Chapter 1

156 13 7
                                    

Derap langkah kaki yang sangat terburu-buru terdengar jelas di telinga Evan setelah suara pintu yang terbating dengan keras, membuatnya berjingkat hingga menumpahkan sedikit kopi yang baru saja dibuatnya.

Ya Tuhan, kapan kebiasaan adiknya membanting pintu itu akan hilang.

"Elena..." Panggil Evan tanpa sedikitpun mendapatkan perhatian dari adiknya yang menaiki tangga ke lantai dua dengan raut yang kacau dan berlari menuju kamarnya. Evan meletakkan cangkir kopi tersebut dan mengikuti adiknya.

"Ele..."

Brak. Terdengar kembali suara pintu yang di banting. Kali ini pintu kamar yang menjadi pelampiasannya.

Seperti biasa, mungkin ia bertengkar dengan pacar sialannya itu, pikir Evan. Siapa yang tidak kenal Jonathan Adam? Lelaki yang menempati jajaran teratas lelaki tampan yang mungkin bisa disejajarkan dengan Adam Levine atau Adam Young, mengingat nama mereka sama-sama memiliki 'Adam'. Tak diragukan lagi prestasi Jonathan yang luar biasa dalam memikat gadis-gadis yang tak berdosa yang hanya berujung sebagai permainannya saja, dan anehnya gadis-gadis itu masih berebut untuk mencuri perhatiannya.

"Elena, apa yang terjadi?" Evan mengetuk pintu bercat putih yang ada di hadapannya. Kemudian Evan menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar ocehan adiknya.

Hening.

Biasanya hal pertama yang akan dilakukan adiknya setelah membanting pintu kamar adalah berteriak seperti orang gila kemudian membanting apapun yang dilihatnya. Ya, bakat pemarahnya tak perlu disangsikan lagi menurun dari siapa, ayahnya yang pemarah dipadukan dengan ibunya yang semaunya, menciptakan gadis bertempramen buruk semacam Elena.

"Elena, apa kau baik-baik saja?" Evan membuka pintu perlahan, mengintip adiknya melalui celah pintu yang terbuka. Ia hanya memastikan bahwa semuanya aman atau sesuatu akan terlempar ke arahnya jika ia membuka pintu begitu saja.

Dilihatnya gadis itu meringkuk di ranjangnya, memeluk kedua lututnya. Ada yang tidak beres, batin Evan. Evan melangkah mendekati adik kembarnya yang berbeda delapan menit darinya. Gadis itu menatap jendela di samping ranjangnya, wajahnya pucat dan pandangannya tampak kosong.

"Hei, kenapa kau ini? Kau sakit?" Evan menyentuh kening adiknya. Dia tidak demam. Evan mengernyitkan dahi, tidak biasanya adiknya bertingkah seperti ini. Kemudian ia menggoyang lengan Elena untuk mendapatkan perhatian adiknya itu.

"Kenapa?" Ia menatap adiknya. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca.

"A-aku... aku..." Ujar Elena gugup. Lidahnya kelu, tak mampu mengatakan apapun dari mulutnya. Yang pasti, ia berharap ini hanya mimpi buruk dan akan terbangun keesokan harinya.

"Len, jangan membuatku takut." Untuk beberapa saat Elena terdiam, kemudian bangun dan berhambur ke dalam pelukan Evan.

"Aku...aku... aku membunuh orang, kak. Apa yang harus kulakukan? A-Aku... aku akan dipenjara." Teriak Elena histeris dan semakin erat memeluk lelaki yang merengkuhnya itu. Pelukan itu adalah pelukan ternyaman bagi Elena, bahkan mengalahkan pelukan ibunya.

Evan menjauhkan tubuhnya dari pelukan adik kembarnya itu dan mencengkeram erat kedua lengannya. "Apa maksudmu?" Suaranya meninggi, panik mendengar pengakuan Elena.

"Sembunyikan aku kak, aku tak ingin dipenjara. Tolong aku."

"Apa... dia Jonathan?" Tanya Evan ragu menyebut nama kekasih adiknya yang terkenal seorang playboy dan disambut gelengan oleh Elena. Sejenak Evan bersyukur, tapi kelegaannya tak bertahan lama begitu cerita mengalir dari mulut Elena.

Evan mengumpat kesal mendengar cerita adiknya. Ia tahu adiknya salah, namun ia juga tak ingin gadis itu berakhir menjadi perawan tua yang membusuk di penjara. Ia mengusap rambutnya frustasi. Sementara adiknya meringkuk di bawah selimutnya tanpa berhenti menangis. Ini lebih buruk dari yang dibayangkannya. Evan meraih ponsel di sakunya, kemudian ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya.

Green Eyed (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang