Introduction

5 0 0
                                    

Aku berdiri dengan gugup di sebelah seorang laki-laki berambut ungu menyala yang menatapku penasaran.

Walaupun laki-laki itu lebih pendek daripada diriku, tatapannya benar-benar mengerikan. Bukan berarti aku terintimidasi atau apa. Tapi, dia menatapku seolah-olah aku adalah seekor katak yang akan dimutilasi saat praktikum biologi.

Seperti dia bernafsu untuk membelah bagian-bagian tubuhku untuk melihat apakah aku ini makhluk aneh atau bukan.

"Reisse, jangan menatapnya berlebihan seperti itu"celetuk seorang gadis yang bersender di seberang ruangan. Aku mengangguk gugup, menyetujui perkataannya.

Laki-laki yang dipanggil 'Reisse' itu menoleh sebentar, lalu kembali menatapku.

Aku meringis.

Ini semua terjadi karena Seraphina. Setelah turun dari mobil, dia membawaku masuk ke dalam bangunan itu. Pada ruangan kedua, dia mengajakku masuk ke dalam sebuah kamar dan menutup pintu. Awalnya aku berpikir yang tidak-tidak (tampar saja aku), tapi setelah itu dia menarik sebuah katrol rahasia yang membuka jalan ke bawah tanah. Dan membuatku malu sendiri karena berpikir yang tidak-tidak.

Setelah itu, dengan santainya dia menendang satu-satunya pintu di bawah tanah itu sambil berteriak "aku pulang" yang menyebabkan semua orang yang berada disana serentak menoleh ke arah kami. Sebenarnya, orang-orang di dalam ruangan itu tidak banyak. Kira-kira hanya 4-5 orang dengan kami disini. Tapi, untuk diriku yang saat ini sedang dalam 'krisis-kepercayaan-diri-karena-tubuhku-berganti', aku merasa sangat malu.

Dia berjinjit ke telingaku, walau tidak sampai, dan berbisik "aku lapor dulu ya, kau tunggu saja disini".

Dan dia meninggalkanku.

Ya. Aku tahu. Sangat sangat bertanggung jawab, bukan?

"Reisse, ayolah... "Gadis tadi menarik telinga 'Reisse' agar menjauh dariku. Aku tersenyum kikuk, berterima kasih padanya. Dia hanya mengangguk pelan.

Aku menoleh kesana kemari dengan gugup. Kenapa Seraphina lama sekali?

Ruangan itu lumayan luas. Ada bar, meja billiard, papan dart, dan meja-meja bundar. Seperti bekas kelab malam. Tapi, pencahayaan disini sangat kurang sekali. Bahkan aku tidak yakin apa warna rambut gadis tadi. Selain masalah pencahayaan, menurutku semuanya bersih dan rapi.

Sepertinya 'ketua' ini benar-benar orang rapi.

Gedubrak...!

"Ketua!!! Hati-hati kan kubilang!!".

Aku melongo mendengar suara 'orang' terjatuh dan teriakan Seraphina.

"Ah.. maaf, maaf.. siapa sih yang menaruh kardus disitu?"ucap suara serak laki-laki yang seperti baru bangun tidur.

Lalu, laki-laki itu keluar melalui pintu yang menghubungkan dengan ruangan lain di bawah tanah itu. Diikuti oleh Seraphina.

"Maaf aku terlambat, Lamia-ku susah sekali disuruh untuk makan...".

Laki-laki itu tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya.

Laki-laki itu tinggi. Sangat tinggi malah. Tubuh ini juga tinggi, tapi laki-laki itu sedikit lebih tinggi. Tubuhnya tergolong normal, walau agak sedikit kurus. Rambutnya berwarna coklat muda panjang diikat dengan banyak bekas noda. Entah oli, saus, cat dan sebagainya. Bajunya pun begitu. Menurutku wajahnya biasa saja dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, mungkin karna aku laki-laki. Tapi terlihat jelas para wanita disini terpesona olehnya. Aku bisa melihat jelas di mata Seraphina kalau dia sangat menghormati laki-laki itu.

Begitu pula dengan gadis tadi dan wanita yang sedari tadi duduk di bar. Berbeda dengan si 'Reisse' yang masih menatapku.

"Oh, jadi ini dia..."Laki-laki itu tersenyum padaku. Aku tahu orientasi seksualku masih normal, tapi aku tidak bisa tidak menatapnya saat dia tersenyum padaku.

Senyumannya sangat lembut. Tatapan matanya seolah dia melihat seluruh rasa sakit yang kualami dan seakan hanya ada aku dan dia di ruangan ini. Seakan dia mencurahkan seluruh perhatiannya hanya kepada orang yang dia ajak bicara.

"Ah... i-iya"aku mengangguk gugup. Laki-laki itu tersenyum lagi.

"Sera sudah bercerita sedikit tentangmu, siapa namamu?"tanya laki-laki itu.

"Rav.. ah.. Abel. Abel Archibald"untuk sesaat aku lupa dengan kenyataan bahwa aku bukan lagi Ravid Ivander.

Entah kenapa, aku merasa laki-laki itu sedikit tersentak saat aku menyebut nama itu. Tiba-tiba dia berjalan ke arahku dan memelukku.

Semua, aku tanpa terkecuali, tercengang.

"A..anu..."

Dia menangis. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku yakin dia menangis. Aku bisa merasakan air matanya jatuh di bahuku.

"... pasti berat ya..."bisiknya. Aku tersentak. Dia tahu...?

Dia melepaskan pelukannya dan menatapku lembut.

"Aku tidak berharap kamu berada disini. Kamu boleh pergi kapanpun kamu mau"bisiknya lagi.

Apa maksudnya itu? Aku tidak diterima disini?

Dia tersenyum lagi, "tidak, kami selalu menerima orang baru disini".

Dahiku berkerut bingung. Apakah dia baru saja membaca pikiranku?

"Ketua, tolong jangan bersikap seperti itu"Gadis tadi menusuk pinggang laki-laki di depanku dengan jarinya.

"Ouch.. maaf, maaf... aku hanya... tidak bisa menahan diri"Laki-laki menggaruk rambutnya lagi.

Gadis tadi menatap laki-laki itu dengan bosan dan menghela napas. Ia berpaling kepadaku, "namamu Abel? Kenalkan, namaku Luna. Nisaka Luna".

Ia mengulurkan tangannya. Saat itu barulah aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia tidak sependek Seraphina, tingginya termasuk normal untuk perempuan seusianya (aku mengasumsikan umurnya belasan tahun karna wajah mudanya). Rambutnya berwarna keperakan, begitu pula kulitnya. Aku tidak tau bagaimana cara dia mewarnai rambutnya atau warnanya itu asli???

Aku menyambut uluran tangannya dengan kikuk, "sa... salam kenal". Aku merasa dia tertawa kecil karena sikapku, tapi aku berusaha tidak peduli.

"Oh, dan laki-laki yang sedari tadi menatapmu itu Rassen". Luna menunjuk laki-laki berambut ungu yang sedang membaui 'ketua' dengan penasaran.

"Hey, kalian tidak berniat memperkenalkan aku?"tanya laki-laki tinggi itu dengan cengiran di wajahnya. Luna menatapnya malas.

"Namaku Arvin A. Prospera"tanpa disuruh, laki-laki itu sudah memperkenalkan dirinya sendiri. Mungkin aku hanya akan memanggilnya ketua, karna jujur saja, menurut ku nama itu tidak cocok dengannya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

Wanita yang sedari tadi hanya duduk diam di bar berdiri dan menghampiri kami. Dia tersenyum aneh padaku. Kenapa aku menyebutnya wanita? Karena penampilannya benar-benar menunjukkan dia seorang wanita dewasa.

Rambutnya coklat gelap bergelombang, gaunnya berwarna merah menggoda, dan lipstik merah darahnya itu membuktikan semuanya. Dia bergelayut di lengan ketua dan kembali tersenyum padaku.

"Ava!!! Jangan dekat-dekat ketua!"Seraphina menjerit dan berusaha memisahkan tangan wanita itu dari ketua.

"Sssh... jangan berisik..."wanita itu berbicara. Suaranya sangat lembut dan indah.

Dia menatapku, "Aku Ava Adora, salam kenal Abel". Entah kenapa aku tidak bisa berbicara. Suaranya terlalu indah sampai membuatku kelu.

"Ava! Berapa kali harus kubilang jangan gunakan suaramu kepada anak baru!"kali ini Luna yang menegurnya. Ava tertawa kecil.

Apa pula maksudnya itu?

***

Rassen dibaca Reissen. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NOWHERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang