EIGHTEEN.

10.1K 1.8K 293
                                    

VOTE DAN KOMENNYA.

****

Dering ponsel terus menggema dalam kamar yang gelap gulita, Audre bahkan tidak sanggup membuka matanya. Perceraiannya dengan Mike sudah di depan mata, tidak ada lagi yang bisa ia pertahankan dari pernikahan ini. Semua akan berakhir, kehancurannya benar-benar datang.

“Audre…”

Tok…tok…tok

“Udre, hei kenapa?” tanya Cam yang kini melangkah mendekat, pria itu baru saja pulang dari kantor dan menyempatkan diri untuk melihat keadaan Audre, dia cemas karena wanita ini tidak kunjung mengangkat telpon darinya.

“Udre,” panggilnya lagi, tapi tetap kebisuan yang Cam dapat, dia sadar pasti ada hal yang tidak enak terjadi tadi saat Audre bertemu dengan si brengsek Mike.

“Audre.” Suara itu, mendengar suara lain selain milik Cam, wanita itu perlahan menoleh. Tangisnya langsung pecah melihat sang Kakak datang dengan senyum yang begitu tenang.

Arcel, dan Alvin datang, dengan kepiluan di hatinya. Mereka kira, sang Adik baik-baik saja, mereka kira pernikahan itu adalah pilihan yang terbaik. Namun nyatanya, hanya ada luka yang adiknya itu pikul.

Melihat kedua Kakaknya itu merentangkan tangan Audre dengan segera berlari kecil lalu memeluknya. Tangis Audre semakin menyayat hati kedua pria itu, dengan erat di rengkuhnya tubuh sang adik, Alvin bahkan memberikan kecupan sayang di puncak kepala adiknya itu.

Kalau dibilang kecewa, ya mereka sangat kecewa. Maka dari itu Arcel dan Alvin memilih waktu yang tepat untuk bertemu adiknya ini, menunggu seluruh emosi yang ada sedikit mereda, hingga kemarah mereka tidak akan menambahkan beban Audre.

Terlebih Cam mengatakan kalau adiknya ini benar-benar sedang mengandung. “Di-a… membuangku Kak, jangan buang aku lagi… ak-aku mohon.” Pinta wanita itu begitu lirih dalam tangis, tidak satupun seorang Kakak yang ingin adiknya tersakiti.

Termasuk mereka, cara Audre memang salah, tapi rasanya melihat adiknya ini begitu hancur seperti saat ini membuat mereka tidak tega bahkan rasanya sekujur tubuh mereka ikut berdenyut begitu menyakitkan.

“Dia… menceraikanku… dia tidak menginginkan anak ini… dia… membenciku Kak… Kak Mike membenciku.” Kedua mata Arcel terpejam erat mendengar suara lirih sang Adik. Mike silan itu benar-benar menghancurkan adiknya.

“Audre, dengarkan aku,” Alvin merangkum wajah penuh air mata adiknya dengan kedua tangannya yang terasa begitu dingin karena emosi dan rasa sakit. “jangan pikirkan pria sialan itu lagi, cukup jaga bayimu, besarkan dia bersama kami.” Audre mengangguk pelan mendengar ucapan Alvin. Dia pasti menjaga anaknya ini, anaknya harus terus tumbuh.

“Sudah makan?” kali ini Cam yang bertanya, gelengan pelan dari Audre membuat ketiga pria itu serentak bertolak pinggang dengan wajah kesal.

“Kamu sedang mengandung, dan sek…”

“Iya, ayo makan.” Potong Audre pelan, sudah cukup dia mendengar ocehan Cam setiap hari, Audre sedang tidak ingin mendengar ceramahnya.

****

Aceline tidak bisa menahan air matanya mendengar cerita dari Arcel, ya kedua putranya itu sudah menemui Audre. Aceline menyesal sudah memarahi putrinya itu, karena Audre memang salah.

Mom ingin mengunjunginya, dia di apartement Cam?”

“Iya, tapi Mom aku mohon jangan marahi Audre, dia sudah banyak menangis.” Aceline mengangguk pelan, seraya mengelus lembut sebingkai foto Audre yang memang selalu terpajang di meja ruang tamunya, sejak kejadian pengusiran Audre dia selalu mendekap erat foto putrinya itu.

Putrinya sudah besar, dan dia hanya bisa meratapi kebohongan sang putri, dia hanya bisa menyesali kelakuan putrinya. Walau Audre berbohong karena mencintai Mike, tapi tetap saja. Kebohongan tetap sebuah kebohongan.

“Bagaimana keadaannya?”

Mom lihat sendiri saja, aku pulang ya.”
Setelah kepergian Arcel, dia kembali menangis. Perasaan bersalah dan pikirannya tentang kondisi Audre memperburuk suasana hatinya.

Arvin yang baru saja pulang dari kantor menghela napas pelan melihat istrinya itu kembali menangis. Arvin berjalan pelan menghampiri Aceline, lalu dia ikut duduk di sisi sang istri.

“Kenapa lagi?” tanya Arvin pelan seraya memberikan kecupan sayang di kepala sang istri.

“Aku rindu putriku, ayo kita ke Audre, aku merindukannya sampai rasanya ingin mati.” Rengeknya, Arvin mengangguk menyanggupi. Ya dia juga merindukan putrinya itu.

“Aku ganti baju dulu.”

***

KEDUA tangan Audre saling memilin karena gugup, Ibu dan ayahnya datang, setelah kedatangan kedua kakaknya kemarin sekarang giliran kedua orang tuanya.

Mom,” panggilnya lirih, tanpa pikir panjang Aceline menerobos masuk ke kamar itu lalu memeluk erat tubuh kurus putrinya, mereka menangis bersama.
Aceline dan Arvin yakin kalau penderitaan ini pasti akan cepat berakhir. “Maafin Udre Mom, Udre salah… Ud…”

Mom yang salah sayang, Mom yang salah.” Lirihnya dalam tangis, kalimat sang Ibu membuat tangis Audre semakin kencang.
Dia yang salah, bukan ibunya. Kalau saja pikirannya terbuka lebih awal, semua ini tidak akan terjadi. “Kenapa kurus sekali putriku ini, hem?” tanya Aceline seraya menatap wajah tirus sang putri.

“Udre… tidak nafsu makan Mom. Mual.”

“Gak papa, pelan-pelan makannya ya, supaya bayi kamu juga dapat nutrisi, jangan sampai tidak makan.” Kalimat Aceline diiringi dengan tangis, tangis penyesalan tentu saja. Arcel sudah mengatakan tentang kehamilan Audre, tapi tetap saja rasa sesal tidak akan bisa di hilangkan, karena kejadian itu sudah berlalu dan terlanjur terjadi.

Yang bisa Aceline lakukan saat ini hanya kembali mendukung putrinya untuk tetap kuat dengan semua kejadian yang mengiringi.

“Kita pulang ya, Daddy akan belikan apapun yang kamu inginkan.” Audre mengangguk pelan mendengar kalimat sang Ayah.

Dia juga merasa tidak enak jika terus membuat Cam repot.

TBC.

DIM (Mencintai Sendiri) #3 (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang