SEVENTEEN

10.1K 1.7K 352
                                    

STOP TO BE SILENT READER GUYS, DI LAPAK MANAPUN. OKE.

Part ini sama kaya kemarin, 900 word, lumayan lah gak pedek banget, masih ada yang bilang pendek bacanya di eja aja biar panjang 😜

Saya ini tipe yang nulisnya gak suka bertele tele, jadi maklum kalo gak bisa kaya penulis yang lain, yang sanggup nulis 3000 word per part, tolong terima saya apa adanya.

Terimakasih karena sudah menyempatkan diri baca note ini. Happy reading ❤

***

AUDRE terus mengalami mual di pagi hari, kini dia tinggal sendiri di apartement milik Cam, karena kebohongannya dia tidak hanya di benci oleh suami dan Ibu mertuanya, bahkan Ibu kandungnya sendiri juga tidak mau menerima dia.

Hanya Cam yang masih mau menampung sampah seperti dia. “Ini, minum dulu!” perintah Cam sembari memberikan satu gelas teh untuk menghilangkan mualnya yang kini selalu datang setiap pagi.

Thanks.” Ujarnya lemah, dia menginginkan Mike yang melakukan semua ini untuknya.

“Kamu mau apa? biarku belikan.”

Ice Cream vanila. Semalam setok Ice Cream kuhabis.”

“Oke, akan aku belikan setelah kamu makan.” Audre tersenyum tipis menanggapi janji dari Cam, kini hanya Cam yang begitu memperhatikanya. “Tanganmu sudah sembuh?” tanya Cam seraya mengecek lengan Audre yang tadinya melepuh seperti luka bakar.

“Sudah lebih baik, ah iya bagaimana asistenmu sudah masuk dari cutinya?” tanya Audre mengalihkan pembicaraan, dia tidak ingin mengingat hari menyakitkan itu. Tangannya yang tersiram kopi panas serta pengusiran Mike.

“Besok dia sudah masuk, kamu tidak perlu repot membantuku lagi.” Audre hanya mengangguk pelan. Lalu kembali terpusat pada sarapan yang Cam bawakan untuknya.

Cam hanya bisa menghela napas lelah, kasihan melihat wanita ini begitu redup tanpa cahaya. Cahaya kebahagiaan dan tawa yang sering Audre tunjukan dulu, kini wanita itu tidak lagi secerah bulan purnama, dia begitu redup seperti badai.

****

Di pagi hari yang sepi, sebuah pesan masuk membuat senyum Audre mengembang begitu lebar. Saking senangnya Audre bahkan langsung melesat menuju kamarnya untuk mengganti pakaian.

Mike mengirim pesan tadi pria itu ingin bertemu katanya, Audre tentu tidak akan menyianyiakan waktu lagi. Dia akan segera mengatakan kabar kehamilannya pada Mike.

Sesampainya di Coffee shop yang Mike pinta, wanita itu mengambil duduk di ujuk ruangan, kedua tangannya saling memilin gugup. Karena terlalu senang, Audre bahkan tidak menyadari jam yang masih cukup pagi.

Mike memintanya datang pukul 12 siang, sedangkan dia sudah di tempat pukul 10 pagi, Audre sampai tersenyum sendiri menyadarinya.

Sembari menunggu kedatangan sang suami, Audre memesan satu gelas jus jeruk dan sepotong matcha cheese cake, kebetulan dia belum sempat sarapan.

Sebuah panggilan menghentikan suapan cakenya. Cam Rohan, nama yang tertera di ponselnya. Pria itu selain baik memberikannya tumpangan, dia juga perhatian selalu menyempatkan diri untuk menghubunginya dan menanyakan apa yang sedang ia lakukan.

“Hallo Cam Rohan yang tampan.” Sapanya begitu riang, membuat pria yang menelponnya itu menyerngitkan dahi karena heran.

Woah… ada apa ini, kepalamu tertimpa apa pagi ini, hah?” ledek pria itu dari sebrang.

“Tertimpa cinta.” Mendengar jawaban Audre membuat pria itu mendengus geli.

Sudah sarapan?”

“Sedang.”

Sedang? Kamu baru sarapan? Sarapan apa, jangan bilang kamu hanya minum susu.” Selalu seperti ini, pria itu akan bertanya tanpa bernapas lebih dulu.

“Aku sedang makan sepotong cake dengan jus jeruk.”

Di mana?

Coffee shop dekat kantormu.”

Dengan?”

“Kak Mike, tapi dia belum datang. Sudah ya, aku sedang makan.”

Udre…” Cam menghela napas pelan, jantungnya berdegup begitu kencang, dia takut dengan apa yang akan Mike lakukan pada Audre.

“Hem?”

Telpon aku jika terjadi sesuatu, kamu taukan aku akan selalu ada untukmu.” Mendengar nada khawatir dari Cam membuat wanita itu tersenyum tipis.

“Iya.”

Tepat pukul 12 siang, Mike terlihat berjalan masuk dengan begitu tampan, walau wajah pria itu terlihat sedikit berantakan karena bulu-bulu halus di sekitar rahangnya, tapi ketampanannya tetap begitu menyita perhatian.

“Hai, aku sudah la…” belum selesai Audre bicara, pria itu sudah lebih dulu meletakan lembaran kertas di hadapan wanita itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Hai, aku sudah la…” belum selesai Audre bicara, pria itu sudah lebih dulu meletakan lembaran kertas di hadapan wanita itu.

“Aku sudah mengurus surat cerai, tanda tangan.” Ujarnya begitu tidak berperasaan, bahkan pria itu tidak mau repot berbasa-basi untuk hanya sekedar menanyakan kabarnya, jangakan menanyakan kabar mendengar suara wanita di hadapannya itu saja rasanya Mike tidak sudi.

Audre membeku di tempatnya, senyum yang sedari tadi tercetak di wajahnya tidak lagi terlihat, kedua tangannya gemetar karena rasa sakit yang menyengat dadanya begitu tiba-tiba.

“Aku hamil kak, sudah sembilan minggu.” Beritahu wanita itu dengan suara yang begitu pelan berharap Mike akan percaya dan membatalkan surat gugatan cerai yang pria itu bawa ini, namun Mike malah tertawa mengejek mendengarnya.

“Berhenti bergurau, cepat tanda tangan.” Pria itu sedang malas mendengar kebohongan yang sama dari Audre, rasanya wanita ini benar-benar sudah tidak memiliki urat malu.

“Aku serius, aku mengandung anak kita kak, anakmu.” Mike menggeleng pelan, tidak ada hal yang bisa dia percaya dari wanita itu.

“Kau mengira aku akan mempercayainya? Tidak akan, kalaupun kau hamil itu pasti bukan anakku, jadi berhenti berbohong aku tidak mungkin kembali mempercayaimu, Audre.” Mendengar ketidak percayaan Mike, tanpa sadar Audre sudah menangis di hadapan pria itu, Mike tidak bisa mempercayainya lagi. Tapi janin yang sedang dia kandung benar-benar anak Mike.

“Tanda tangan!” perintah Mike begitu dingin, dia bahkan enggan melihat wajah Audre yang begitu pucat. Ingin rasanya memeluk tubuh itu, tapi Mike tidak bisa, dia tidak bisa memaafkan Audre, kebohongan yang Audre lakukan padanya benar-benar membuatnya sakit.

Dengan isakan yang tertahan Audre menandatangani surat gugatan cerai itu, beginilah akhirnya. Mereka akan tetap berpisah, perpisahan ini terjadi karena kebodohannya.

Setelah mendapatkan tanda tangan yang ia inginkan, Mike pergi begitu saja meninggalkan Audre yang menangis pilu di sana, meninggalkan wanita itu tanpa mencoba untuk menenangkannya.

“Setidaknya, akui dia sebagai anakmu Kak.” Pintanya begitu lirih tapi masih bisa Mike dengar.

“Melihatnya saja bahkan aku tidak sudi.”
Setelah kepergian Mike, Audre berteriak begitu kencang, dia tidak lagi perduli dengan apa yang orang pikirkan, tangisnya bahkan  membuat pelanggan yang lain menoleh, menjadikannya pusat perhatian.

Kenapa rasanya begitu menyakitkan seperti ini, kenapa hanya menginginkan balasan dalam cinta bisa begitu menyakitkan seperti ini.

****

TBC

DIM (Mencintai Sendiri) #3 (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang