Dari Teman Lamamu

8 0 0
                                    

Pukul 14.08 WIB. Jam seperti ini biasanya aku masih mencari makan bertarif murah. Membolang dari satu warung ke warung lainnya. Tapi tidak dengan sekarang. Sepertinya aku tak harus lagi susah payah mencari makan, karena hidangan lezat pun akan kudapat tanpa membayarnya. Ya, aku kembali menginjakkan kakiku di rumah, tempat dimana jabang bayi yang sudah besar ini dirawat. Dan akhirnya, libur kuliah yang cukup panjang menyempatkanku untuk pulang setelah dua tahun lamanya.

Suasana rumah masih seperti dua tahun lalu. Saat aku baru pertama kali untuk merantau kuliah. Foto-foto terpampang rapi, dinding putih yang retak di belakang rumah, dan sumur tua yang baru diperbaiki katrolnya. Tambahkan bau semur ikan patin khas racikan tangan ibu yang sudah tercium. Aku rapikan posisi dudukku untuk menghabiskan santapan di hadapan. Juga ibu yang ikut duduk mencuit gurauannya yang menyinggung kehidupan rumitku sebagai mahasiswa.

Sampai tulang-tulang ikan mulai lebih banyak mengisi piring ketimbang dagingnya, ibu masih betah mengobrol dengan anaknya ini. Ayah pun terkadang menimpali obrolan kami dengan menanyakan perihal yang mungkin masih perlu ayah dan ibu bantu. Rasanya sangat senang dan rindu sekali ada yang begitu memperhatikanku. Namun, sepertinya yang merindukanku tidak hanya keluargaku, tapi siapapun bahkan apapun yang akan terjadi di kampung halamanku.

Kumandang azan sayup-sayup terdengar. Burung-burung berkicau berebut mangsa mereka. Belum purna aku beranjak mencucikan piringku, ibu sudah lebih cepat menyelaku.

“Bintang, ibu teringat. Seminggu yang lalu, petang-petang ada seorang laki-laki mengaku temanmu datang ke rumah. Tubuhnya kecil tapi ia punya tompel besar di dahi kanannya.”

“Oh itu Roy bu, dia teman sd-ku dulu. Kenapa dia datang ke rumah?”

“Dia mencarimu. Katanya mau mengajakmu, em… sesuatu, semacam kumpul-kumpul dan makan-makan bersama teman.” Kata ibu sambal menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Reuni bu?”

“Ah… iya, reuni. Temanmu mengajak reuni tepat hari ini, setelah sholat asar. Di restaurant dekat jembatan, yang ada tanduk kerbau besar di atapnya kata dia. Ingat juga akhirnya ibu.”

“Ibu izinkan aku ikut tidak?”

“Pasti Bintang.”

Tak terasa delapan tahun sudah sejak aku berpisah dari mereka. Melintasi waktu enam taun bersama yang tumbuh dari masih sangat bocah dengan tingkat kegaduhan tinggi, sampai bocah yang tingkat kegaduhannya berkurang sedikit. Yang bila diceritakan sepertinya bisa tak berujung dengan waktu yang terbilang panjang. Angan-angan noistalgiapun memaksaku untuk kembali membuka lembar-lembar foto kami dalam buku angakatan sd-ku.

Satu dua lembaran terbuka, tiga empatnya aku terhenti melihat stick note tertempel disebuah foto. Belum lunas hutang Rp. 40.000 padanya, hanya itu yang tertulis. Aku masih memicingkan mataku dalam-dalam. Mencerna foto lugu yang tak asing dengan tompel besar didahi kanannya, Roy. Delapan tahun aku masih memiliki hutang padanya. Hitungan yang lumayan untuk hanya mendekamkan hutang itu, mengerak menjadi tanggungan yang harus kulunasi. Namun, itu hanyalah 4.000. Dengan kehidupan aku dan Roy sekarang yang mungkin mempunyai penghasilan sendiri lebih dari 4.000 perbulannya, rasanya tidak terlalu penting untuk melunasinya. Terlebih aku dan Roy adalah teman dekat dari mula kelas satu sekolah dasar hingga purna enam sekolah dasar. Dan yang pasti dia sudah melupakannya.

“Bintang, siapa itu yang kamu hutangi?” Kata ibu yang sudah lengkap bermukena melototi stick note yang kupegang.

“Roy bu. Temanku yang seminggu lalu datang ke rumah. Tapi tak usah terlalu dipikirkan bu, paling-paling dia juga sudah melupakannya.”

“Lunasi hutangmu Bintang! Ibu tak mau punya anak yang jadi pencuri!” Bentakan ibu berhasil mengagetkanku.

“Bintang kan hanya pinjam bu, bukan mencuri.”

“Dengarkan ibu Bintang! Dari ta’lim yang ibu ikuti kemarin, bahwa siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak melunasinya, maka dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan sebagai pencuri. Itu hadits shohih Bintang. Bukan gurauan. Cepat kamu lunasi hutangmu! Atau perlu ibu bantu lunasi?”

“Tidak perlu bu. Nanti aku bayar saat reuni.”

Aku telah sampai di restaurant yang ibu tunjukan. Dekat jembatan dengan tanduk kerbau besar di atapnya. Ruangan itu cerah, bernuansa ramah lingkungan serta berkesan menyenangkan. Bunga-bunga dan tanaman rambat menjuntai rapi. Juga lukisan-lukisan kerbau menggemaskan di dindingnya. Tak perlu menunggu jarum detik bergerak, aku langsung disambut hangat teman-teman lamaku. Hai Bintang, Wa… ada Bintang, dan ungkapan-ungkapan rindu terdalam teman lama lainnya mulai terdengar riuh berkejaran. Dengan rasa bahagia yang tak tertampung, kami membuat ruangan itu penuh kebisingan.
Cerita, canda, dan tawa tertumpah ruah saat reuni. Banyak cerita untuk sekedar mengenang kebersamaan kami sejak delapan sampai tiga belas tahun silam. Yang rentetan kisahnya pun tak pernah berhenti menggelitik perut kami. Satu cerita selasai, duanya menimpal berebutan.

Bahagia sekali yang aku rasakan. Bercerita untuk sekedar mengenang kebersamaan kami yang penuh gelak tawa. Tapi, sebahagianya aku kali ini tidak membuatku puas sepenuhnya. Karena kebahagian itu masih terganggu hutangku yang belum terlunaskan. Bukan maksud enggan membayarnya sekarang, namun memang Roy yang tak hadir sekarang. Dan itu cukup menyulut besar kepanikanku, mengingat ada hutang yang harus aku bayar sebelum cap pencuri semakin menghantuiku. Dan pencuri tetaplah pencuri. Ia dihukum potong tangan bahkan lebih baginya, di dunia dan akhirat.

Acara ditutup dengan haru, masing-masing kembali berpisah dan menuju tujuannya. Secepatnya kutancapkan motor menuju rumah Roy saat kami masih sd dulu. Membisingkan suara keras yang berbuah sia-sia, karena rumah Roy kini telah lenyap menjadi rangka-rangka pabrik besar yang berkawalkan empat anjing besar yang galak. Rumah Roy sudah pindah bahkan satu kompleknya pun ikut pindah entah kemana perginya.

Malam itu, purnama masih tersipu malu menutupi dirinya dengan awan tebal. Padahal beratus-ratus bintang berpijar menemaninya. Persis seperti diriku. Yang rasanya malu karena hutangku yang belum terlunaskan, padahal aku baru saja berbahagia dengan teman-teman sd-ku. Namun, sepertinya aku akan lebih malu jika aku masih akan menunda shalat isya’ yang telah terlewati satu jam lamanya.

Tiap katanya adalah do’a suci pada-Nya. Tiap gerakannya adalah untaian seni abadi yang indah teruntuk-Nya. Sejak dua tangan mengangkat pasrah seraya bertakbir, sampai dua tengokan rela seraya bersalam menutupinya. Kulakukan semuanya penuh kesesalan karena lengah akannya dan akan hutang yang menanggung. Dan aku masih harus mencari dimana Roy bertinggal sekarang.

Lelah. Aku benar-benar lelah. Seperti seorang yang tak henti dikejar anjing rabies, aku lebih dari perumpaan itu. Ia memang terlihat enteng, namun berhati-hatilah bila sudah berurusan dengannya. Karena lengah sedikit padanya akan membuatmu tetap merasa gelisah, dan menderita walaupun kamu sedang sangat bahagia. Apabila ia tidak dilunasi, apalagi diniati tidak dilunasi. Ialah hutang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 10, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pilih AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang