Philosophize

47 3 4
                                    


Gita tersenyum memandang Bayu. Keduanya sibuk memainkan pulpen yang sama dan sesekali menautkan jari mereka yang malu.

"Saya senang lihat kamu, Bayu" kata Gita tulus. Bayu tidak menjawab dan membiarkan keheningan melakukan tugasnya untuk memeluk mereka berdua dengan penuh khidmat seolah cukup dengan cara itu perasaannya akan sampai pada Gita, tanpa perantara kata atau bahasa. 

Bayu tersenyum, memandang lurus ke dalam luka-luka tak terlihat di mata Gita. Jari mereka masih bertautan. Sementara dingin terus menjalar masuk ke dalam tulang-tulang.

Sesekali, teriakan atau tangisan orang di luar ruangan yang mereka diami menginterupsi keheningan. "Mereka teman-temanku." Gita menjawab meski Bayu terlihat sama sekali tidak keberatan. Senyumnya tetap sama.

"Di sini tidak enak, membosankan! Aku ingin pulang. Kamu harus ikut!" tidak ada negosiasi di kalimatnya. Gita tersenyum semakin lebar, karena ia bukan hanya akan mengajak Bayu pulang, tetapi juga untuk menikah, menua, dan mati bersama. Ia telah menyiapkan semuanya, skenario, peralatan, puisi, dan cincin pertunangan. Ia bahkan telah menutup pintu dan gerbang agar Bayu tidak bisa kemana-mana.

"Nanti, aku akan pakai gaun putih bikinan desainer ternama di kota ini. Kita menikah di halaman belakang rumah orang tuamu. Dan tidak perlu undang banyak tamu. Kita akan bulan madu di pulau-pulau tak bernama yang belum dihuni manusia, tempat jin dan binatang kelaparan beranak pinak. Setelahnya, kita akan kembali ke rumah dengan membawa kabar bahagia bahwa seorang bayi laki-laki akan lahir ke dunia."

Bayu terkekeh. Ia tahu pasti akan ada kecacatan di setiap rencana. Barangkali, gaun yang dikenakan Gita kelak bukanlah putih, tapi merah muda. Mungkin mereka akan berbulan madu di destinasi wisata biasa, tempat turis bercokol dimana-mana. Dan siapa tahu, ia tidak bisa membuat segenggam janin bersarang di dalam rahim wanita.

"Kita akan bahagia selamanya." sahut Gita menanggapi keresahan Bayu yang tidak terungkapkan. Dan jawaban itu bukan semata khayalan, melainkan sebuah tekad yang bulat. Karena biarlah rencana-rencana itu lebur berantakan, diaduk-aduk oleh tangan takdir atas perintah semesta, tapi Gita telah memutuskan bahwa mereka akan tetap bahagia. Berdua.

Hening kembali betah berlama-lama sebelum Bayu bicara, "Saya senang kamu baik-baik saja." hanya itu jawabnya. Singkat, meski Gita telah menguraikan bayangan masa depan mereka yang panjang. Tapi Gita menangis dalam bahagia yang luar biasa setelah mendengar suara itu berkumandang memenuhi ruangan. Dadanya ingin meledak disesaki kerinduan. Dan ia tidak bisa bicara apa-apa, kecuali meresapi bahagianya perjumpaan. "Jangan pergi lagi." pintanya, sungguh-sungguh.

Bayu hanya tertawa, meski itu tidak ada lucu-lucunya. Ketika dingin mulai hilang digantikan dengan kekosongan, dan Gita sadar bahwa yang digenggamnya bukan lagi tangan, melainkan kehampaan, ia mulai menangis keras. Menjerit-jerit memanggil nama Bayu dan memukul-mukul apapun di sekitarnya.

Pulpen yang sempat digenggamnya kini lenyap. Ruangan itu perlahan menunjukkan wujud aslinya dengan cat yang terkelupas, dinding yang retak, dan jeruji penghalang sebagai pintu masuk dan keluar. Gita meronta dengan penuh keputusasaan. Tangannya berusaha menarik, merobek, bahkan menjambak. 

Semua usahanya untuk membawa Bayu pulang lenyap setelah seorang perempuan berseragam serba putih masuk dan menyuntikkan obat. Cairan kimia kini melesap dalam darahnya dan melumpuhkan syaraf-syaraf yang luka. Gita seketika lemas. Tapi ia masih dapat mendengar suara jahat yang berbisik di telinganya,  "Bayu telah lama mati, sayang."

Dalam tidurnya yang kebas, Gita masih bisa merasakan pilu yang parah. Karena setelah ia yakin semua pintu dan gerbang telah ditutup tanpa meninggalkan celah, ternyata Bayu masih bisa luput dari bayangan indah masa depan mereka. Entah bagaimana.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang