an 30 juz. Sedangkan yang lain cuma.menang tajir doang. Tapi semuanya sholeh dan keren. Cakep dah pokoknya."Diva mengalihkan pembicaraan.

"Oh ternyata kau juga diam-diam mengagumi mereka, Va?"tanya Rara.

"Kalau ada kajian kampus, biasanya teman kelasku yang ikut suka membanding-bandingkan mereka. Apalagi kalau lewat di depan perpustakaan."

"Memangnya benaran dia hapal 30 juz?"

"Yang aku dengar sih begitu, Di. Nggak kayak lu yang cuma hapal 5 juz?"

"Aku? Hapal 5 juz? Ngawur lu, Ra! Kak Anan tuh yang rajin menghapal."

"Kalau ke kantin, lu kan paling hapal juz yang mau dipesan.  Juz mangga, juz jeruk, juz nanas, juz apel sama juz alpukat."

Sontak Diya menyentil kening Rara.

"Aw!"teriak Rara meringis sambil menunduk.

Teriakannya sampai mengejutkan beberapa peserta seminar di dekat tempat duduknya.

Diva dan Diya menahan tawa seraya menutup mulut.

"Diya! Awas kau nanti!"geram Rara.
***
Saat acara akan dibuka dengan pembacaan tilawah, Diya kaget dengan bunyi deringan ponselnya. Ia lupa membungkam suara HP itu sebelum acara dimulai. Setelah menekan tombol 'mute' , ia berbisik pada Rara.

"Ra, Pak Dekan menelpon. Bagaimana ini?"

"Angkat saja. Siapa tahu penting."

"Tapi nggak enak sama panitianya. Kayak jadi selebritis gue ntar, Ra."

"Sekali-kali pakai muka badakmu. Untuk kebaikan."

"Dasar!"

"Keluar sana, kubilang!"

Diya mengendap-ngendap, membungkuk sebungkuk-bungkuknya. Ia setengah berlari keluar menuju pintu aula.

Seseorang yang duduk di belakang Rara mencibir.

"Mana ada anak mantan BEM kelakuannya kayak gini. Keluar ditengah acara orang. Tidak sopan!"

"Diya juga nggak mau keluar, Gan. Tapi itu panggilan dekan."sahut Rara membela sahabatnya.

Ganis terdiam dengan wajah sebal.

Di luar, Diya gemetar saat mendengar seruan Pak Dekan.

"Kalian harus ke ruang dekan sekarang juga! Ini penting. Bapak tunggu."

"Tapi, Pak... hallo?! hallo?!"
#bersambung

Menangis Bersama HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang