3. Who? ☀

10K 590 52
                                    

Kanya POV

Nikmati malam di tengah kota Surakarta, jalanan yang padat merayap menjadi pemandangan yang menghibur. Mungkin karena kami lebih sering menyaksikan jalanan Karanganyar yang cenderung sepi. Aku dan Anna, dua sahabat yang sedang menikmati perayaan atas diterimanya kami di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Hanya kami berdua, berbaur dengan manusia lain yang juga sedang menikmati keramaian malam di Alun-alun Kidul Kota Surakarta.

"Cesa apa kabar ya, An?" aku menatap langit yang gelap, tak ada bintang, hanya awan gelap yang sebentar lagi akan segera menjatuhkan air dalam tampungannya. Kami tahu malam ini akan turun hujan, bahkan gelapnya awan sudah datang sejak matahari baru akan tenggelam di ufuk barat.

Anna menatapku dalam. "Mana gue tahu, Nyung. Emang lo enggak dihubungi sama sekali sejak perpisahan kalian di Tirtonadi?"

Aku menggeleng dan tersenyum getir. "Memangnya aku siapanya dia yang harus dihubungi setiap waktu, An? Pacar juga bukan, orang tuanya juga bukan, sahabatnya doang" bertambah getir kala mengucap kata sahabat.

"Tapi gue sih yakin kalau lo adalah salah satu orang terpenting dalam hidupnya" Anna ikut menatap langit.

Itu terdengar seperti dagelan ataupun guyonan yang sangat nyaring. Sejak kapan aku menjadi bagian penting dari hidup Cesa? Sahabat itu tidak sepenting orang yang dia cintai.

Gerimis turun, perbutirnya lembut menyapa kulit. Kami diam, menikmati setiap butir air yang jatuh. Tuhan kembali memberi nikmatnya pada manusia, nikmat kecil yang sering dilupa para hamba.

"Nyung, lo tahu nggak apa bedanya gerimis sama lo?" sesaat setelah kami diam.

Aku menggeleng.

"Enggak ada" sahutnya cepat.

Aku menoleh, menampakkan wajah penuh tanya.

"Gerimis itu jatuh membawa nikmat, tetapi manusia tak pernah menyadari nikmat itu. Lebih banyak dari mereka lupa bersyukur. Nah, kalau lo. Jatuh cinta tapi orang yang menjadi alasan lo jatuh enggak pernah sadar" jelasnya.

Aku tertawa. "Persamaan macam apa itu, An? Kamu memang tidak cocok jadi seorang analis, jadi programmer juga tidak pantas. Sepertinya otakmu asimetris"  sambil menyenggol lembut bahunya.

"Habis gue enggak tahu lagi caranya nge-hibur lo, Nyung. Kenapa enggak lo coba aja ngomong jujur sama Cesa sih? Siapa tahu dia juga punya hal yang sama kaya lo" saran yang selalu Anna sampaikan padaku. Dia macam tak pernah bosan mendengar alasanku.

"Berulang kali sudah aku katakan, An. Aku ini perempuan, mana bisa jujur lebih dulu. Dan yang perlu digaris bawahi 'Siapa tahu', masih siapa tahu kan, An? Jika dia punya hal yang sama, entah nikmat Tuhan mana yang bisa aku dustakan. Tapi jika tidak, entah takdir semacam apa yang akan memecah persahabatan kita. Hal terakhir adalah yang paling aku takutkan sampai detik ini" jelasku juga tak pernah bosan memberi jawaban yang sama.

Anna menghela napas. "Mau sampai kapan, Kanya, sahabatku yang paling cantik? Mau sampai kapan lo diem dan cuma nunggu? Ya, kalau Cesa suatu saat menyadari semuanya. Kalau akhirnya dia menemukan cewek lain? Lo selamanya hanya jadi sahabatnya, Nyung. Dan lo tahu?" berhenti sejenak. Seperti menantangku untuk menjawab,  padahal pertanyaan itu tak butuh jawaban. "Lo adalah cewek terbodoh di dunia!" penuh penekanan.

Senyum getir kembali ku kulum. Aku memang bukan perempuan kekinian yang mudah mengungkapkan cinta, dengan seluruh pertimbangan, cinta tak bisa dikatakan begitu saja. Aku lebih suka memendam perasaan dan meratapinya. Entah bagaimana nanti hasil di belakangnya, aku percaya Tuhan punya rencana yang indah.

Senja (#1) || Pindah ke Dreame ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang