Where I End, and You Begin

16 0 0
                                    

Rasanya aneh.

Menghadiri pemakamanmu sendiri ketika kamu bahkan belum mati.

Rasanya mengerikan.

Melihat orang-orang yang menangisi kepergianmu walaupun sebenarnya kamu ada di sana tersenyum dan menenangkan mereka.

Dan semua ini terasa sangat nyata.

***

Semua ini bermula dari beberapa bulan yang lalu, ketika aku mulai memasuki tahun kedua sekolah menengah atas. Sekolahku biasa saja, menurutku. Tapi, mungkin bagi orang lain tidak. Karena sekolah ini adalah salah satu sekolah yang memiliki reputasi buruk di kota ini. Aku, jujur saja, tidak merasa demikian.

Hari itu semua berjalan seperti biasa. Sekolahku masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, yang berbeda hanya ada beberapa pekerja yang memperbarui cat dinding sekolah dengan warna kuning lemon.

Aku menyapa teman-teman yang kukenal, mencari kelasku di papan pengumuman, dan merangkul teman dekatku seperti biasa.

Aku duduk bersebelahan dengan teman dekatku dan membicarakan banyak hal. Tentang liburan, tentang wajah-wajah adik kelas baru di sekolah, dan sebagainya. Semua terasa sangat normal.

Sampai dia datang.

Semua teman-teman sekelasku terdiam saat melihatnya. Suara lembutnya yang mengucapkan "permisi" dengan sopan seperti menyihir kami semua untuk menatapnya. Beberapa teman perempuanku terpesona melihatnya.

Aku harus mendongak saat melihat wajahnya karena perbedaan tinggi badan kami. Dia tersenyum cerah saat memasuki kelas dan menyapa orang-orang yang berdiri di dekatnya. Matanya bersinar ramah.

Kesan pertamaku tentangnya adalah betapa irinya aku dengan dia. Dia memiliki rambut hitam ikal yang kuinginkan. Dia tinggi, dan mungkin hanya orang iri yang mengatakan kalau wajahnya itu jelek.

Awalnya aku sama sekali tidak ingin berurusan dengannya. Dia selalu ramah dan baik kepada semua orang. Tidak lama, hampir semua anak menyukainya. Bahkan anak-anak yang mencibir kepadanya. Dia terlalu berbeda denganku. Bagaikan berasal dari dunia yang lain. Sempurna. 

Sebisa mungkin aku berusaha tidak dekat-dekat dengannya karna alasan itu. Walaupun teman dekatku menganggapku aneh karna merasa begitu, aku masih tidak bisa menghilangkan perasaan itu.

Kemudian suatu hari karna sebuah tugas yang melibatkan aku dan dia dalam satu kelompok, aku dan dia pun berubah menjadi kami. Aku juga tidak tahu kenapa. Namun, aku akhirnya paham kenapa semua orang menyukainya.

Dia teman yang baik. Dia pendengar yang baik. Pemberi nasehat yang baik. Candaannya selalu membuatku tertawa. Nyaman diajak berbicara.

Begitu menurutku saat itu. Dia menyenangkan, pintar, tidak pernah kehabisan bahan obrolan, suka tersenyum, berteman dengan siapa saja, dan tidak pernah sekalipun dia mengeluh saat dimintai tolong.

Seharusnya saat itu aku curiga.

Dia terlalu sempurna. Tapi saat itu aku terlalu bangga menjadi seseorang yang bisa menyebutnya 'sahabat' sehingga tidak menyadari kenyataan itu. Beberapa bulan berlalu masih dengan keadaan yang sama. Saat itu rasanya sangat membahagiakan.

Sampai suatu hari dia bertanya padaku,

"Hei, Rav... bagaimana pendapatmu jika kamu bisa hidup selamanya?".

Aku menatapnya aneh dan tertawa kecil, "Apa? Sudah jelas tidak mungkin kan?".

Dia ikut tertawa. Seharusnya aku sadar saat itu, ...

NOWHERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang