Chrissy berkali-kali menghela napas panjang di depan bayangan dirinya di cermin. Berapa kalipun dia mengganti gaunnya, Chrissy sama sekali tidak merasa percaya diri. Padahal dia sudah terlambat setengah jam dari waktu yang sudah ditentukan. Sepertinya keputusan menyuruh Daddy dan Mommy nya berangkat lebih dulu ke acara makan malam bersama keluarga Liam adalah keputusan yang tepat. Bayangkan kalau mereka masih harus menunggu dilema yang melanda Chrissy pergi.
"Kenapa tidak ada baju yang bagus?!" Chrissy berkacak pinggang, memandangi tumpukan gaun-gaun di atas tempat tidurnya. Setelah ini dia harus meminta maaf pada Gloria – salah satu pelayannya di rumah ini yang paling dekat dengannya— karena lagi-lagi, dia harus membereskan lemari pakaian.
"Oh, well..." Gloria masuk ke dalam kamar, setelah Chrissy membukakan pintu. "Ya ampun...sepertinya kau harus membelikanku pie ayam lagi besok," katanya, menggelengkan kepala tidak habis pikir, ke arah tumpukan pekerjaan yang harus segera ia selesaikan malam ini juga sebelum Chrissy pulang dari makan malam. Kalau tidak, gadis itu bisa terancam tidur di kamar lain karena tidak ada ruang tersisa untuknya tidur di kasurnya sendiri.
"Aku akan membelikanmu dua loyang pie ayam, Gloria." Chrissy memeluk Gloria sesaat. "Now, tell me where did you put my beautiful jimmy choo in?" Chrissy mengikuti arah kemana jari telunjuk Gloria menunjuk. "Okay, there..."
"Aku menyayangimu, Gloria!" Chrissy memeluk Gloria sekali lagi, mencium kedua pipi wanita paruh baya itu, sebelum akhirnya berlari keluar dari kamarnya.
Suara hak sepatu Chrissy bergaung nyaring manakala gadis itu menuruni tangga tergesa-gesa. Aram bilang, dia akan sangat-sangat marah kalau sampai pada pukul 20.00 tepat Chrissy belum juga sampai ke restoran.
"Pelan-pelan saja, Nona..." Sebastian mengingatkan, saat Chrissy hampir saja tersandung kakinya sendiri sebelum memasuki mobil.
Mengulas cengiran malu, Chrissy mengedipkan sebelah mata pada Sebastian yang sedang menutup pintu mobil untuknya. "Cepatlah, Sebastian...kau tahu bagaimana Daddy."
"Tuan besar tidak akan marah hanya karena Nona terlambat beberapa menit." Sebastian mencoba menenangkan, dan itu tidak sepenuhnya salah. Aram hampir tidak pernah memarahi kedua anak-anaknya, terutama Chrissy. Gadis sulungnya itu tidak pernah membuat masalah. Tidak seperti Samuel, adik laki-laki Chrissy. Daddy mereka menargetkan Samuel bisa lulus ujian masuk Harvard mengikuti jejaknya nanti.
Chrissy mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil, gelisah. Hatinya bimbang menentukan sikap yang baik di depan Liam nanti. Chrissy memang sudah menyiapkan jawaban untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan besar akan Liam tanyakan nanti. Tapi tetap saja, semua itu tidak akan berjalan lancar kalau Chrissy belum bisa menghilangkan rasa groginya.
***
Menginjakkan kaki ke dalam restoran, salah seorang pelayan yang sudah sangat mengenal Chrissy dan keluarganya menyambut kedatangan Chrissy. Pelayan wanita itu mengantarkan Chrissy ke sebuah ruangan VVIP yang biasa dipesan oleh Aram atau Nathalie, saat mereka mengadakan pertemuan tertentu di sini.
"Chrissy!" Liam yang duduk di dekat pintu, sontak berdiri begitu melihat Chrissy memasuki ruangan. Pria itu merentangkan lengannya lebar-lebar hendak memeluk Chrissy, dan terhenti begitu saja sebelum tujuannya terlaksana. Apalagi kalau bukan karena dehaman keras Aram yang memperingati pemuda itu agar tidak macam-macam?
"Akhirnya aku bisa menjalani hidupku dengan tenang tanpa perlu takut pasukan pengawal Daddy mu datang tiba-tiba dan meringkusku masuk ke penjara. Katakan padanya kalau dia benar-benar salah menduga selama ini."
Chrissy melirik kepada Aram, lalu tertawa. "Maafkan aku, Liam...apa yang kulakukan waktu itu memang konyol. Sepertinya aku terlalu berlebihan menyikapi pertambahan usiaku."
"Ah! Kau benar—minggu depan kau berulang tahun!" Liam menepuk kedua tangannya. "Pantas saja kau mengurung diri seperti itu. Apa kau takut terlihat jelek saat tua nanti?" Liam menggeleng. "Tidak-tidak...kau akan tetap menjadi yang tercantik."
"Apa Daddy yang mengajarkanmu cara merayu seperti itu?" Chrissy menerima uluran tangan Liam, yang menuntunnya mengambil tempat duduk di sebelah pemuda itu.
"Ah...sepertinya aku masih harus banyak belajar, ya?" timpal Liam, meloloskan tawa renyah. Memandangi Chrissy yang ikut tertawa, tangan Liam tergerak mengusap pipi gadis itu. Kemudian seraya tersenyum lembut ia berkata, "Aku merindukanmu, Chrissy. Jangan pernah menghilang lagi."
Chrissy tersipu malu. "Aku tidak akan pernah menghilang lagi, Liam. Karena jika aku menghilang lagi, bisa dipastikan Daddy tidak akan melonggarkan pengawasannya padamu. Kau tahu, kan? Kau akan selalu menjadi tertuduh utama di matanya."
Setelah fase tertawa yang cukup lama, satu persatu hidangan makan malam mulai disajikan. Aram dan Gilbert—Ayah Liam, terlihat asyik bercengkrama. Mungkin membicarakan bisnis, atau topik lain seputar orang dewasa. Sama halnya dengan Nathalie dan Linda—Ibu Liam, yang juga terlihat menikmati waktu mengobrol mereka. Secara tidak langsung, ke empat orang itu seolah-olah memberikan petunjuk agar Chrissy dan Liam juga melakukan hal yang sama.
Akhirnya, Liam mengajak Chrissy meninggalkan ruangan itu-tepat setelah hidangan penutup disajikan. Mereka hanya memakan beberapa potong buah-buahan sebelum pergi.
"Kau mau mengajakku kemana?" tanya Chrissy, saat menyadari Liam menggiringnya pergi keluar dari restoran.
"Di depan sana ada kedai teh yang enak," jawab Liam. "Baru saja buka, dan langsung ramai."
"Oh..." Chrissy menautkan kedua alisnya. "Kalau begitu...aku akan memberitahukan mereka—"
"Tidak perlu. Ini tidak akan lama."
Chrissy terlihat berpikir sejenak. "Baiklah," katanya. "Tapi, hanya sebentar. Kau tahu bagaimana jadinya kalau Daddy sampai menunggu terlalu lama."
"Dia tidak akan marah selama kedua orang tuaku tetap bersamanya," saut Liam. "Ah—karena jalannya cukup jauh, kau tidak keberatan menunggu sebentar? Aku akan mengambil mobilku."
Chrissy mengangguk, "Sure," jawabnya. "Aku bisa ikut sekalian kalau kau mau."
"Tidak-tidak. Tuan Putri hanya perlu menunggu manis di sini." Usai mengatakan itu, Liam pergi ke arah barat restoran. Terlihat jejeran mobil berbaris panjang, dan melihat dari cara jalan Liam yang terburu-buru, sepertinya mobilnya terparkir lumayan jauh dari sini.
Chrissy menunduk melihat sepatunya sendiri, kemudian mengetuk-ngetukkan ujungnya bergantian secara berirama. Kedua tangannya memegangi clutch di depan. Dalam hatinya, gadis itu tidak berhenti mengucapkan terima kasih kepada Tuhan. Malam ini berjalan lancar melebihi perkiraannya. Liam membuat segalanya menjadi mudah. Selanjutnya, Chrissy hanya perlu berusaha keras untuk menyimpan rapat-rapat mimpi buruk yang lalu, hingga ia bisa lupa sepenuhnya.
"Excuse me, Miss." Seorang laki-laki berbaju seragam pelayan dari restoran tempat makan malam mereka, menghampiri Chrissy. Pemuda itu membawa setangkai mawar merah yang ditempeli kertas kecil di batangnya. Chrissy menerima bunga itu, kemudian melemparkan pandangan heran bergantian dari bunga ke wajah pemuda pembawa bunga. "Seseorang menitipkan ini padamu," ujar laki-laki itu, sebelum Chrissy bertanya.
"Siapa?"
"Dia tidak memberitahukan namanya, Miss..." jawab pemuda itu, sebelum membungkuk memohon undur diri.
Setelah pria itu berbalik menjauh kembali masuk ke dalam restoran, Chrissy mengambil kertas yang menempel di batang bunga. Kertas itu berbentuk persegi panjang yang dilipat dua, dan pada pinggirannya terdapat motif sulur-sulur bunga berwarna emas yang kontras dengan warna hitam kertas.
Chrissy membuka kertas itu—membaca tulisan bertinta emas...
"You are much more beautiful without the mask you had worn that night." (kau jauh lebih cantik tanpa topeng yang kau pakai malam itu)
KAMU SEDANG MEMBACA
PROSECUTION (His Obsession's Sequel)
RomanceSetelah sekian lama selalu berperan menjadi anak baik, akhirnya tibalah waktunya bagi Chrissy Alford untuk memberontak. Semua ini dimulai sejak ia mengenal Benjamin Clayton, Ben, pengacara tampan yang sebelumnya tidak pernah Chrissy sadari kehadiran...