Gaby langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa apartement tanpa mengganti baju dulu, sedangkan ingatan tentang Azcha masih saja terus-terusan berputar di kepala bodohnya.
Tidak, Gaby tidak mau munafik jika mengatakan dirinya tak bergairah sedikitpun dengan apa yang Azcha lakukan tadi.
Nyatanya, Gaby memang sama-sama tersiksanya dengan Azcha. Kalau saja tadi Azcha tak menyuruh Gaby untuk memohon, mungkin sekarang mereka sedang berada di atas ranjang dan melakukan sesuatu yang nyatanya memang sama-sama diinginkan keduanya itu.
Mata Gaby tertutup. Sedangkan bayangan bagaimana bibir liar Azcha mencium rakus bibirnya, mengecup tekuk lehernya, sampai punggung Gaby yang tadi disentuh Azcha pun masih terasa panas saat ini.
Apa Gaby menginginkan Azcha untuk memuaskan hasratnya? Jawabannya adalah ya, Gaby menginginkan Azcha.
Tapi sayang, harga diri Gaby sialnya yang terlalu tinggi itu mengalahkan semuanya. Jelas, Gaby takan membiarkan harga dirinya jatuh begitu saja hanya untuk memohon agar laki-laki itu terus menyentuhnya!
Drrtt... drrtt...
Gaby langsung meronggoh ponsel dari tas-nya saat terasa getaran samar, dan tiba-tiba, ia seperti tak bisa bernapas seketika.
'Memohonlah, By.'
Jelas, Gaby kembali merinding membacanya.
Otak Gaby kembali memutar bagaimana cara Azcha yang memanggilnya dengan kata 'By' kemarin malam. Cara bibir seksinya yang terbuka, tatapan dinginnya yang menyiratkan suatu penuntunan, tubuhnya yang selalu berposisi tegak sempurna, pembawaannya yang terlihat bossy namun liar dalam waktu yang sama serta suara baritonnya yang terdengar sangat berkuasa itu jelaslah berbeda dengan panggilan serupa yang selalu Azcha lontarkan sewaktu masih SMA lima tahun lalu.
Gaby akui, Azcha yang sekarang memang teramat berbeda, teramat seksi dan menggoda di mata Gaby, atau mungkin, di semua mata para perempuan juga?
Saat beberapa centi lagi ponselnya akan diletakan di atas meja, mata Gaby pun membulat panik menyadari ponselnya itu bergetar (lagi), namun kali ini getarannya lebih lama.
Sebelum jarinya memencet tombol hijau, Gaby menyelidik dulu siapa yang menelf-nya malam-malam begini, dan ternyata itu si asisten bancinya-Tyo.
"Hmm?" sahut Gaby sambil mendudukan tubuh.
"Inget Gab, besok you ada meeting penting, jangan tidur larut & jangan sampai lupa makan. Ini tuh penting banget buat promosiin majalah kita biar lebih terkenal, and satu lagi, besok jam set 8 kamu harus udah sam..."
"Iyaiya Tyo aku tau." potong Gaby cepat.
"HEH NAMAKU TYA YA BUKAN TYO!"
Gaby cekikikan sendiri mendengar teriakan laki-laki Tya dari debrang sana, jelas bahwa sang asistannya itu pasti kelepasan.
Gaby sangat beruntung karena mempunyai asistan sekaligus teman seperti Tya. Dan mempunya teman banci juga ternyata ada kelebihannya, jadi Gaby tak usah menjaga-jaga amat sikap jika sedang bersama Tya, toh Tya menganggap dirinya seperti perempuan-perempuan pada umunya---yaa walau dengan wajah ganteng bak seorang pangeran itu.
Tapi jelas, Gaby masih mempunyai beberapa teman selain Tya, kebanyakan temannya itu dari kalangan fashion designer juga model-model papan atas, dan itulah kenapa setiap weekend Gaby selalu menghabiskan harinya dengan menjadi model cat walk para temannya itu.
Mata Gaby mengamati apartementnya yang tidak terlalu besar tapi cukup nyaman itu, sepi, satu kata yang selalu mendeskripsikan tempat ini. Kadang Gaby rindu berkumpul dengan keluarganya di Indonesia, atau lebih tepatnya di Jakarta. Gaby merasa seperti dibuang, yaa walau dia sendiri pun tau dia berada disini sekarang adalah untuk menjalankan perusahaan majalah bundanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Partner
Любовные романыGOING TO PRIVATE SOON! FOLLOW + MASUKIN LIBRARY DULU YA!!! ******* "Memohonlah, By. ******* 17+