BAB I: THE SECOND

224 36 9
                                    

BAB I: The Secon

Dia kembali menahan diri, membangun sebuah kepulauan sendiri dalam kepala. Dalam salah satu bilik tim perawat, duduk di tepi ranjang dengan setangkai mawar, dengan jam, dengan malam, dan dengan bayang-bayang penghuni kamar seberang yang menjadi ombak hatinya. Percikan sosok itu menyegarkan.

Si gadis mengikatkan pandangan kosongnya pada jarum detik yang terjebak dalam gerak melingkar dalam jam. Dia berfilosofi bahwa detik mungil itu sedang mengejar jarum jam dan menit, mencoba berjalan seiring, tapi nyatanya detik selalu terlalu cepat hingga mereka lebih sering terlewat.

Ditepuknya permukaan jam itu seperti menepuk punggung tangan seorang wanita tua, "Kau harus berhenti jika ingin tinggal bersama mereka dan ... itu hanya terjadi saat kalian semua mati." Min Sun Hi memikirkan hal tak penting lagi. Sisi melankolis dalam dirinya membesar lalu menutupi semua hal yang wajar.

Jendela bulat yang terpasang tinggi di dinding kamar mengundang atensinya. Ada kilat dan angin kencang serta hujan yang terbingkai. Dia amati, kemudian hatinya bagai terlunta oleh badai di luar. Kapal berayun mengikuti gerak ombak, begitu pula kamarnya -lama-lama memusingkan.

Dia beranjak dari ranjang; berjalan menuju pintu. Tangannya terangkat nyaris menarik knop jika saja pintu itu tak lebih dulu dibuka dari luar. Seseorang berdiri dengan wajah kacau -dia Hwang Mia, Sun Hi hanya terpaku menonton ekspresinya.

"Pasien nomor 9 mengamuk! Kami tak bisa mengatasinya, tolonglah!" Mia berteriak tak jauh dari wajah gadis itu. Sun Hi kaget dan linglung untuk sejenak. Dengan terhuyung dia berlari ke arah lemari di salah satu sisi kamar, berusaha mencari kotak berisi sepaket obat penenang.

Gerakannya terpotong, seperca ingatan membuat dia terpaku idiot, "Pasien nomor 9?" gumamnya agak keras. Samar terdengar Mia di ambang pintu berkata 'Ya!'. Sun Hi menolehkan kepala ke arahnya, "Kim Tae Hyung?"

"Binggo! Cepatlah, kau tau dia yang terparah di antara semuanya!" Si gadis Hwang mencoba menambahkan keterangan yang membuat hatinya menghangat perlahan hingga pada detik ketiga menjadi panas, tapi Sun Hi tak punya banyak waktu untuk tersinggung sekarang.

Sebuah kotak ditarik kasar dari dalam lemari. Dipaksakan kakinya untuk bangkit dan berlari cepat. Tubuhnya agak menghantam si perawat yang masih saja betah menanam diri di pintu. Sun Hi mendesis, rasa sakit pecah di bahu yang bersinggungan dengan bahu Mia, tapi itu bukan hal yang harus dipedulikan. Yang harus dia lakukan sekarang adalah berlari padanya, dia yang di sana.

Langkah si perawat Min menggaung di sepanjang koridor besi bercat putih. Lampu-lampu neon di atas sana menimbulkan bayangan berhawa suram. Bau obat mengkatalis cairan dalam perut. Sun Hi masih berlari untuk dia yang paling sulit untuk tidak dihiraukan. Tubuh itu berbelok kasar mengikuti jalur koridor ke sayap kanan, namun sepatunya yang licin membuat dia terpeleset jatuh menghantam lantai.

Botol-botol obat dan jarum menggelinding di lantai, semua melarikan diri dari dalam kotak. Dengan gemetar jemarinya menggapai botol-botol itu, tapi gerakan ombak laut sialan membuat semua jadi sulit -mereka semua bergerak lebih jauh.

Belum selesai, lampu berubah menjadi merah dengan cahaya berkedip. Suara alarm berdering panjang merobek udara, pertanda salah satu pasien melarikan diri, dan alarm itu menyuruh semua bersiaga, terutama para perawat. Petugas keamanan bisa saja datang terlambat menangkap dia, dan tim medis harus menghadapinya sendiri.

Dia masih harus mencari Tae Hyung, tapi akan buruk jika tak mencoba menyelamatkan diri. Kondisi ini merugikan. Sun Hi mencoba bangkit, meninggalkan obat yang tadinya diperjuangkan. Pergelangan kakinya sulit bergerak, positif terkilir saat jatuh.

Dengan sebelah tangan bertumpu pada dinding sebelah kiri, dia berusaha pergi secepat yang didapat. Namun kerah baju gadis itu tertarik ke belakang dan dalam sekejap tubuhnya terbanting pada dinding sebelah kanan. Perut yang terperenyak, dan punggungnya sangat mustahil untuk baik-baik saja.

Pasien liar mendapatkannya lebih dulu. Dia mengangkat wajah, mencoba menganalisa keadaan lebih banyak. Dalam keremangan dan denging alarm, Sun Hi dapati pasien itu sudah duduk di lantai, tertunduk menggigiti jarinya sendiri.

"Tae Hyung!!" Jeritan yang pecah. Dia merangkak mencoba menggapai sosok itu. Sun Hi menarik tangan Tae Hyung untuk menjauh dari mulutnya. "Hentikan! Kubilang hentikan Kim Tae Hyung! Jangan gigit tanganmu!"

Tangan kiri Sun Hi masih mencoba menyelamatkan jemari si pria yang sudah berdarah, dan tangan kanannya bergerak memukul hingga mendorong kepala Tae Hyung untuk melepas gigitan tersebut. Dia jadi takut sendiri.

Tangan Tae Hyung mulai dapat dijauhkan, namun dia masih berusaha menggigit lagi. Tubuh Sun Hi menghambur, meringkusnya dalam sebuah pelukan. Tae Hyung masih bergerak dalam dekapannya, namun dia menahan lagi, "Jangan sakiti dirimu, Tae Hyung. Kumohon...."

Dan kemudian dia benar-benar menuruti permintaannya. Kim Tae Hyung absen dari menyakiti dirinya sendiri, namun beralih menggigit bahu Sun Hi yang tepat di depan mulutnya. Gadis itu ditarik pada sebuah pelukan yang keras.

Min Sun Hi diam. Secara tiba-tiba merasa bahagia untuk apa yang tidak diinginkan. Dia adalah sungai yang mendamba samudera, dan kini samudera itu memeluknya. Tenggelam, semakin jauh hingga dia tak lagi menemukan dirinya sendiri. Napas Sun Hi terhela panjang dan berat di tengkuk prianya, air mata terasa begitu menggoda untuk keluar, "Tae Hyung-ah, aku merindukanmu. Sungguh...."

Gigitan Tae Hyung meradang dan pelukannya mengerat tak lagi menyisihkan jarak. Gadis yang ia lukai nyatanya diam tak keberatan. Darah mulai meresap pada permukaan baju Sun Hi yang nyaris konyak.

Tae Hyung melonjak mundur ketakutan hingga punggung pria itu menghantam dinding koridor di belakangnya. Napasnya terdengar pendek-pendek, diseka lidahnya yang terkena darah dengan lengan baju. Sesekali terbatuk pelan. Matanya menyipit, sosok di hadapannya tak sedikit pun terlihat jelas. Mata pasien itu memburam, rusak secara bertambah-tambah.

Tae Hyung menjulurkan jarinya, mencoba menggapai seseorang di hadapannya. Semua bertahan sekejap, dia tarik kembali tangannya, didekap erat di dada. "Ma-ma-maaf...." Dia tidak punya perbedaan dengan seorang anak berkebutuhan khusus. Semua terjadi sesuai dunia yang dia buat, semua seakan besar dan menakutkan.

"Ke-kemarilah Tae Hyung, kemari." Sun Hi berusaha sangat keras untuk berbicara. Menangis telah membuat kerongkongannya seperti terisi potongan kaca. Tae Hyung merangkak gugup, mencoba mendekat. Sebelah tangannya terangkat mencoba mencapai Sun Hi.

Sun Hi menangis lagi, cintanya merangkak seperti binatang. Dia tatap lekat, Kim Tae Hyung miliknya berbibir pucat, berpipi tirus, dan punya cekungan hitam yang dalam disekitar mata. Hampir saja pria itu jadi manusia yang tak dikenal.

Jemari kering Tae Hyung terangkat tak bergerak beberapa puluh centi di depan wajahnya. Sun Hi berusaha menarik kedua sudut bibir -tersenyum, kemudian mengangkat jemarinya, menyambut ujung-ujung jemari Tae Hyung.

Tepi depan jari tengah mereka bersentuhan tepat sebelum akhirnya tubuh Tae Hyung terbanting menjauh karena tendangan seorang petugas keamanan yang baru datang. Pasein nomor 9 menggelepar di lantai, perawat yang mendapat serangan darinya memejamkan mata dengan jemari yang betah terangkat di udara. Hampa membunuh saraf.

"Perawat Min, kau baik-baik saja?" Petugas Jung Ho Seok mengguncang bahunya. Guncangan yang malah membuat Sun Hi ambruk menyamping di atas lantai.

Min Sun Hi membuka mata dengan keadaan semua hal terasa buram, suara denging memenuhi telinga. Kim Tae Hyung meringkuk ke arahnya, menggigil kesakitan. Gadis itu terserang demam berat secara konstan, dia ingin memeluk lagi hingga kemudian mengambil semua rasa sakit pria di depannya, tapi tak pernah ada jalan nyata untuk itu.

"Akh!" Sun Hi mengerang, jarinya terkepal, dengan kuat dia hantamkan pada lantai, "Aku tak pernah mengijinkanmu kesakitan Kim Tae Hyung! Aku tak mengijinkanmu sakit!"

BITTER SALT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang