2

226 42 4
                                    

Ku cari-cari dimana kelasku berada. Cukup sulit bagiku untuk bergerak sendirian tanpa bantuan orang lain. Pada awalnya Kageyama memang menawarkan bantuan, namun aku menolaknya karena aku mungkin akan merepotkan nya.

"(Name)-chan."

Aku menoleh kearah suara yang memanggil namaku, tak salah lagi jika itu adalah Koushi.

"Koushi."

"Apa aku bisa membantumu? Kulihat kau sedang kesulitan," Koushi menawarkan bantuan padaku.

"Ya, seperti yang kau lihat kan Koushi, aku kesulitan mencari kelasku, kelas 1-1," jawabku sambil menundukkan kepala.

Koushi tersenyum kecil kemudian mendorong kursi rodaku menuju ke suatu tempat yang mungkin ke kelasku.

"(Name)-chan sudah aku bilang kan, jika aku akan membantumu dan melindungi mu?" ujar Koushi membuka topik pembicaraan.

Aku mengangguk. "Ya, Koushi akan selalu ada disampingku."

Koushi mengantarkan aku hingga di depan kelas 1-1.

"Terimakasih ya, Koushi~," ucapku berusaha memberikan senyumanku untuk Koushi.

"Sama-sama, (Name)-chan. Kalau begitu aku pergi dulu ya~," Koushi kemudian berjalan meninggalkan aku.

Aku pun memutar roda kursi ku memasuki ruang kelas. Di kelas ternyata sudah ada banyak murid lain.
Ku putar rodaku kearah bangku yang kosong di pojok belakang. Orang yang tidak sempurna dan tidak berarti sepertiku tidak pantas untuk duduk di depan.

"Eh, kamu kok tidak duduk di depan?" tanya seorang pemuda berambut oranye yang tidak terlalu tinggi.

"Engg... tidak," jawabku lirih.

"Kamu kan cewek dan manis lagi, seharusnya duduk di depan saja," ucapnya lagi. "Oh, namaku Hinata Shouyo, siapa namamu?"

"(Last name) (Name)."

"(Last name)-chan ya? Yoroshikou~~," kata pemuda bernama Hinata itu. "Ngomong-ngomong, (Last name)-chan tidak bisa berjalan ya?"

Entah mengapa aku merasa kalau Hinata ini adalah seseorang yang sangat polos seperti anak kecil. Padahal dia ini seumuranku.

"Kalau begitu, aku pergi dulu ya (Last name)-chan, kapan-kapan kita ngobrol lagi," kata Hinata tersenyum lebar kemudian berjalan meninggalkan aku.

Senang juga rasanya ada orang lain yang sadar atas keberadaanku. Aku pikir orang lain tidak akan pernah peduli padaku, kecuali Koushi dan Kageyama tentunya.
Tapi, hal ini juga ternyata tidak berlaku bagi Hinata. Ia dengan tanpa malu berkenalan denganku, padahal siswa yang lain tidak menyadari bahwa aku ini ada, sudah seperti hantu saja.
Cepat atau lambat aku akan menjadi hantu, jika dalam hidup yang tidak ada artinya ini aku terus bermandikan keputusasaan.

Hari demi hari kujalani di SMA Karasuno ini. Tetap saja temanku hanya Koushi, Kageyama dan Hinata.
Hari ini, aku dan Kageyama berjanji untuk makan bersama di kantin. Aku menunggunya di depan kelas.

"(Last name)-channn!! Nunggu apa?" tanya Hinata yang merupakan teman sekelasku.

"Menunggu temanku," jawabku jujur.

"Oh," Hinata ber-oh-ria.

"(Last name)," ujar Kageyama yang baru saja datang di depan kelas 1-1.

"Oh, Kageyama-kun," aku tersenyum kecil kala melihat pemuda bermata seperti blueberry itu.

"Apa?! (Last name)-chan kenal sama sang Raja dari SMP Kiitagawa Daichi?!" seru Hinata heboh.

Kageyama melirik Hinata dengan ekspresi kesal. "Kau lagi cebol," ucapnya dingin.

"Apa kau bilang?!"

"Sudahlah, kalian berdua," aku melerai keduanya agar tidak terjadi pertengkaran. Aku tidak suka jika ada yang bertengkar karena hal-hal sepele.

"(Last name)-san, ayo kita pergi," ucap Kageyama mendorong kursi rodaku berjalan menjauhi depan kelasku dan juga Hinata.

"Kau kenal dengan Hinata-kun?" tanyaku pada Kageyama.

"Tentu saja, kami satu klub di klub voli dan juga dulu tim voli SMP ku pernah mengalahkan tim voli SMP-nya si Hinata itu," jelas Kageyama panjang lebar.

Klub voli, ya? Aku jadi teringat bahwa Koushi juga adalah anggota klub voli di SMA Karasuno ini, mungkin Kageyama juga mengenal Koushi.

"Apa posisimu di tim?" tanyaku.

"Setter."

Persis seperti Koushi. Mungkin akan terjadi perebutan posisi setter utama di tim voli Karasuno nantinya.
Tapi, hal itu tidak ada hubungannya dengan aku.

"Kau mengenal Sugawara Koushi?" tanyaku lagi.

"Eh? (Last name) kenal sama Sugawara-san?" Kageyama malah berbalik bertanya padaku.

Aku mengangguk.

"Pantas saja, aku lihat kalian berdua akrab sekali atau jangan-jangan___" Kageyama menatapku dengan curiga.

"Hahaha, tentu saja bukan Kageyama-kun. Aku dan Koushi adalah sahabat," jelasku tertawa kaku.
Entah mengapa aku belum terbiasa tertawa dengan tulus di hadapan orang yang belum lama aku kenal.

"Tentu saja ya," Kageyama tersenyum kaku.

Kami berdua duduk di salah satu kursi di kantin.

"(Last name)-san ingin makan dan minum apa?" tanya Kageyama. "Kalau aku hanya ingin membeli susu kotak di mesin minuman."

"Mungkin sesuatu yang manis," ucapku.

"Akan aku belikan," Kageyama pun langsung pergi meninggalkan aku.

Aku merasa telah sangat merepotkan orang lain. Tapi, aku heran kenapa Kageyama, dan juga Hinata betah bersama orang seperti aku?
Aku rasa mereka hanya terpaksa dan kasihan melihat kondisiku, dan mencoba menghiburku dengan menjadi temanku.

"(Last name)-san, ini roti melon untukmu dan juga susu kotak untumu," Kageyama membuyarkan lamunanku dengan memberikan sebuah roti melon dan susu kotak.

Aku menerimanya. "Terimakasih, Kageyama-kun. Berapa yang harus aku ganti?"

"Ah, tidak perlu. Aku yang mentraktir mu," ucap Kageyama kemudian duduk di kursi di samping kursi rodaku sembari meminum susu kotak nya.

"Kageyama-kun."

"Ya?"

"Kenapa kau mau berteman dengan orang cacat seperti aku?" tanyaku.

Kageyama tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, sambil meletakkan susu kotak yang barusan ia minum di sebelahnya.

"Kenapa, ya? Aku hanya merasa kasihan melihatmu selalu ditindas," Kageyama mulai bersuara.

Sudah kuduga, dia hanya merasa kasihan padaku. Sejujurnya aku tidak butuh rasa kasihan, yang aku butuhkan hanya ketulusan dari orang lain.

"Tapi, jangan salah paham dulu! Aku memang berniat berteman denganmu, menurutku kau itu berbeda," lanjut Kageyama kemudian menatapku.

"Berbeda bagaimana?" tanyaku penasaran. Perkataan nya barusan tidak mewakili apapun yang dia rasakan.

"Ya, berbeda! Dan perbedaan itu tidak akan ada artinya, tapi aku akan membuatnya jadi berarti," jelasnya dengan senyum tipis.

"Perkataan mu itu ambigu," kata ku datar.

Ya, aku ini memang tidak ada artinya. Bahkan kisah hidup yang selama ini kujalani tidak berarti. Kisah ini, hidup ini, raga ini, aku membenci semua ini. Bahkan sampai detik inipun, aku masih tidak bisa menerima takdir dalam hidupku.

Hidup memang tidak pernah adil. Meskipun aku sudah punya orang yang mengakui keberadaan ku, aku tetap menganggap bahwa hidup ini sangatlah tidak adil.

TBC

____________________________________

Thanks for read^^

MeaninglessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang