Aku melangkah di atas jalan batu yang lunak
Melewati ringkih-ringkih dari kumpulan orang yang semarak
Mendengar lagu dari orang durja, mendengar omongan dusta dari para pencinta, dan mendengar suara-suara alam yang bergelora seadanya
Di taman, tengah kota, yang ditelan peradaban
Aku lalu duduk menatap asa ke arah utara dimana senja bertengger disebelahnya
Mengheningkan diri mencoba meresap hangat dalam terjangan angin sore
Ternyata di sebelahku, ada penyenandung balada.
Kucel rupanya, tapi tajam matanya
Tak banyak kicaunya pada awal waktu, dia hanya bersenandung sendu
Namun saat aku menatapnya di waktu kedua, dia mulai mengaungkan suara
Menyitir puisi dari para dewa-dewa
Menceritakan kisah akan cinta dan duka
"Dulu aku meminta pada raja para dewa, ayah dari semua, saudara tercinta Zeus, untuk meminang demi aku
Seorang dewi, yang cantiknya tiada terperi, cahaya wajah menginjak-injak mentari Apollo dan menodai kilau Aphrodite.
Raja berkata 'tunggu jawabnya, dia juga punya suara untuk menerima'
Dan aku menunggu.
Dewa-dewa lain menunggu.
Kami menanti titah yang akan mematahkan hati kami.
Dewi itu Artemis, ia berlari.
Menerobos kerumunan kami.
kami terduduk, membuka jalan untuk sang dewi
ia lalu bersuara, 'duhai raja dengarkanlah kehendak hamba, hamba lelah dengan pujian, hamba lelah dengan pujaan, hamba lelah dengan sanjungan. Hamba ingin merambah dunia, menisikkan perawan pada alam, dan menepikan birahi pada petualangan. Dapatkah kau kabulkan?'
Raja menjawab, 'Dewi, putri, Sadarkah dikau akan permintaaanmu yang akan menikam hati para dewa dan menebar luka pada cinta mereka?'
Dewi berkilah, 'Ayah, dinda tak pandai bersilat lidah, dinda tak pandai merayu, dinta lebih suka diam membisu, dinda jemu lelah bercinta, biarkan dinda bebas ayah, biarkan dinda mendekap alam dan memilin hujan di tengah pelukan hutan"
Akhirnya, Raja bertitah, dengan memilah bagian-bagian jiwa menjadi potongan-potongan kecil, memasang tanda pada sang dewi yang akhirnya diam sendiri menghalau setiap nafsu hakiki yang mengejarnya.
Aku tersipu akan nafsu cilikku yang tak mampu menaklukkan sang dewi.
Aku mundur.
Sekarang, setiap petang menjelang, di kilat jingga saat sedetik,
Aku menatap ke bawah, ke dalam hutan jelita, hanya sedetik
Melihatmu, Artemis, bermain dengan rusa, membelai para hewan jelata, tersenyum bahagia,
Aku tertawa, bahagia akanmu.
Dan akan terus menunggu.
Menunggu sedetik waktuku.. terus.. selamanya.