Chapter 10

52 6 3
                                    

NICO POV

Aku menatap kepergian mereka berdua. Seketika rasa kecewa—atau marah—bagaikan halilintar yang menyambar hatiku. Aku melaju dengan kecepatan tinggi membayangkan gadisku terpuruk sendirian di lorong rumah sakit, dan berharap aku akan segera tiba untuk dapat segera memeluknya. Tapi sepertinya aku berpikir terlalu jauh hingga membuatku jatuh.

Aku merangkul emosiku, menenangkannya dengan logika. Lalu berjalan menyusuri lorong rumah sakit berlantai granit tersebut. Kulihat tangan lelaki itu melingkar di bahu gadisku. Tanpa sungkan ia terus berjalan menuntun Elena meski gelagat Elena tampak enggan, hal itu membuatku resah.

"Hai bung, kurasa dia bisa berjalan sendiri." Aku menarik tangan lelaki kurang ajar yang telah memeluk milikku sebelum emosiku menghancurkan segalanya.

"Maaf, aku hanya membantunya. Kakaknya baru saja mengalami kecelakaan, dan kurasa..."

"Jangan rasakan apapun. Sebaiknya kau segera kembali, pasienmu sudah menunggu. Kau harus bertanggung jawab sebagai dokter."

"Aku lebih tahu apa yang harus ku kerjakan. Jangan mengajariku." Ujar lelaki itu dengan nada santainya, "Ayo, Elena." Ia kembali melingkarkan tangannya pada bahu Elena.

Aku merasa sudah cukup sabar menghadapi lelaki brengsek itu. Tanpa kusadari tanganku mengepal dengan erat. Menyadari itu, Elena memberikan jarak untuk lelaki itu.

"Terima kasih, aku bisa sendiri." Ujar Elena yang kemudian berjalan menjauhi kami.

"Elena..." Panggil lelaki itu.

Aku mengacungkan jari telunjukku tepat di hadapannya, "Jangan kau berani dekati dia."

***

"Apa yang terjadi?" Kuhampiri Elena yang duduk di kursi kayu di samping kasir kantin.

"Evan mengalami kecelakkaan dan pendarahan di kepalanya. Kondisinya masih kritis dan belum sadarkan diri. Aku menghubungi orang tua kami tapi tak satupun yang tersambung. Apa yang harus kulakukan?"

Aku terdiam sesaat, emosiku padam seketika berganti perasaan sedih menatap Elena yang tampak pucat. Air mata terus mengalir dari matanya.

"Aku akan mencoba menghubungi orang tuamu. Sudahlah. Aku yakin semua akan baik-baik saja, Elena."

"Apakah ini adalah balasan untukku?"

"Cukup, Elena. Ini bukan balasan. Jika ini adalah sebuah balasan, maka bukan Evan yang terbaring di ruangan itu, tapi aku."

Elena terdiam, menatapku dengan tatapan garangnya. Aku paham maksud gadis itu, tetapi aku memilih untuk berpura-pura tidak memahaminya. Hal itu kulakukan bukan tanpa sebab, aku yakin, jika aku meneruskan topik ini, dia akan semakin marah. Dan aku bertaruh hal itu sama sekali tidak baik untuknya, untukku, maupun untuk kenyamanan kantin ini.

"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi firasatku Evan akan segera siuman. Sebaiknya kau tenangkan dirimu." Kucoba menenangkan gadis itu dengan memeluk pundaknya yang terasa semakin kurus.

***

ELENA POV

Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Aku mendengar jelas suara detak jantungnya yang terdengar kencang. Aku tahu pasti apa sebabnya. Jelas karena perasaan kesalnya pada Andre.

"Apa kau masih merasa kesal?"

"Untuk apa?" Tanya Nico yang kemudian mendorong tubuhku untuk menatapku.

"Kau cemburu?"

"Untuk apa aku cemburu?"

"Pembohong. Aku tahu kau cemburu dan kau kesal pada Andre karena sikap manisnya padaku. Bukan begitu?"

Green Eyed (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang